Minggu, 14 Februari 2016

RHINITIS ALERGI



Contoh Kasus
Seorang wanita berusia 35 tahun memiliki riwayat kongesti hidung pada sebagian besar hari-harinya dalam setahun, dimana dia juga mengalaminya pada saat usianya belasan tahun akhir. Dia mengalami drainase hidung kronis, yang ditandai dengan adanya lendir jernih dan kental. Kongestinya memburuk pada akhir musim panas dan awal musim gugur, dan kembali pada awal musim semi; pada masa-masa tersebut dia juga mengalami bersin-bersin, gatal hidung dan batuk. Lima tahun yang lalu, dia mengalami sebuah episode sesak nafas yang disertai mengi pada suatu hari ketika dia mengalami gejala-gejala gangguan hidung yang parah, namun episode tersebut sembuh dengan sendirinya dan tidak kambuh lagi. Antihistamin oral yang dijual bebas sedikit meredakan gejala yang dialaminya, begitupun dengan dekongestan hidung yang sering digunakannya. Anak laki-lakinya yang berusia 6 tahun juga mengalami gejala yang sama. Bagaimana seharusnya kasus ini dtangani?



Problem Klinis


Rhinitis alergi didefinisikan sebagai sebuah kumpulan gejala yang terdiri dari bersin-bersin, gatal-gatal dan kemerahan pada hidung, hidung tersumbat dan banyaknya lendir hidung yang jernih yang disebabkan oleh suatu reaksi yang termediasi oleh Ig-E dalam melawan alergen yang terhirup, selain itu juga ada suatu inflamasi mukosa yang dikendalikan oleh sel-sel helper T tipe 2 (Th2). Alergen-alergen yang berperan penting dalam kasus ini diantaranya adalah serbuk sari dan jamur pada musim-musim tertentu. Tungau, bulu hewan, dan beberapa jenis jamur adalah contoh alergen tersebut. Alergen-alergen yang dominan sangat tergantung pada wilayah geografik dan tingkat urbanisasi, tapi secara keseluruhan angka prevalensi sensitisasi terhadap alergen tidak jauh berbeda pada masing-masing wilayah. Sensitisasi terhadap alergen yang terhirup dimulai pada tahun pertama kehidupan. Sensitisasi terhadap alergen-alergen indoor mempelopori terjadinya sensitisasi terhadap serbuk sari (pollen). Oleh karena infeksi pernafasan yang disebabkan oleh virus sering terjadi pada tahun pertama kehidupan seseorang dan menghasilkan gejala-gejala yang mirip dengan rhinitis alergi, maka diagnosa rhinitis alergi sulit untuk ditentukan pada usia anak 1 hingga 3 tahun. Lazimnya, rhinitis alergi memuncak pada saat usia seseorang mencapai 20 hingga 40 tahun, dan kemudian berkurang secara perlahan.

Frekuensi sensitisasi terhadap alergen yang terhirup kini sedang meningkat hingga lebih dari 40% pada populasi di Amerika Serikat dan Eropa. Prevalensi rhinitis alergi di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 15% yang didasarkan pada diagnosis dokter, dan sekitar 30% lainnya tak terdiagnosis oleh dokter (berdasarkan laporan individu yang mengalami gejala-gejala rhinitis alergi). Rhinitis alergi berkontribusi terhadap penurunan produktivitas seseorang di sekolah atau tempat kerja, mengganggu kenyamanan saat tidur, membatasi aktivitas anak dan mengurangi keterlibatan mereka dalam berbagai aktivitas luar ruangan. Terlebih lagi anak-anak dengan rhinitis alergi lebih mungkin juga mengalami myringotomy, serta pengangkatan tonsil dan adenoid. Kemampuan untuk mengontrol asma pada orang-orang yang menderita asma disertai rhinitis alergi lebih ditekankan pada kontrol terhadap rhinitis alergi.

Pada umumnya orang-orang yang menderita rhinitis alergi juga menderita asthma. Rhinitis alergi baik musiman maupun tahunan secara signifikan meningkatkan kemungkinan seseorang menderita asma; sekitar 40% dari penderita rhinitis alergi dinyatakan positif asma. Eksim atopik juga sering kali hadir bersama pada penderita rhinitis alergi. Biasanya pasien rhinitis alergi juga menderita konjungtivitis alergi. Faktor-faktor yang turut menentukan dimana penyakit atopik pada seseorang akan berkembang atau dalam keadaan seperti apa seseorang itu hanya akan menderita rhinitis alergi saja, atau rhinitis alergi akan berkembang setelah eksim atau bahkan rhinitis alergi akan hadir bersamaan dengan asma tidak diketahui secara jelas. Seorang anak yang lahir dari orang tua (salah satu atau keduanya) menderita rhinitis alergi maka dia akan beresiko mengalami rhinitis alergi 2 kali lebih besar dibandingkan anak yang lahir dari orang tua tanpa rhinitis alergi. Anak yang memiliki beberapa saudara kandung yang lebih tua dan tumbuh dilingkungan pertanian dihubungkan dengan adanya penurunan resiko rhinitis alergi, hal ini mendukung hipotesis bahwa faktor-faktor pelindung tampaknya dapat mencerminkan bahwa paparan-paparan mikroba pada awal kehidupan seseorang dapat menggeser polarisasi Th2 dan alergi.

Ketika seseorang terpapar suatu alergen yang membuatnya peka (mengalami sensitisasi), maka akan terjadi persilangan alergen terikat IgE pada sel-sel mast mukosa yang menyebabkan terjadinya gangguan-gangguan pada hidung. Hal ini terjadi karena adanya pelepasan zat-zat vasoaktif dan neuroaktif seperti histamin, prostaglandin D2 dan sistenil leukotrien. Dalam beberapa jam berikutnya, melalui sebuah interaksi kompleks antara sel-sel mast, epitelial, T, limfoid inet, eosinofil dan basofil, inflamasi Th2 berkembang dengan melibatkan beragam kemokin dan sitokin yang dihasilkan oleh sel-sel tersebut. Sebagai konsekuensi inflamasi mukosa ini, maka gejala-gejala pada hidung akan bertahan berjam-jam setelah paparan dengan alergen dan mukosa menjadi lebih reaktif terhadap alergen (utama) dan begitupun terhadap alergen-alergen lainnya serta terhadap stimulus nonalergenik, seperti bau yang menyengat dan iritan-iritan lainnya (hiperresponsivitas hidung nonspesifik). Rhinitis alergi harus dipandang sebagai kumpulan mekanisme-mekanisme tersebut dan bukannya dianggap sebagai sebuah reaksi akut yang sederhana pada paparan alergen.

Secara lebih terperinci, perkembangan sensitisasi alergi, mekanisme imunologis dari reaksi nasal terhadap alergen dan mekanisme timbulnya gejala pada rhinitis alergi adalah sebagai berikut:
Sensitisasi
Sensitisasi melibatkan adanya alergen yang terserap oleh sel-sel antigen (sel-sel dendritik) pada mukosa yang menyebabkan aktivasi antigen spesifik sel-sel T, kemungkinan besar terjadi pada pengeringan kelenjar getah bening. Aktivasi simultan dari sel-sel epitelial melalui jalur non-antigenik (misalnya protease) dapat menyebabkan pelepasan sitokin epitelial (thymic stromal lymphopoeitin (TSLP), interleukin-25, dan interleukin-33), yang dapat mempolarisasikan proses sensitisasi kedalam sebuah tipe respon sel Th2. Polarisasi ini diarahkan menuju sel-sel dendritik dan kemungkinan juga melibatkan sel-sel limfoid inet tipe 2 (ILC2) dan basofil, yang menyebabkan pelepasan Th2-driving cytokines (interleukin-13 dan interleukin-4). Hasil dari proses ini adalah generasi dari sel-sel Th2 yang bergantian mengendalikan sel-sel plasma yang memproduksi IgE yang spesifik terhadap alergen. 
Paparan berulang
 Antibodi IgE spesifik alergen menempel kuat pada reseptor pada permukaan jaringan sel-sel mast dan basofil-basofil yang bersirkulasi. Pada paparan berulang, ikatan alergen pada IgE pada permukaan sel-sel tersebut menyebabkan aktivasi basofil dan sel-sel mast dan melepaskan mediator-mediator vasoaktif dan neuroaktif seperti histamin dan leukotrien. Mediator-mediator tersebutlah yang menyebabkan gejala-gejala rhinitis alergi. Terlebih lagi aktivasi lokal dari limfosit Th2 oleh sel-sel dendritik menyebabkan pelepasan kemokin dan sitokin yang menyebabkan influks sel-sel inflamatorik (eosinofil, basofil, neutrofil, sel T dan sel B) pada mukosa, menyebabkan target-target alergen yang lebih luas dan pengaturan yang berlebihan pada organ hidung. Inflamasi Th2 bukannya hanya menyebabkan hidung lebih sensitif terhadap alergen tapi juga terhadap iritan lingkungan. Lebih lanjut, paparan terhadap alergen selanjutnya akan menstimulasi pelepasan IgE. 
Pelepasan mediator-mediator oleh sel mast dan basofil
Pelepasan mediator-mediator oleh sel mast dan basofil dapat secara langsung mengaktivasi ujung syaraf sensorik, pembuluh darah, dan reseptor-reseptor spesifik pada kelenjar-kelenjar yang dilalui. Histamin menunjukan efek langsung pada pembuluh darah (terutama pada permeabilitas vaskuler dan perembesan darah), dan syaraf-syaraf sensorik, sedangkan leukotrien umumnya menyebabkan vasodilatasi. Aktivasi syaraf-syaraf sensorik menyebabkan pruritus dan beragam refleks syaraf pusat, termasuk sebuah refleks motorik yang menyebabkan bersin-bersin dan refleks parasimpatetik yang menstimulasi sekresi kelenjar hidung dan menghasilkan beberapa vasodilatasi. Terlebih lagi, pengendalian syaraf simpatetik pada sinusoid vena erektil hidung tertekan, memungkinkan pengenduran vaskuler dan obstruksi bagian-bagian hidung. Hiperresponsibilitas syaraf sensorik adalah gambaran patofisiologis umum pada rhinitis alergi.

Strategi dan Bukti

Diagnosis

Diagnosis rhinitis alergi sering dibuat secara klinis berdasarkan karakteristik gejala dan sebuah respon yang baik terhadap terapi empiris dengan sebuah antihistamin atau glukokortikoid nasal. Diagnosis formalnya didasarkan pada sensitisasi, baik yang diukur melalui adanya IgE spesifik alergen atau melalui skin test epikutaneus (misal respon whale and flare terhadap ekstrak alergen), serta adanya riwayat gejala-gejala yang berhubungan dengan paparan terhadap alergen tertentu, Diagnosis lebih mudah ditetapkan ketika gejala muncul pada kondisi tertentu atau saat pasien tersebut baru saja terpapar alergen yang memicu timbulnya gejala, dibanding dengan bila gejala tersebut telah kronis atau pasien melaporkan adanya lebih dari satu pemicu, termasuk alergen dan iritan. Kedua pengujian tersebut, memiliki tingkat sensitivitas yang sama, meskipun keduanya tidak dapat mengidentifikasi sensitisasi pada sebuah kelompok pasien secara keseluruhan. Keuntungan pengujian melalui sampel darah adalah bahwa pasien tidak perlu berhenti mengkonsumsi antihistamin beberapa hari sebelum pengujian dan teknik pengujian ini tidak memerlukan keahlian khusus, sedangkan keuntungan dari skin test adalah hasil pengujian dapat diketahui segera. 

Bentuk diagnosis banding yang dapat dipertimbangkan meliputi bentuk-bentuk rhinitis lainnya seperti rhinitis non-alergi yang dikenal juga sebagai rhinitis vasomotor atau rhinosinusitis kronik non-alergik. Berdasarkan sebuah studi yang melakukan pengujian dengan provokasi alergen nasal sebagai sebuah pengujian diagnostik standar menunjukan bahwa lebih dari separoh dari pasien yang diuji diklasifikasikan ke dalam kelompok rhinitis non-alergi, dimana hasil pengujian IgE serum negatif atau memiliki rhinitis alergi lokal karena antibodi IgE spesifik alergen hanya ditemukan pada mukosa. Observasi ini masih membutuhkan studi lanjutan, dan perlu dilakukan pengukuran kadar IgE spesifik alergen pada cairan hidung.

Gejala-gejala musiman dapat disebabkan oleh infeksi virus, terutama jika pasien adalah anak-anak atau orang tua yang tinggal dengan anak-anak. Rhinovirus biasanya memuncak pada sekitar bulan september. Rhinitis alergi dapat hadir bersamaan dengan rhinitis non-alergi (rhinitis campuran).


Terapi

Farmakoterapi
Pilihan terapi farmakologis diantaranya adalah melalui pemberian antihistamin H1, glukokortikoid intranasal atau antagonis reseptor leukotrien. Sebagian studi khasiat terhadap kelompok obat-obat tersebut dengan melibatkan pasien rhinitis alergi musiman atau pun menahun, menunjukan bahwa agen-agen tersebut cukup efektif. 
Terapi biasanya diawali dengan antihistamin H1 oral secara swamedikasi, karena obat-obat tersebut tersedia sebagai obat bebas. Antihistamin generasi yang lebih baru memberikan efek sedasi yang lebih ringan dengan khasiat yang sama, oleh karenanya antihistamin generasi baru umumnya lebih disukai daripada generasi awal. Onset kerja yang cepat memungkinkan antihistamin digunakan sesuai kebutuhan. Antihistamin H1 juga tersedia dalam sediaan spray hidung. Sediaan intranasal memiliki khasiat yang sama dengan sediaan oral, namun kadang kurang disukai karena meninggalkan rasa pahit. Efek antihistamin pada gejala terutama kongesti nasal tidak terlalu kuat. Antihistamin ini dapat dikombinasikan dengan dekongestan, dan kombinasi tersebut dapat memperbaiki aliran udara pada hidung dalam waktu singkat (2-6 minggu). Dekongestan hidung topikal lebih efektif daripada bentuk oralnya, namun ada sebuah laporan yang menyatakan bahwa kekambuhan kongesti atau penurunan efektivitas dapat terjadi dimulai pada hari ketiga sejak dimulainya terapi, dan penggunaan dekongestan hidung lokal hanya disarankan untuk penggunaan jangka pendek. Dalam sebuah studi disebutkan bahwa penambahan glukokortikoid intranasal mengembalikan keefektifan dekongestan topikal.

Glukokortikoid intranasal lebih efektif pada pasien rhinitis alergi musiman. Tidak ada bukti kuat yang mendukung pernyataan bahwa glukokortikoid intranasal lebih efektif dibandingkan antihistamin pada pengobatan rhinitis alergi menahun.
Tersedianya antihistamin oral dan glukokortikoid intranasal sebagai obat bebas, memungkinkan seseorang dengan sendirinya mengkonsumsi salah satu atau kedua obat tersebut saat mereka mengalami gejala-gejala rhinitis sebagai upaya swamedikasi. Efek dari antagonis reseptor leukotrien pada gejala-gejala rhinitis alergi hampir sama dengan antihistamin oral, namun dalam sebuah studi menyatakan bahwa kombinasi keduanya memberikan sebuah keuntungan, namun kombinasi antihistamin oral dan  glukokortikoid intranasal lebih disukai. Sementara itu, kombinasi antihistamin intranasal dan glukokortikoid intranasal umumnya lebih baik dibandingkan penggunaan agen tunggal.

Imunoterapi alergen
Dalam populasi secara umum, telah dilaporkan bahwa sekitar 1/3 dari dari anak-anak dan sekitar 2/3 dari orang dewasa pernah menjalani farmakoterapi rhinitis alergi. Dan pada tahap selanjutnya beberapa diantara mereka juga menerima imunoterapi alergen. Imunoterapi alergen umumnya diberikan secara injeksi subkutan, namun kini juga telah tersedia sediaan tablet cepat larut yang diberikan secara sublingual. Pada imunoterapi subkutan, pasien menerima sejumlah dosis alergen yang dititrasi perlahan hingga mencapai dosis terapinya. Pada imunoterapi sublingual, sebuah dosis tetap alergen diberikan selama 12-16 minggu sebelum permulaan musim alergi. Pada kedua mekanisme imunoterapi tersebut, terapi dilanjutkan dengan dosis perawatan selama beberapa tahun. Imunotearpi akan menurunkan sistem regulasi respon alergi terhadap suatu alergen spesifik melalui berbagai mekanisme. Disamping efektif dalam pengendalian rhinitis alergi, imunoterapi juga membantu mengontrol asma alergi dan konjungtivitis.
Berbeda dengan farmakoterapi, imunoterapi akan memberikan efek yang bertahan meski pemberian imunoterapi telah dihentikan. Efek positif dari imunoterapi subkutan dengan ekstrak rumput yang diberikan selama 3 tahun, akan memberikan efek yang bertahan hingga 3 tahun sejak imunoterapi dihentikan, begitu pun pada imunoterapi sublingual. Hal yang kurang disukai dari imunoterapi subkutan adalah pasien harus secara rutin menerima suntikan alergen setiap 1-2 kali seminggu sebagai upaya mempertahankan dosis perawatan. Jika tak ada perbaikan rhinitis alergi dalam satu tahun pertama imunoterapi, maka terapi biasanya akan dilanjutkan hingga sekurang-kurangnya 3 tahun. Imunoterapi subkutan juga beresiko menyebabkan reaksi sistemik yang terjadi pada sekitar 0,1% pasien, meski jarang terjadi hingga menyebabkan reaksi anafilaksis yang dapat menyebabkan kematian. Reaksi anafilaksis hanya terjadi pada sekitar 1/1.000.000 pasien.
Dibandingkan dengan imunoterapi sublingual, imunoterapi subkutan lebih efektif. Keuntungan imunoterapi sublingual dibandingkan subkutan masih belum jelas, kecuali dalam hal, imunoterapi sublingual dapat dilakukan mandiri oleh pasien.

Kesimpulan dan Rekomendasi pada Contoh Kasus

Wanita dalam contoh kasus diatas dapat dipastikan menderita rhinitis alergi. Saat dimana dia mengalami episode sesak nafas disertai mengi menunjukkan kemungkinan dia juga menderita asma. Pada tahap awal terapi yang dapat diberikan adalah terapi empiris, uji sensitisasi terhadap alergen yang relevan perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosa.

Kombinasi antihistamin dan glukokortikoid intranasal dapat diberikan pada pasien ini. Jika farmakoterapi tersebut kurang efektif, maka harus diberikan imunoterapi.
Pustaka
http://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJMcp1412282 



Baca juga