Kamis, 15 Desember 2016

ANALISIS IMUNOKIMIA UNTUK DETEKSI MIKROBA PATOGEN DAN SENYAWA RACUN




Analisis imunokimia adalah analisis berdasarkan reaksi antara antigen (Ag) dan antibodi (Ab). Analisis ini bisa bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Dalam analisis ini senyawa label diperlukan untuk mendapatkan visualisasi hasil reaksi. Prinsip reaksi imulogi pada mamalia adalah sebagai berikut:

Ag + Ab → kompleks Ag-Ab → Reaksi sekunder → Reaksi tersier

                    (Reaksi primer)    

Reaksi sekunder dapat berupa fiksasi komplemen, aglutinasi atau presipitasi, sedangkan reaksi tersier dapat berupa degranulasi atau opsonisasi.

Dalam analisis imunokimia, jika analisis digunakan untuk mendeteksi antigen, maka antigen tersebut sebagai target, dimana antigen berupa senyawa aktif atau racun yang dimaksud. Sedangkan bila analisis dimaksudkan untuk mendeteksi antibodi, maka antigen yang menjadi perekai didalam kit. Antibodi dalam tubuh terbentu berdasarkan antigen yang menginduksinya. Reaksi spesifik antara antigen dan antibodi dapat terjadi melalui ikatan hidrogen, ikatan elektrostatik, ikatan van der walls atau hidofobik.

Senyawa imunogenik adalah senyawa yang dapat memicu sistem imun mamalia. Senyawa antigenik adalah senyawa yang dapat bereaksi spesifik dengan dengan antibodi. Syarat senyawa imunogenik adalah memiliki bobot molekul tinggi, lebih dari 5000 dalton. Bila suatu senyawa memiliki bobot molekul rendah, maka dapat diupayakan melalui konjugasi dengan protein carier agar bersifat imunogenik.

Bahan yang dapat dianalisis secara imunokimia (sebagai antigen) diantaranya:

  1. Mikroba patogen atau toksin mikroba
  2. Toksin tanaman atau hewan
  3. Protein spesifik atau senyawa lain yang berstruktur spesifik
  4. Senyawa obat (narkotik, psikotropik)
  5. Senyawa pestisida
Antibodi adalah hasil reaksi humoral sel B dalam limpa mamalia. Antibodi bersifat spesifik terhadap antigen yang memicunya. Contoh antibodi adalah Imunoglobulin; IgA, IgD, IgM, IgE, IgG.

Reaksi antara antigen dan antibodi dengan adanya senyawa label maka hasil reaksi tersebut dapat divisualisasi. Senyawa label adalah senyawa yang dikonjugasikan pada antigen atau antibodi sehingga dapat memvisualisasikan reaksi Ag-Ab yang terjadi. Senyawa label dapat berupa enzim, senyawa yang dapat berflouresensi, radioaktif dan lain-lain. Reaksi amplifikasi dapat dilakukan sehingga dapat diukur secara fisikokimia.

Beberapa contoh senyawa label diantaranya:
  • Enzim: Horse radish peroxidase (HRP), Alkaline phosphatase
Syarat enzim yang ideal sebagai label yaitu:
  1. memiliki aktivitas tinggi pada konsentrasi rendah
  2. stabil pada kondisi reaksi (biasanya pH netral)
  3. mudah dikonjugasi ke molekul lain untuk reaksi lanjutan atau dalam penyimpanan
  4. Tersedia dalam keadaan murni (tingkat kemurniannya tinggi)
  5. harga murah
  6. Mudah dideteksi dengan cara sederhana
  7. tidak terdapat dalam cairan sampel biologi yang akan diuji 

  • Senyawa berflouresensi; fluoresein, umbeliferon, tetrametil rodhamin
  • Senyawa luminesence; luciferin
  • Partikel: Tanned erythrocyte, colloidal, microsphere, gold, silver
  • vesikel: liposom
Karakteristik senyawa label yang diperlukan dalam analisis imunokimia adalah:
  • memiliki aktivitas spesifik, aktivitas spesifik label berhubungan dengan: 1). fraksi pada label yang akan digunakan untuk deteksi, 2). derajat amplifikasi, 3). efisiensi deteksi
  • mudah dideteksi
  • tidak berbahaya
Metode-metode analisis imunokimia berdasarkan label yang digunakan diantaranya:
  1. EIA (Enzime Immuno Assay)
  2. ELISA (Enzyme Linked-Immunoabsorbent Assay)
  3. RIA (Radio Immuno Assay)
  4. IFA (Immuno Fluoresence Assay)
  5. LIA (Luminesence Immuno Assay)
Bahan-bahan yang diperlukan dalam analisis imunokimia:
  1. Antigen
  2. Antibodi
  3. Media penyangga reaksi
  4. Larutan dapar pelarut
  5. Larutan dapar pencuci
  6. Senyawa label
  7. Substrat
  8. Senyawa penghenti reaksi
  9. Instrumen pendeteksi hasil reaksi
Langkah-langkah dalam analisis imunokimia:
  1. Suatu larutan atau suspensi antigen (atau dapat pula dilakukan sebaliknya yaitu dengan memasukkan antibodi terlebih dahulu) dimasukkan ke dalam sumur plat solid, lalu diinkubasi pada suhu tertentu selama waktu tertentu (sesuai dengan jenis antigen dan antibodi yang digunakan), lalu ditambahkan larutan pemblok untuk menghindari ikatan non-spesifik.
  2. Larutan antibodi B (antigen A) dimasukkan ke dalam sumur plat tersebut setelah proses pencucian. Kompleks A-B akan terbentuk dengan kuat. Suatu konjugat antibodi C (anti-antibodi B) dengan suatu label (misalnya enzim) ditambahkan sehingga membentuk komplek A-B-C-enzim.
  3. Penambahan substrat tertentu akan menyebabkan terbentuknya warna dan reaksi warna dihentikan dengan penambahan senyawa lain agar warna yang terbentuk stabil pada saat pengukuran.
  4. Warna yang terbentuk diukur intensitasnya dengan menggunakan spektrofotometer. Konsentrasi yang terukur akan sebanding dengan antigen yang terikat pada reaksi yang terjadi.
Tahapan Radioimmunoassay:
  1. Sensitize plate
  2. wash
  3. add test antibody
  4. wash
  5. add radiolabelled ligand
  6. wash
  7. count
Tahapan ELISA:
  1. Sensitize plate
  2. wash
  3. add test antibody
  4. wash
  5. add ligand
  6. wash
  7. add chromogen
  8. develop plate
Sumber kesalahan dalam analisis imunokimia:
  1. Kesalahan random/acak (impresisi)
Kesalahan acak dapat berupa:
  • pemipetan; masalah desain pipet itu sendiri, cara menggunakan dan hal teknis dalam penggunaan pipet (volume yang dikeluarkan)
  • Pemisahan padatan dari cairan; proses pembentukan endapan yang tergantung waktu, kecepatan, suhu, dll, proses pencucian yang tidak sempurna
  • Kondisi reaksi biokimia; konstanta kesetimbangan antibodi, waktu, suhu
  • Jumlah radioaktif, jika menggunakan RIA
  • Intensitas fluoresensi yang terjadi jika menggunakan IFA
  • Kesalahan spektrofotometrik
  • Stabilitas pereaksi
      2. Kesalahan sistemik (inakurasi)
  • Masalah kalibrasi alat, bentuk pipet
  • Interferensi dalam reaksi; terjadinya pengikatan nonspesifik, inhibisi enzim, pendaran cahaya, adanya pengaruh enzim endogen, pengaruh obat lain yang digunakan, pengaruh senyawa endogen lainnya (bilirubin, dll)
  • Efek matriks 







Seluruh MATERI dalam tulisan ini adalah materi yang disampaikan
Ibu MARLIA SINGGIH WIBOWO
dalam Kuliah Mikrobiologi Obat dan Makanan
SEKOLAH FARMASI ITB 

Rabu, 14 Desember 2016

PEMASTIAN MUTU PRODUK STERIL DI INDUSTRI FARMASI




Produk obat atau bahan baku obat  serta eksipien termasuk dalam cakupan Farmakope dan harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Farmakope. Bab-bab umum dalam farmakope Amerika Serikat (USP) memuat bab-bab tentang metode analisis (Test and Assay) yang resmi dan informasi yang penting yang berkaitan dengan metode-metode analisis terkait. Bab dengan nomor lebih dari 1000 merupakan informasi yang tidak memuat standard ataupun spesifikasi.

Bahan atau produk steril dapat dikelompokkan menjadi:
  1. Bahan baku obat, ruahan (senyawa aktif obat non kompleks, senyawa obat hasil bioteknologi, senyawa-senyawa yang terkandung dalam suplemen makanan)
  2. Produk obat, vaksin (senyawa aktif non kompleks, produk obat hasil bioteknologi, Produk-produk darah, produk terapi gen dan sel, produk suplemen makanan)
  3. Sediaan-sediaan steril
  4. Bahan eksipien obat
  5. Alat (devices), wadah (containers)
  6. Alat kesehatan (Medical devices)
Jenis-jenis analisa utama yang dimuat dalam USP yang berkaitan dengan produk steril (USP 30):
  1. Uji batas endotoksin <85> Bacterials Endotoxins Test
  2. Uji sterilitas <71> Sterility Test dan <1208>Sterility Testing - Validation of Isolators Systems
  3. Proses-proses aseptik <1116> Microbiological Evaluation of Clean Room and other Controlled Environments, <1208>, <1211> Sterilization and Sterility Assurance of Compendial Articles, 
  4. Filtrasi <1211> Filtration
  5. Perakitan <1116>, <1207> Sterile product Packaging-Integrity Evaluation

Selain preparasi atau produksi produk steril di industri farmasi, preparasi produk steril di rumah sakit juga mulai diatur oleh USP. Sejak 1 januari 2004, USP menetapkan <797> Pharmaceutical Compounding; Sterile Preparations. Peraturan tersebut mulai dipublikasikan sejak USP 27 dan NF 22 tahun 2004 dan tetap berlaku hingga kini. Bab ini berisi tentang persyaratan dan penetapan standar-standar yang dapat diterapkan pada seluruh aktivitas pembuatan produk steril.

Tingkat resiko pada pembuatan produk steril berupa:
  1. Low risk (resiko rendah)
  2. Medium risk (resiko sedang)
  3. High Risk (resiko tinggi)

Pemastian mutu produk steril dilakukan pada:
  1. Bahan baku, intermediate dan produk akhir
  2. Proses produksi; teknik aseptik, sterilisasi akhir
  3. Peralatan yang digunakan
  4. Kontrol kualitas (Quality control, QC)
  5. Lingkungan; monitoring, validasi
  6. Personel; trampil dan terlatih
  7. Dokumentasi; kelengkapan, arsip
  8. Pemasaran; monitoring, evaluasi

Quality Assurance (QA) Program berupa:
  1. Monitoring
  2. Evaluating
  3. Correcting
  4. Improving
  5. Maintaining

Uji Sterilitas


Uji sterilitas dilakukan dengan tujuan untuk menetapkan apakah bahan farmakope yang harus steril memenuhi syarat berkenaan dengan uji sterilitas seperti yang tertera pada masing-masing monografi. Suatu produk dapat dikatakan steril jika memenuhi persyaratan dalam uji sterilitas. Kemungkinan hasil positif mengandung mikroba dapat terjadi karena teknik yang salah atau kontaminasi lingkungan pada waktu pengujian. Mikroba yang digunakan pada uji sterilitas adalah:
  • Bacillus subtilis (ATCC No. 6633)
  • Candida albicans (ATCC No. 10321)
  • Bacteroides vulgatus (ATCC No. 8482)
Media uji yang digunakan adalah media yang bersifat merangsang pertumbuhan mikroba, yaitu:
  • Fluid Thioglycolate Medium (FTM) dan atau dengan Alternative Thioglycolate Medium (ATM)
  • Soybean-Casein Digest Medium (SCDM)
Sedangkan cairan pengencer atau pembilas yang dapat digunakan diantaranya:
  1. Cairan A; cairan ini terbuat dari 1 gram jaringan hewan yang telah diuraikan dengan enzim pepsin, dilarutkan dalam air hingga volumenya 1 liter, saring/sentrifugasi, pH diatur pada 7,1. Cairan ini jika akan digunakan pada sediaan yang mengandung senyawa golongan penisilin atau sefalosporin (beta laktam) maka media tersebut harus ditambahkan enzim penisilinase untuk proses inaktivasi.
  2. Cairan D; terbuat dari 1 liter cairan A ditambah dengan 1 ml tween 80. Cairan ini digunakan bila sediaan mengandung lesitin atau minyak, atau untuk uji peralatan steril dengan menggunakan penyaring membran.
  3. Cairan K; cairan ini mengandung jaringan hewan yang telah diuraikan oleh enzim lambung (peptic digest), beef extract dan tween 80.
Semua cairan pembilas harus disterilkan dengan autoklaf.

Penambahan penisilinase dilakukan pada uji sediaan yang mengandung pengawet antimikroba golongan penisilin. Penambahan penisilinase ditentukan dengan menggunakan sediaan penisilinase yang sebelumnya telah diuji daya pengaktif penisilin atau sefalosporinnya atau dengan menetapkann jumlah penisilinase yang diperlukan dengan menambahkannya kedalam tabung FTM dan sejumlah antibiotik dalam spesimen uji, kemudian diinokulasikan media dengan 1 ml pengenceran (1:1000) biakan selama 18-24 jam Staphylococcus aureus dalam FTM, kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 30-35 derajat celcius.

Sebelum media digunakan perlu juga diuji fertilitas, uji ini bertujuan untuk memastikan bahwa media yang digunakan dapat menumbuhkan mikroba uji sampai waktu 7 hari. Uji ini dilakukan sebelum dilakukannya uji sterilitas terhadap sampel. Uji fertilitas:

  1. FTM, dilakukan dengan bakteri ujinya berupa Bacillus subtilis, Candida albicans dan Bacteroides vulganus dengan kondisi aerobik pada suhu 30-35 derajat celcius.
  2. ATM, dilakukan dengan bakteri uji Bacteroides vulgatus dengan kondisi anaerobik, pada suhu 30-35 derajat celcius.
  3. SCDM dilakukan dengan bakteri uji Bacilus substilis dan Candida albicans pada kondisi aerobik pada suhu 20-25 derajat celcius.

Metode Uji Sterilitas

Inokulasi Langsung Ke Dalam Media Uji
Sebelum dinokulasikan, maka diperlukan uji bakteriostatik dan fungistatik. Jika pertumbuhan mikroba uji dalam campuran media bahan secara visual sebanding dengan pertumbuhan dalam tabung kontrol, gunakan jumlah bahan dan media seperti yang tertera pada tabel jumlah untuk bahan cair dalam pemilihan spesimen uji dan masa inkubasi. Penetapan perbandingan bahan dan media yang tidak merugikan pertumbuhan mikroba uji.

Ketentuan penambahan atau pengurangan dalam menentukan perbandingan bahan dan media adalah sebagai berikut:
  1. Jika sejumlah tertentu bahan dalam 250 ml media masih mempunyai daya bakteriostatik atau fungistatik, kurangi jumlah bahan hingga diperoleh jumlah maksimum yang tidak menghambat pertumbuhan uji dalam 250 ml media
  2. Untuk cairan atau suspensi yang jumlahnya kurang dari 1 ml, perbesar jumlah media hingga cukup untuk mengencerkan dan mencegah hambatan pertumbuhan
  3. Untuk bahan padat yang tidak segera larut atau terdispersi, jika jumlahnya kurang dari 50 mg, perbesar jumlah media hingga cukup untuk mengencerkan untuk mencegah hambatan pertumbuhan.
Prosedur inokulasi langsung ke dalam media uji dapat dilakukan untuk uji:
  • cairan
  • salep dan minyak yang tidak larut dalam isopropil miristat
  • zat padat
  • kapas murni, perban, pembalut, benang bedah dan bahan sejenisnya
  • alat kesehatan steril
  • alat suntik kosong atau terisi seril
Prinsip pengujiannya adalah dengan menambahkan bahan uji kedalam media kemudian diinkubasi selama 14 hari dengan pengamatan pada hari ke 3,4 atau 5, hari ke 7 atau 8, dan pada hari terakhir pengujian.
Perlakuan-perlakuan awal yang diperlukan pada berbagai sediaan adalah:
  1. Sediaan cairan; pemindahan cairan ke wadah uji dengan menggunakan pipet steril, secara aseptik diinokulasikan ejumlah tertentu bahan kedalam tabung media. Pencampuran cairan dan media tanpa aerasi berlebihan.
  2. Sediaan salep dan minyak yang tidak larut dalam isopropil miristat; dipilih 20 wadah yang mewakili kemudian dibagi atas 2 kelompok masing-masing 10 wadah, dan tiap kelompok diperlakukan: secara aseptis pindahkan 100 mg dari tiap wadah kedalam labu berisi 100 ml pembawa air steril yang dapat mendispersi homogen bahan uji dalam seluruh campuran cairan. Kemudian campurkan 10 ml alikuot dari campuran cairan yang diperoleh dengan 80 ml tiap media.
  3. Sediaan padat; ambil sejumlah tertentu produk dalam bentuk padat kering (atau yang sudah dibuat larutan atau suspensi dalam cairan pengencer steril) tidak kurang dari 300 mg tiap wadah atau seluruh isi wadah jika tiap isi kurang dari 300 mg. Inokulasikan ke dalam masing-masing media tidak kurang dari 40 ml FTM dan SCDM.
  4. Kapas murni, perban, pembalut, benang bedah dan bahan sejenisnya; dari setiap kemasan, ambil secara aseptik 2 bagian atau lebih masing-masing 100-500 mg dari bagian paling dalam. Secara aseptik pindahkan bagian bahan uji ini ke dalam sejumlah tertentu wadah media yang sesuai dan inkubasi.
  5. Alat kesehatan steril; untuk alat yang bentuk dan ukurannya memungkinkan dicelupkan keseluruhan ke dalam tidak lebih dari 1000 ml media, maka alat diuji ke dalam media secara utuh. Sedangkan untuk alat yang mempunya pipa atau saluran berlubang seperti alat transfusi atau alat infus atau yang ukurannya menyebabkan pencelupan tidak dapat dilakukan dan hanya saluran cairanya yang steril, bilas lumen masing-masing dengan sejumlah FTM dan SCDM hingga diperoleh kembali tidak kurang dari 15 ml setiap media, kemudian inkubasikan tidak kurang dari 100 ml masing-masing media.
  6. Alat suntik kosong atau terisi steril; uji dilakukan sama seperti uji untuk produk steril dalam ampul atau vial. Cara inokulasi langsung dapat dilakukan jika penentapan bakteriostatik dan fungistatik telah menunjukan aktivitas yang tidak merugikan dalam kondisi pengujian.
 
Uji Sterilitas dengan Teknik Penyaringan Membran
Uji ini berguna untuk:
  1. Cairan yang serbuk yang dapat larut yang bersifat bakteriostatik atau fungistatik, untuk memisahkan mikroba kontaminan dari penghambatan pertumbuhan.
  2. Untuk bahan yang seperti minyak, salep atau krim yang dapat melarut ke dalam larutan pengencer bukan bakteriostatik atau fungistatik.
  3. Uji sterilitas permukaan atau lumen kritis alat-alat kesehatan
Prosedur awal uji ini:
  1. Buat perbandingan yang sama menggunakan sejumlah tertentu bahan uji dan cairan pengencer dan pembilas yang sesuai
  2. Bilas membran 3x, tiap kali dengan 100 ml cairan pengencer dan pembilas
Pertumbuhan mikroba uji dari membran yang digunakan untuk menyaring bahan diikuti cairan pengencer dan pembilas yang telah diinokulasi secara visual sebanding dengan pertumbuhan dari membran yang hanya digunakan untuk menyaring cairan pengencer dan pembilas yang telah diinokulasi.
Secara khusus metode ini digunakan untuk pengujian:
  • cairan yang dapat bercampur dengan pembawa air
  • cairan yang tidak bercampur dengan pembawa air (kurang dari 100 ml per wadah)
  • zat padat yang dapat disaring
  • Salep dan minyak yang larut dalam isopropil miristat
  • zat padat yang tidak dapat disaring
  • alat kesehatan
Peralatan yang diperlukan porositas 0,45 mikrometer, diamater kurang lebih 47 mm, kecepatan penyaringan 55-75 ml/menit dengan tekanan 70 cm Hg.
Penafsiran hasil uji sterilitas:
  1. Tahap 1; amati adanya pertumbuhan mikroba seperti kekeruhan dan atau pertumbuhan pada permukaan pada isi semua wadah dalam interval waktu tertentu dan pada akhir periode inkubasi. Jika tidak terjadi pertumbuhan, maka bahan uji memenuhi syarat.
  2. Tahap 2; jumlah spesimen yang diuji minimal 2x jumlah tahap 1. Jika tidak ditemukan pertumbuhan mikroba, maka bahan yang diuji memenuhi syarat. Jika ditemukan pertumbuhan mikroba, maka bahan yang diuji tidak memenuhi syarat. 

Uji Endotoksin


Produk-produk farmasi parenteral harus steril karena produk tersebut diberikan langsung ke sistem sirkulasi pembuluh darah, selain itu produk tersebut juga harus bebas dari kontaminasi endotoksin dalam batasan tertentu. Produk steril dapat terkontaminasi endotoksin karena pada proses sterilisasi produk parenteral (menggunakan panas), bakteri gram negatif yang mungkin ada dalam produk, akan mati dan mengalami lisis, sehingga endotoksin terlepas dari dalam sel dan akan tetap tinggal dalam produk. Endotoksin bersifat stabil terhadap panas. Endotoksin adalah toksin yang dihasilkan oleh bakteri gram negatif.

Pirogen adalah senyawa yang dapat menyebabkan kenaikan suhu tubuh akibat penggunaan produk farmasi yang diberikan secara intravena. Semua endotoksin bersifat pirogen, tetapi tidak semua senyawa pirogen merupakan endotoksin. Endotoksin bakteri terdiri dari senyawa lipopolisakarida (LPS) yang umumnya terikat pada protein dan fosfolipid. LPS ini menyusun membran luar bakteri gram negatif. Contoh LPS dari Salmonella terdiri dari bagian A yang hidrofob yang terikat pada suatu daerah inti yang mengandung molekul KDO (2-keto-3-deoksioktonat).

Efek endotoksin pada tubuh:

  • demam
  • aktivasi sistem sitoksin
  • rusaknya sel-sel endotelial
  • permeabilitas pembuluh darah berubah sehingga menyebabkan turunannya tekanan darah
Regulasi tentang uji endotoksin telah banyak mengalami perkembangan. Bacterial Endotoxin Test (BET) merupakan salah satu uji penting terhadap produk parenteral dan alat kesehatan. Tahun 1912 uji pirogen diberlakukan dengan metode kelinci (Rabbit Test), dan diadopsi oleh USP sejak tahun 1942 dan bertahan hingga 40 tahun kemudian. Sejak tahun 1980 metode baru yang diterapkan yaitu Limulus amoebocyte lysate (LAL) test.

LAL tes adalah uji in vitro untuk mendeteksi dan menganalisis kuantitatif adanya endotoksin bakteri. LAL diperoleh dari ekstrak cair amoebosit Horseshoes crab (Limulus polyphemus atau Tachypleus tridentatus). Metode analisis LAL mencakup teknik gel-clot dan turbidimetri kinetik dan kromogenik (kolorimetri). LAL test adalah metode alternatif terhadap Rabbt pyrogen test yang difokuskan pada pendeteksian senyawa pirogen dalam produk, untuk menghindari penggunaan hewan dalam percobaan. Metode ini lebih akurat.

Dalam LAL test, lisat diperoleh dari amoebosit kepiting landam kuda (Limulus polyphemus atau Tachipleus tridentatus). Penggunaan LAL untuk deteksi endotoksin berawal dari pengamatan Bang (1956) bahwa infeksi bakteri gram negatif pada Limulus polyphemus menyebabkan koagulasi intravaskular yang parah. Pada tahun 1964, Levin dan Bang kemudian menunjukan bahwa penggumpalan itu merupakan hasil reaksi antara endotoksin dan protein yang dapat menggumpal dalam amoebosit. Dilanjutkan oleh Solum (1970, 1973) dan Young (1972), melakukan pemurnian dan karakterisasi protein yang dapat menggumpal dari reaksi LAL dan menunjukan bahwa reaksi dengan endotoksin merupakan reaksi enzimatik.

Prinsip Gel-clot Assay:

  1. pembentukan gel padat pada titik akhir reaksi sebagai hasil reaksi antara LAL dan endotoksin
  2. Reagen LAL dan larutan uji dalam tabung reaksi dengan volume yang sama
  3. Inkubasi pada suhu 37 +- 2 derajat celcius selama 60 +- 1 menit
  4. Bila rekasi positif maka terbentuk gel stabil dan melekat pada dasar tabung bila dibalik 180 derajat
  5. Bila reaksi negatif, maka gel kental terlepas dari dasar tabung bila dibalikkan 180 derajat
Reagen LAL berupa ekstrak amoebosit dalam kepiting landam kuda Limulus polyphemus.

Selain LAL test, uji endotoksin juga dapat dilakukan dengan TAL (Tachyplues Amoebocyte lysate), yang merupakan hasil ekstraksi amoebosit dari Tacypleus tridentatus (kepiting landam kuda China atau Jepang). Reagen berupa TAL 0,125 EU/ml, dengan kontrol standar endotoksin (CSE) 10 EU/ml.

Sebelum uji TAL terhadap sampel perlu dilakukan:
  1. Uji konfirmasi kepekaan lisat (λ)
Uji ini untuk mengecek kepekaan/sensitivitas reagen TAL, apakah sesuai dengan yang tercantum pada label. Dibuat 4 seri pengenceran 2λ, Î», 0,5 Î», 0,25 Î» dari CSE dalam 4 replikasi dan kontrol negatif (Reagent water, RW). Persyaratan; kadar rata-rata geometrik titik akhir harus > 0,25 Î» dan < 2.0 Î».
Pengenceran maksimum yang absah (PMA=MVD) adalah:
PMA = batas kadar endotoksin/Kepekaan (λ)
         = 0,25 UE/ml / 0,125 EU/ml
         = 2
jadi, sampel ini hanya dapat diencerkan maksimum 1:2.
      2. Optimasi kondisi percobaan
Optimasi kondisi dilakukan dengan melakukan variasi suhu dan atau waktu inkubasi
      3. Verifikasi atau validasi metode (sesuai keperluan di laboratorium uji)
Parameter analisis yang harus dipertimbangkan dalam validasi metode:

   4. Uji terhadap sampel

Pengujian dengan Toksinometer


Pengujian dengan toksinometer merupakan teknik kinetik-turbidimetri. Endotoksin mengaktifkan enzim pada LAL menghasilkan gelatinasi coagulin, sehingga meningkatkan turbiditas sampel. Perubahan transmitan diukur selama kurun waktu gelatinasi dari awal sampai akhir reaksi. Waktu gelatinasi berhubungan dengan jumlah endotoksin dalam sampel. 








Seluruh MATERI dalam tulisan ini adalah materi yang disampaikan oleh:
Ibu MARLIA SINGGIH WIBOWO dalam kuliah Mikrobiologi Obat dan Makanan
SEKOLAH FARMASI ITB 

Selasa, 18 Oktober 2016

PROTEIN-PROTEIN FARMAKA



Protein-protein farmaka secara garis besar digolongkan menjadi:

  1. Asam-asam amino
  2. Protein dan analog protein
  3. Protein darah
  4. Hormon
  5. Enzim dan zimogen
  6. Produk protein dari telor ayam
Teknologi DNA rekombinan memungkinkan untuk menghasilkan protein untuk tujuan aplikasi farmasi. Protein yang dihasilkan melalui bioteknologi sekarang mengandung sejumlah bagian yang penting dari obat-obat yang sekarang sedang dikembangkan. Proses isolasi, purifikasi, formulasi dan deliveri protein menjadi tangtangan tersendiri bagi para ilmuwan farmasi, karena protein memiliki sifat-sifat fisik dan kimiawi yang unik. Sifat-sifat tersebut menunjukkan adanya masalah dalam stabilitasnya. Instabilitas kimia protein meliputi:
  • proteolisis
  • deamidasi
  • oksidasi
  • rasemisasi
  • beta-eliminasi
sedangkan instabilitas fisik dapat berupa:
  • agregasi
  • presipitasi
  • denaturasi
  • adsorpsi pada permukaan
metodologi-metodologi terbaru untuk menstabilkan protein diantaranya:
  • Penambahan senyawa aditif
  • Penambahan eksipien
  • Modifikasi secara kimia
  • Penggunaan mutagenesis terarah untuk menghasilkan spesies protein yang lebih stabil

Asam Amino


Asam-asam amino yang telah digunakan dalam dunia farmasi diantaranya:
  1. Asam amino, misal: glisin (Glycocoll)
  2. Methionin, asam DL-2-amino-4-(methio)-butirate (Amurex)
  3. Dihidroksialumunium aminoasetat, Basic aluminium glisinate (Hyperacide)
  4. Asam aminokaproat, 6-aminohexanoic acid (Amicar)
  5. Acetilcistein, N-asetyl-L-cystein (Mucomist)
  6. Asam glutamat HCl (Acidulin)
  7. Levodopa, (-)-3_(3,4-dihidroksifenil)-L-alanin (Larodopa, Dopar, Levopa)
  8. Carbidopa (Sinemet)

Protein dan Analog Protein


Dapat digolongkan menjadi:
  1. Protein hidrolisat; injeksi protein hidrolisat (Aminogen, Travamin)
  2. Larutan asam amino; Aminosin, Freeamin III, Trowasol, Novamine
  3. Protein dan senyawa-senyawa yang mirip dengan protein
Protein dan senyawa yang menyerupainya diantaranya:
  • Gelatin, gelatin film (Gelfilm), Gelatin sponge (Gelfoam)
  • Protein susu : activin, caside, clarinac, bu-ma-lac, lactoprotein, mangalac, nat-i-lac, neolacmanese, proteolac
  • Protein pepton bovine; Muscosol
  • Protein bakteri : Omniadin
  • Synodal (protein non-spesifik: lipoid, lemak hewani, ametin HCl)
  • Venom : venom cobra, Moccasin, Strypven, Ven-Apis
  • Nucleoprotein : Polimerase DNA/RNA, nuklease, isomerase, tubulin, histon

Protein-protein Darah


Protein darah dapat berupa trombin, hemoglobin, fibrinogen dan lain-lain. 

Hormon


Jenis-jenis hormon:
  1. Hormon hipotalamus; thyroliberin (TRH), Tyrotropin (TSH), Gonadoliberin (Gn-RH, LH-RH), GRF, LHRIF, CRF, MRF, MIF.
  2. Hormon pituitary (hipofisis); adenohipofisis (ACTH, GH, LH, FSH, Prolaktin), neurohipofisis (vasopresin, oksitosin)
  3. Melanotropin: alfa-MSH, beta-MSH, gamma-melanotropin
  4. Lipotropin (LPH); enkefalin alfa dan beta, endorfin alfa, beta dan gamma
  5. Hormon-hormon pertumbuhan; somatrem (protropin), somathropin (humathrope dari rDNA)
  6. Prolaktin (PRL)
  7. Thyrotropin (TSH, Tryptopar)
  8. Somatostatin (SRIF); octreotide asetat (sandostatin)
  9. Hormon placenta (hCG, hPL)
  10. Neurohipofisis; oksitosin, vasopresin (pitresin), vasopresin tannate, felypresin, lypressin (Diapid), Desmopressin asetat (DDAVP, Stimate)
  11. Hormon pankreas; insulin (insulin, insulin protamin, Zn-protamin insulin), glukagon
  12. Hormon saluran cerna; gastrin, pentagastrin, sekretin, chelecystokinin-pancreozymin (CCK-PZ), vasoactive intestinal peptide (VIP), gastric inhibitory peptide (GIP), Motilin, neurotensin
  13. Hormon paratiroid; parathyroid, calcitonin (thyrocalcitonin)
  14. Angitensin; angiotensi amide (hipertensin), eritropoeitin (Epogen)
  15. Plasmakinin; bradikinin, kallidin, substance P, atrial natriuretic factors (ANF)
  16. Thyroglobulin

Mekanisme komunikasi interseluler


Dalam komunisasi antara sel-sel dalam organisme, sinyal (kimia maupun elektrik) dihasilkan oleh sel-sel khusus. Fungsi dihasilkannya signal oleh sel-sel tersebut adalah untuk regulasi tersebut, sehingga signal hanya akan diproduksi  jika ada sebuah stimulus tertentu. Dalam cara signaling ini dapat dibentuk pasangan satu sama lain dan dikoordinasikan.

Langkah-langkah dalam komunikasi interseluler adalah sebagai berikut:
  1. Formasi signal oleh sel-sel signal akibat adanya faktor pemicu eksternal
  2. Transport signal ke sel-sel target
  3. Registrasi signal pada sel target
  4. Transmisi lebih jauh signal ke dalam sel target
  5. Transformasi signal menjadi reaksi elektrik atau biokimia didalam sel target
  6. Terminasi signal
Sel-sel target yang menerima sebuah signal dalam rangka komunikasi interseluler akan mentransmisikan signal ke dalam jalur intraseluler. Jalur signaling intraseluler dikarakterisasi dengan parameter-parameter berikut:
  1. Sifat pemicu, ekstrenal signal
  2. Mekanisme registrasi signal
  3. Mekanisme transmisi dan terminasi signal
  4. Sifat reaksi biokimia yang menginduksi dalam sel target
Total dari reaksi-reaksi diatas menentukan respon sel target. Sifat dari sel-sel signal eksternal dapat menerima dan memproses signal dalam bentuk senyawa messenger (protein, senyawa berbobot molekul rendah) dan elektrik, optik dan stimulus laiinnya.





Minggu, 09 Oktober 2016

PENEMUAN OBAT BARU DAN ILMU PENUNJANG RISET

PENGEMBANGAN OBAT BARU



PROSES pengembangan senyawa obat baru adalaha rangkaian proses yang panjang dan memerlukan banyak sumber daya. Secara umum tahap pengembangan obat baru adalah sebagai berikut:

Proses Penemuan Senyawa Obat


Dalam tahap ini biasanya peneliti:
  1. Menentukan target penyakit
  2. Mengembangkan hipotesa untuk memastikan mekanisme pengobatan
  3. Menggunakan CAD dan software modelling tiga dimensi untuk mengawali evaluasi terhadap hipotesis yang telah disusun
  4. Memastikan kelayakan untuk memproduksi dan mengevaluasi senyawa yang terseleksi

Penapisan atau Skrining Molekul Obat


Penapisan memerlukan teknologi canggih. Dalam penapisan, dari sekitar 10.000 senyawa yang diuji, biasanya hanya akan ada satu senyawa yang dapat dilepas ke pasaran. Penapisan dapat dilakukan dengan cara:
  1. Kimia kombinatorial, adalah skrining yang memungkinkan diperoleh banyak senyawa dalam satu waktu, skrining ini terarah pada jumlah senyawa yang mungkin, bukan pada tingkat kemurniannya.
  2. High Throughput Screening (HTS), melakukan ratusan uji aktivitas secara bersamaan

Uji Praklinik


Uji praklinik adalah uji yang dilakukan pada hewan percobaan, biasanya dengan menggunakan satu hewan rodent dan satu hewan non-rodent. Uji ini pada dasarnya berguna untuk menilai adanya toksisitas akut dan jangka pendek. Dalam uji ini senyawa uji dinilai:
  1. Toksisitasnya, dengan menggunakan dosis tinggi untuk menginduksi toksisitas
  2. Menentukan dosis letal
  3. Mengetahui efek jangka pendek dan jangka panjang dengan menggunakan dosis normal
  4. Melakukan kajian dan penilaian absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresinya pada hewan.

Pendaftaran Investigational New Drug (IND)


Senyawa-senyawa yang telah lolos uji praklinis dapat didaftarkan sebagai IND. Pendaftaran IND adalah permohonan ijin kepada FDA untuk menguji coba obat pada tubuh manusia. IND adalah file FDA yang berisi data obat sepanjang proses pengembangan, Perusahaan kadang memerlukan jasa konsultan.

Uji Klinik Fase I


Uji ini dilakukan 30 hari setelah pendaftaran IND. Uji dilakukan dengan melibatkan 20-80 sukarelawan sehat, memerlukan waktu sekitar 1 tahun. Biaya pengujian ini sekitar 100.000-1.000.000 USD. Data yang akan diperoleh dari uji ini diantaranya:
  1. Bioavailabilitas (ketersediaan hayati) obat
  2. Efek samping yang timbul seiring meningkatnya dosis yang digunakan
  3. Bukti awal tentang efektivitas obat

Uji Klinik Fase II


Untuk memulai uji klinik fase II tidak diperlukan konsultasi dengan FDA. Uji ini melibatkan 100-200 pasien, dengan waktu pengujian sekitar 2 tahun. Biaya yang diperlukan sekitar 10-100 juta USD. Kurang dari sepertiga IND yang dapat melewati uji klinis fase II ini. Uji ini bertujuan untuk:
  1. Menguji efektivitas obat terhadap penyakit atau kondisi medis tertentu
  2. Memantau keamanan dan efek samping

Uji Klinik Fase III


Untuk memulai uji ini diperlukan konsultasi terlebih dahulu dengan FDA. Uji melibatkan 1000-3000 pasien dengan waktu pengujian 3-3,5 tahun dan menghabiskan biaya sekitar 10-500 juta USD. Uji ini merupakan uji konfirmasi efektivitas dan keamanan obat.

Pendaftaran NDA atau BLA


NDA adalah new drug application sedangkan BLA adalah Biologics lisence application. Pendaftaran NDA/BLA merupakan proposal resmi kepada FDA agar mengijinkan dipasarkannya NDA/BLA tersebut. Aplikasi ini harus dilengkapi dengan:
  1. Bukti keamanan dan efektivitas obat
  2. Keuntungan yang lebih besar dibanding dengan resiko
  3. Penandaan yang memenuhi persyaratan
  4. Metode pabrikasi dan pengawasannya dapat menjaga identitas, kekuatan, mutu dan kemurnian obat
Proses review terhadap NDA dilakukan oleh CDER (center for drug evaluation and research), sedangkan BLA oleh CBER (center for biologics evaluation and research). Proses review terhadap NDA meliputi aspek:
  • Medik; protokol klinik, keamanan
  • Biofarmasi; absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi
  • Farmakologi; toksisitas, angka terapi
  • Kimia; sifat kimia senyawa obat
  • Mikrobiologi; obat antiinfeksi
  • Statistik; semua hasil harus signifikan

Registrasi Dan Launching


NDA yang telah disahkan dapat dilauncing ke pasaran. Agar FDA dapat mensahkan maka perusahaan harus dapat meyakinkan bahwa obat tersebut aman dengan cara:
  • inspeksi pra-pengesahan
  • hasil produksi 3 batch
  • kelompok pengembangan harus dapat melakukan justifikasi proses pengembangan obat

KEILMUAN PENUNJANG R&D FARMASI


ITEM-item dalam pengembangan obat meliputi:
  1. Keterkaitan diantara proses-proses farmakologis
  2. Rute pemberian obat
  3. Mekanisme absorbsi obat
  4. Konsep-konsep dan kinetika disposisi obat, seperti; volume distribusi, dosis awal dan waktu paruh
  5. Biotranformasi dan ekskresi obat
  6. Peran ilmu pengetahuan biokimia dalam penemuan dan pengembangan kandidat obat hingga menjadi obat yang berguna
  7. Desain dasar uji klinis obat baru dan proses perijinan obat
  8. Keterkaitan antara variasi genetik dan respon obat yang berbeda pada individu yang berbeda
  9. Berbagai reaksi obat merugikan pada pasien yang berbeda
  10. Bagaimana rejimen dosis yang berbeda dihitung terhadap status kesehatan umum individu dan bagaimana penyesuaian pada pasien geriatrik dilakukan
Bidang-bidang ilmu yang sangat mendukung proses pengembangan obat adalah:

Farmakologi


Farmakologi adalah ilmu yang berurusan dengan obat, sifat-sifatnya, mekanisme kerja dan keadaannya didalam tubuh. Farmakologi merangkul ilmu farmaseutika (preparasi obat), terapeutika (terapi penyakit menggunakan obat), dan toksikosis atau efek-efek samping obat yang merugikan yang muncul akibat intervensi terapeutik. Farmakologi dapat dibagi menjadi lima proses yang saling berhubungan, yaitu:
  1. Proses farmaseutika, yaitu proses yang berhubungan dengan sintesis, formulasi dan distribusi obat.
  2. Proses farmakokinetik yaitu proses yang berhubungan dengan fungsi waktu terhadap konsentrasi obat dalam tubuh. Proses ini dibagi lagi menjadi: absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi.
  3. Proses farmakodinamik, berhubungan dengan mekanisme kerja obat, yaitu interaksi obat dengan struktur molekular dalam tubuh.
  4. Proses terapeutik; berhubungan dengan respon klinis yang timbul dari proses farmakodinamik.
  5. Proses Toksikologis, berhubungan dengan efek-efek merugikan yang timbul karena over dosis atau karena terganggunya jalur biokimia yang tidak berhubungan dengan target obat yang diinginkan.

Farmakologi Biokimia


Farmakologi biokimia fokus pada efek-efek obat pada jalur biokimia pokok pada proses farmakokinetik dan farmakodinamik dan berlanjut pada proses terapeutik dan toksikologis. Proses farmaseutik, terjadi diluar tubuh karena proses ini tidak masuk dalam farmakologi biokimia.

Rute Pemberian Obat dan Ketersediaan Sistemiknya
Rute pemberian obat dn ketersediaan sistemiknya sangat tergantung pada karakteristik biokimia obat dan interaksi molekul obat tersebut dengan cairan dan jaringan tubuh. Rute pemberian obat dapat berupa aplikasi topikal, parenteral dan enteral.
Rute pemberian obat ditentukan dari bagaimana kecepatan obat tersebut mencapai situs aktifnya. Karenanya rute pemberian obat ditentukan oleh objek terapetik dari terapi. Sebagai contoh, injeksi intravena atau inhalasi dapat dipilih jika diinginkan kerja obat yang cepat, namun efek obat hanya jangka pendek, sedangkan rute oral bisa jadi lebih baik dan lebih nyaman untuk penggunaan jangka panjang,
Mekanisme Absorpsi Obat Melalui Membran
Untuk dapat menghasilkan efek farmakologis, obat harus melintasi membran biologis kemudian masuk ke dalam sistem sirkulasi dan mencapai situs aktifnya. Karenanya wawasan atau pengetahuan mengenai struktur obat dan membran akan memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai absorpsi obat.
Membran adalah lapisan ganda fosfolipid yang berseling terpisah dan protein periferal yang yang bertindak baik sebagai molekul "gerbang" maupun "pompa:.
Molekul gerbang bersifat non-spesifik. Masuknya molekul-molekul ke dalam sel tergantung pada kelompok-kelompok yang terganti pada pori-pori dan ukuran molekul yang akan ditransportasikan melalui membran. Molekul pompa sangat spesifik dan memerlukan energi untu transport molekular.Ada beberapa mekanisme agar obat dapat melintasi membran dan mencapai situs aktif yang diinginkan.

Farmakokimia


Farmakokimia meliputi:
  1. Kimia medisinal dan desain obat
  2. Metodologi analisis farmasi
  3. Sintesis organik obat
  4. Fisikokimia dan instrumen analisis
  5. Biokimia klinik dan diagnostik
  6. Mikrobiologi analisis

Farmaseutika dan Teknologi Farmasi

  • Farmasi fisik
  • Farmaseutika dan formulasi obat
  • Teknologi sediaan solida dan kristalografi
  • Teknologi sediaan cair dan semisolida
  • Farmakokinetika dan biofarmasi
  • Bioteknologi farmasi

Farmakologi dan Toksikologi

  • Anatomi fisiologi manusia
  • Patofisiologi
  • Farmakologi-farmakodinamika
  • Toksikologi
  • Imunologi dan imunofarmakologi
  • Parasitologi dan virologi
  • Uji hayati (biological assay)

Farmakognosi dan Fitokimia

  • Botani farmasi
  • Farmakognosi
  • Teknik kultur jaringan
  • Fitokimia
  • Teknologi bahan alam




Seluruh materi dalam tulisan ini adalah materi yang disampaikan oleh:
Prof. Tutus Gusdinar Kartawinata
dalam kuliah Pengembangan Obat (pertemuan kedua)

Sabtu, 08 Oktober 2016

ASPEK UMUM DAN REGULASI PENGEMBANGAN OBAT


"Drugs are a public good and not simply just another commodity: first for their high social value, and then because consumers and prescribers are unable to assess ther quality. safety and efficacy"

Dr. Gro Harlem Brundtland
Director General of WHO EDM


PENGEMBANGAN obat dalam kurun waktu 30 tahun terakhir telah merevolusi praktek pengobatan yang ditandai dengan meningkatnya penggunaan obat antihipertensi, antikolesterol dan antiplatelet. Penggunaan obat-obat tersebut telah mampu menurunkan angka kematian akibat penyakit kardiovaskuler dan stroke hingga sekitar 50%.

Pendekatan-pendekatan yang Digunakan dalam Penemuan Obat Baru


Terdapat banyak pendekatan yang dapat digunakan dalam proses penemuan obat baru, diantaranya:
  1. Pendekatan pengetahuan tradisional. Pendekatan pengetahuan tradisional adalah pendekatan berdasarkan pengetahuan pengobatan tradisional. Sebagai contoh adalah penemuan efek analgesik dari ekstrak opium poppy yang telah mendukung dikembangkannya isolasi morfin dari tanaman dan sintesis senyawa-senyawa turunannya untuk kepentingan obat analgesik.
  2. Penemuan secara tak disengaja. Penemuan ini adalah penemuan yang terjadi saat peneliti sedang melakukan investigasi terhadap suatu masalah, namun ia menemukan fenomena lain yang tidak berhubungan dengan masalah yang sedang dikajinya. Contoh yang paling baik dalam kasus ini adalah saat Alexander Flemming menemukan gejala bahwa penisilin dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Penemuan gejala tersebut telah mendukung penemuan antibiotik. Selain itu itu juga ditemukannya efek samping berupa efek  antihipertensi klonidin yang pada awalnya digunakan sebagai dekongestan hidung. Contoh lainnya adalah dikembangkannya sulfonilurea sebagai sebagai agen hipoglikemik oral karena adanya temuan efek hipoglikemik sulfonamida yang saat itu sadang digunakan dalam terapi demam typhoid.
  3. Penemuan efek-efek dari agen endogen pada saat pengujian pada hewan. Contoh dalam kasus ini adalah ditemukannya efek antikoagulan dari venom dari Malayan viper yang menyebabkan dilakukannya identifikasi terhadap antikoagulan ancrod.
  4. Penemuan obat dengan pendekatan modern, pendekatan ini didasarkan pada desain obat yang rasional.
  5. Bioprospecting, adalah skrining terhadap sejumlah produk alam, entitas kimia, peptida-peptida, asam-asam nukleat dan molekul-molekul organik lainnya terhadap aktivitas biologis. Pendekatan ini mendukung identifikasi dan pengembangan molekul obat baru.
  6. Metabolomik, adalah upaya untuk mengidentifikasi produk-produk alam dari suatu spesies tanaman dengan menggunakan LC/GC-MS untuk menentukan metabolit aktif yang berperan dalam novel crude herbal medical preparations.
  7. Skrining In Silico atau penapisan dengan menggunakan piranti lunak komputer. Pendekatan ini merupakan pendekatan dengan teknik yang terkini. Dalam pendekatan ini dilakukan skrining virtual atau docking senyawa pada struktur 3 dimensi terhadap reseptor yang telah diketahui berdasarkan kemiripan struktur molekul dengan obat/senyawa induknya. Dalam hal ini kita dapat melakukan modifikasi terhadap suatu obat untuk mencari aplikasi terapeutik yang mungkin dan kemudian dilakukan pengembangan obat yang telah diduga sebelumnya pada target baru.
  8. Skrining Molekeul obat yang diduga. Pemilihan molekul untuk diuji lebih lanjut biasanya dilakukan pada hewan percobaan dan uji farmakologi baik secara in vitro maupun in vivo setelah molekul tersebut menjalani skrining aktivitas biologi. Contohnya, aktivitas antibakteri obat dinilai melalui kemampuannya dalam menghambat pertumbuhan berbagai mikroorganisme, sementara itu obat hipoglikemik diuji melalui kemampuannya dalam menurunkan kadar glukosa darah. Metode in vitro meliputi inkubasi senyawa induk dengan berbagai fraksi subseluler seperti mikrosom, enzim-enzim pemetabolisme obat atau potongan jaringan. Studi in vivo dilakukan dengan menggunakan hewan percobaan seperti anjing dan tikus, Jika dalam pengujian ditemukan bahwa dalam uji in vivo ditemukan efek merugikan pada organ-organ utama, maka studi biasanya dilanjutkan dengan melakukan modifikasi kimia untuk memperbaiki sifat-sifat farmakokinetik dan farmakodinamiknya (farmakomodulasi).


Proses R&D


Diperlukan waktu sekitar 10 hingga 15 tahun untuk mewujudkan ide penemuan obat baru hingga diperoleh obat baru yang siap dipasarkan. Proses tersebut secara garis besar meliputi:

Uji Preklinis

Uji ini meliputi:
  1. Pencarian senyawa aktif obat, dalam tahap ini dilakukan serangkaian uji toksikologi dan efikasi senyawa obat dengan menggunakan hewan percobaan. Masa studi ini akan berlangsung selama 2-4 tahun.
  2. Pendaftaran Investigational New Drug, calon-calon senyawa obat yang telah lolos uji  tahap sebelumnya, selanjutnya diregistrasi. Proses ini berlangsung selama 2-6 bulan.
Uji Klinis
Uji klinis meliputi:
  1. Uji Klinik fase 1 merupakan studi efikasi yang dilakukan pada 50-150 sukarelawan sehat.
  2. Uji Klinik fase II merupakan studi dengan skala terbatas yang dilakukan pada 100-200 pasien
  3. Uji Klinis fase III merupakan studi komparatif yang melibatkan jumlah pasien yang lebih banyak yaitu 500-5000 pasien. Uji klinis fase I-III akan berlangsung sekitar 3-6 tahun. 
  4. Pendaftaran Obat baru (NDA: New Drug Aplication), yang merupakan proses ijin untuk memasarkan obat yang telah lolos uji hingga uji klinis fase III.
  5. Uji Klinik Fase IV merupakan uji komparatif lanjutan.

Pengembangan dan Karakterisasi Active Pharmaceutical Ingredient (API)


Proses pengembangan API melalui tahapan penilaian berikut:
  • Rute kepanduan
  • Produksi batch API dalam skala laboratorium
  • Pengembangan rute IND
  • Sintesis dan karakterisasi dasar
  • Penanganan dan karakterisasi cemaran utama dalam API
  • Pengembangan rute NDA
  • Studi keamanan
  • Proses pengembangan untuk mendukung produksi multi-kilo dengan optimisasi
  • Preformulasi API
  • Proses kristalisasi untuk mengembangkan sifat-sifat fisikokimia yang diinginkan

Bentuk-bentuk Karakterisasi API
  • Analisis dasar
  • Metode spektroskopi (IR, UV-VIS, NMR, Massa)
  • Kemurnian (HPLC, GC, LC/MS/MS)
  • Khiralitas (rotasi optik)
  • Residu pelarut dan kandungan air
  • Termogravimetri, DSC (sifat-sifat endotermik dan eksotermik)
  • SEM (scanning electron microscope)
  • Optical microscopy
  • Distribusi ukuran partikel
  • kristalin vs amorf melalui difraksi serbuk sinar X (XPRD)
  • Polimorfisme melalui XPRD
  • Stabilitas (kerentanan terhadap reaksi oksidasi, hidrolisis dan fotokimia)
Pengembangan Preformulasi dan Formulasi
Preformulasi:
  • Skrining garam
  • Skrining polimorf
  • Kelarutan
  • Interaksi API-eksipien
  • Novel technologies untuk highly insoluble API (nano technology)
Pengembangan Formulasi
  • Pengembangan formulasi preklinis oral dan intravena
  • Pengembangan formulasi klinis; solid, semisolid, cair oral, steril
  • Studi proses pengembangan 
  • Formulasi sitotoksik dan berlabel 14C
  • Studi proses scale-up

Analisis pendukung dalam pengembangan preformulasi dan formulasi, termasuk pengembangan metode dan validasi
Uji mikrobiologi


Instrumentasi dan Fasilitas Utama
  • Laboratorium terpisah untuk material radiolabelled dan non-radiolabelled
  • Sistem difraksi serbuk sinar X
  • Analisis termogravimetrik, differential scanning calorimetry
  • Spektroskopi NMR 400 dan 500 MHz
  • NMR padatan
  • ICP-MS/ LC-ICP-MS
  • Berbagai spektrometer dan spektrometer massa
  • Hot stage microscope
  • Dynamic vapor absorption/desorption system
  • ICH compliant stability suite
Dokumentasi CMC (Chemistry, Manufacturing and Controls Procesess)
  • Penyiapan dokumen-dokumen berguna dalam pengambilan keputusan dalam berkas-berkas peraturan, termasuk koordinasi, penulisan dan kompilasi.
- Aplikasi pemasaran global dengan menggunakan format e-CTD
- Berkas-berkas produk obat yang sedang diinvestigasi (IMPD)
- Aplikasi IND
- Rangkuman keseluruhan kualitas
-  Clinical investigator brocures (CIBs)
- Laporan pengembangan obat terpadu
- Uji pelepasan API dan produk obat
- Interaksi dengan disiplin ilmu lain seperti toksikologi dan metabolisme obat untuk memastikan konsistensi berkas
  • Review dokumen CMC teknis untuk memastikan kesuksesan yang berhubungan dengan regulasi
  • Konsultasi dan merespon setiap pertanyaan dari agen regulasi: merespon pertanyaan tentang CMC dari otoritas kesehatan global.
  • Produksi IMPD atau IND untuk administrasi spesies radiolabelled

Pengembangan Obat


Pengembangan obat adalah sebuah istilah yang digunakan untuk mendefinisikan keseluruhan proses untuk menghadirkan sebuah obat atau peralatan baru untuk dipasarkan. Proses ini meliputi :
  • Penemuan obat atau pengembangan produk
  • Uji Preklinis ( pada mikroorganisme atau binatang)
  • Dan uji klinis pada manusia
Beberapa orang telah menganggap pengembangan obat hanya dengan mengacu pada pengembangan preklinis belaka.

Pengembangan NCE


New Chemical Entities (NCE) adalah senyawa-senyawa yang dihasilkan dari proses penemuan obat. Senyawa-senyawa tersebut memiliki aktivitas yang menjanjikan terhadap suatu target biologis tertentu yang dianggap penting dalam pengobatan suatu penyakit tertentu: meskipun baru diketahui sedikit tentang keamanan, toksisitas, farmakokinetik dan metabolisme NCE tersebut pada manusia.

Dalam pengembangan obat dilakukan penilaian terhadap seluruh parameter utama untuk uji klinis pada manusia. Objek utama berikutnya dalam pengembangan obat adalah membuat rekomendasi dosis dan jadwal penggunaan pertama kali sebuah NCE yang akan digunakan dalam uji klinis pada manusia "first in man" (FIM) atau First human dose (FHD).

Lebih lanjut, dalam pengembangan obat harus dapat menjelaskan sifat-sifat fisikokimia NCE; susunan/struktur kimia, stabilitas dan kelarutannya. Proses ini juga harus dapat menjelaskan jalur sintesisnya, sehingga NCE tersebut dapat disintesis mulai dari skala miligram, dan kemudian diproduksi dalam skala kilogram bahkan ton. Kemudian, senyawa tersebut juga diuji kecocokannya untuk dibuat sediaan apakah dalam bentuk kapsul, tablet, aerosol, injeksi intramuskular, injeksi subkutan atau pun intravena. Proses-proses ini dapat diketahui dalam pengembangan preklinis sebagai CMC.

Banyak aspek dalam pengembangan obat yang difokuskan pada pemenuhan persyaratan regulasi dari otoritas perijinan obat. Hal tersebut umumnya merupakan sejumlah pengujian yang didesain untuk menentukan toksisitas utama sebuah senyawa baru terlebih akan digunakan untuk pertama kalinya pada manusia.

Adalah sebuah persyaratan legal yang mensyaratkan bahwa efek-efek toksisitas utama harus ditampilkan (yaitu efek pada hati, jantung, paru-paru, ginjal dan saluran cerna), begitu pula efek pada organ atau bagian tubuh lainnya yang mungkin dipengaruhi oleh obat tersebut (misal; efek pada kulit jika obat tersebut dihantarakan melalui kulit).

Sementara ini, kecenderungan menggunakan uji in vitro meningkat (misal dengan menggunakan sel-sel yang telah diisolasi), namun banyak pengujian yang hanya bisa dilakukan dengan menggunakan hewan uji, karena hanya dalam tubuh organisme yang utuhlah proses metabolisme yang saling mempengaruhi dan paparan obat terhadap toksisitas dapat diuji.

Proses pengembangan obat tidak berhenti ketika sebuah NCE mulai memasuki uji klinis pada manusia. Terlebih lagi untuk memasuki fase uji klinis diperlukan persyaratan bahwa toksisitas klinis atau jangka panjangnya telah ditentukan, begitu pula fek-efek pada sistem yang tidak dimonitor sebelumnya (sistem fertilitas, reproduksi dan imun). NCE juga akan diuji kemampuannya dakam menyebabkan kanker (uji karsinogenisitas).

Jika senyawa (NCE) yang telah diuji tersebut memiliki profil keamanan dan toksisitas yang dapat diterima, senyawa tersebut dapat diuji untuk mendapatkan efek yang diinginkan pada manusia, kemudian didaftarakan untuk mendapatkan ijin pemasaran dinegara dimana obat tersebut akan dipasarkan. Di Amerika Serikat proses ini disebut New Drug Applicatin atau NDA.

Sebagian besar NCE gagal pada tahap pengembangan obat, hal ini dapat terjadi karena NCE tersebut memiliki efek toksisitas yang tidak dapat diterima, atau karena tidak menghasilkan efek yang diharapkan pada saat uji klinis (efikasi).

Proses untuk menemukan obat baru adalah sebuah proses yang memerlukan biaya tinggi. Sebuah studi yang dilaporkan pada tahun 2003 melaporkan bahwa biaya rata-rata sebelum pajak untuk menghasilkan sebuah obat baru (NCE) hingga siap dipasarkan adalah sekitar 800 juta dollar Amerika. Sedangkan sebuah studi yang dipublikasikan tahun 2006 memperkirakan bahwa biaya pengembangan obat baru bervariasi dari 500-2000 juta dollar Amerika tergantung pada perusahaan pengembang atau terapi obat yang diharapkan. Gambaran tersebut dihubungkan dengan pengembangan obat baru, obat inovatif, yaitu obat dengan NCE atau disebut juga obat dengan New Active Substance (NAS). Setiap tahun rata-rata ada 26 jenis obat baru yang masuk ke pasaran.

Uji Klinis


Uji klinis dilakukan untuk mendapatkan data keamanan dan khasiat untuk obat-obat atau peralatan kesehatan baru. Uji ini hanya dapat dilakukan dimana informasi yang dikumpulkan dari uji sebelumnya memuaskan baik dalam hal kualitas produk maupun keamanan nonklinisnya, dan atoritas kesehatan ataua ethics committe menyetuji dilakukannya uji dinegara tersebut.

Tergantung pada tipe produk dan level pengembangannya, investigator mendaftarkan sukarelawan sehat atau pasien dalam studi klinis permulaan dalam skala kecil, diikuti dengan studi berskala lebih besar dalam hal jumlah pasien, yang mana uji ini biasanya membandingkan produk baru dengan obat yang lazim diresepkan pada saat uji dilakukan. Seiring dengan data keamanan dan khasiat yang positif, maka jumlah pasien yang diuji ditambah. Uji klinis dapat bervariasi ukurannya, mulai dari single center di satu negara ke multicenter di banyak negara.

Karena perlunya biaya yang besar untuk melakukan satu seri lengkap uji klinis, maka beban pembayaran untuk semua sukarelawan dan berbagai pelayanan biasanya berasal dari sponsor yang dapat berupa organisasi pemerintah maupun perusahaan farmasi maupun bioteknologi, Uji klinis juga sering kali dimanej oleh mitra outsourcing seperti contract research organization.

Obat di Masa Depan

Obat-obat kimia bermolekul kecil  akan menjadi alat farmasi utama, meskipun protein dan antibodi monoklonal juga meningkat penggunaannya.

Terapi Gen

  • Sejak tahun 1980an, penggunaan terapi gen memberikan harapan yang tinggi terutama dalam terapi kondisi penyakit keturunan. Gagasannya adalah karena gen dihantarkan ke dalam sel dan kemudian membentuk sebuah protein terapeutik. Sehingga seseorang yang menderita fibrosis kista, yang tidak memiliki kemampuan kinerja protein CFTR, aan menerima sebuah salinan gen CFTR.
  • Meskipun harapan tersebut belum dapat direalisasikan, karena sulitnya mendapatkan DNA yang aktif dan tetap aktif untuk dimasukkan kedalam inti sel. Pengembangan obat ini lebih lambat dari yang diharapkan, dan terjadinya kematian seorang pasien, Jesse Gelsinger, dalam sebuah uji klinis pada tahun 1999. Kemunduran berikutnya terjadi pada tahun 2003, ketika pasien-pasien mengebangkan kanker yang terkait dengan integrasi vektor viral ke dalam DNA mereka.
  • Namun, uji klinis dilakukan pada sejumlah kondisi termasuk penyakit distropi muskular dan parkinson, Terapi gen juga diujikan pada beberapa jenis kanker yang bertujuan membunuh sel kanker dan kemudian memperbaikinya. 

Interferensi RNA


Interferensi RNA (RNAi), yang proses penemuannya telah menghasilkan penghargaan Nobel pada tahun 2006, adalah sebuah terapi baru yang menjanjikan. RNAi digunakan untuk mengeliminasi (atau knock down) protein spesifik dari sel, yang mana protein tersebutlah yang menyebabkan penyakit. Hal ini didasarkan pada sebuah fenomena yang tak biasa: Molekul RNA pendek memicu destruksi spesifik molekul RNA mesenger yang mengandung sequence RNA yang sama. Hal ini memungkinkan untuk melindungi sel dari invasi virus.

Aplikasi medis terapi ini sangat luas, misal; menghancurkan reseptor pada virus atau protein yang sangat aktif yang menyebabkan kanker atau molekul messenger yang memicu inflamasi.

Sejumlah uji klinis terapi ini telah dimulai, misal untuk degenerasi makular (sebuah bentu kebutaan). Namun ini masih tahap awal, sebagaimana terapi gen, terapi RNAi juga sulit untuk dihantarkan dan ada kekhawatiran lain, yaitu protein yang berguna juga mungkin ikut tereliminasi. Sebuah studi pada mencit menunjukan adanya kerusakan hati yang parah, kemungkinan karena besarnya dosis RNAi yang diberikan.

Nanoteknologi


  • Larutan-larutan berbasis nanoteknologi telah diuji pada berbagai kondisi.
  • Beberapa aplikasi tergantung pada sifat-sifat yang tak biasa suatu material pada skala nano. Perak berskala nano adalah racun bagi bakteri dan digunakan pada pakaian luka (piyama yang diimpregnasi perak telah disarankan penggunaannya di rumah sakit). Nanopartikel emas dapat mengkonversi panjang gelombang cahaya menjadi panas yang intens, dan telah diuji sebagai terapi kanker yang memungkinkan (thermal scalpel)
  • Banyak aplikasi yang akan ditargetkan. Antibodi akan menjadi target nanopartikel terkait toksin pada sel kanker.
  • Karena ukurannya yang sangat kecil, nanopartikel memiliki luas area permukaan yang sangat tinggi, sehingga untuk menggunakan sifat tersebut untuk mengontrol pelepasan obat.
  • Struktur-struktur berbasis nano telah banyak dieksplorasi sebagai rangka molekul untuk perbaikan jaringan. Beberapa aplikasi yang telah ada, menggabungkan sebuah peran fisik nanomaterial dengan molekul bioaktif pada rangka skala nano. Pendekatan ini akan digunakan untuk menyokong tulang atau pertumbuhan saraf jaringan yang rusak.
  • Nanoteknologi juga sangat menjanjikan untuk keperluan diagnostik (misal; melalui teknologi "lab-on-a-chip", atau melalui deteksi konsentrasi yang sangat kecil dari metabolit kunci), dan medical imaging. Kemungkinan lain adalah untuk menghubungkan bagian deteksi dan terapi, sehingga bagian diagnostik dapat secara otomatis menghantarkan medikasi atau terapi yang diperlukan. dalam studi pada hewan, nanopartikel telah digunakan untuk mendeteksi level glukosa darah dan melepaskan insulin.
  • Nanoteknologi sangat menjanjikan, memberikan keragaman pendekatan dan memberikan pengaruh pada perawatan kesehatan. Nanoteknologi dapat memperbaiki terapi yang ada sekarang, namun agen-agen baru akan segera tersedia.
  • Nanoteknologi juga telah menjadi isu tersendiri dalam regulasinya, sifat-sifat nanopartikel secara mendasar sangat berbeda dari zat asalnya, sehingga dapatkah mereka dianggap sebagai zat yang sama?, selain itu juga ada  kekhawatiran kemungkinan nanopartikel memberikan efek pada lingkungan.

Makhluk Hidup


Sebagaimana agen-agen yang diproduksi secara kimia, para peneliti juga mencari agen-agen obat pada makhluk hidup. Dalam hal ini, mereka memiliki sejarah medis yang panjang dn penuh warna.
  • Lintah menghasilkan sebuah agen antiplatelet yang sangat berguna (hirudin), yang juga sangat efektif dalam pengeringan darah. Senyawa ini digunakan secara klinis dalam bedah mikro, membantu memperbaiki aliran darah pada penyambungan jari tangan/kaki.
  • Belatung, eksperimen menunjukan bahwa belatung membersihkan luka, mereka juga mensekresikan senyawa yang membantu penyembuhan luka. Belatung telah memberikan pengobatan konvensional yang baik dan efisien pada pengobatan luka-luka kronis, dan greenbottle larvae juga telah tersedia secara komersial. 
  • Penggunaan parasait atau sekretnya atau telornya untuk memanipulasi respon imun. Hal ini didasarkan pada temuan bahwa tingginya angka kejadian astma, inflamasi dan alergi dinegara-negara barat disebabkan oleh rendahnya kelimpahan parasit. Dimana dibagian dunia yang lain dimana kelimpahan parasitnya tinggi, kejadian asma jarang ditemukan. Berbagai uji mendukung telor parasit untuk penyakit radang usus. Di UK, cacing tambang telah diuji sebagai sebuah terapi asama. Kini diperlukan untuk mengidentifikasi zat aktif yang dihasilkan oleh parasit sehingga dapat digunakan secara medis tanpa kekhawatiran adanya infeksi.




Seluruh materi dalam tulisannya ini adalah materi kuliah yang disampaikan oleh:
Prof. Tutus Gusdinar Kartawinata
dalam kuliah Pengembangan Obat (Pertemuan 1)

Minggu, 14 Februari 2016

RHINITIS ALERGI



Contoh Kasus
Seorang wanita berusia 35 tahun memiliki riwayat kongesti hidung pada sebagian besar hari-harinya dalam setahun, dimana dia juga mengalaminya pada saat usianya belasan tahun akhir. Dia mengalami drainase hidung kronis, yang ditandai dengan adanya lendir jernih dan kental. Kongestinya memburuk pada akhir musim panas dan awal musim gugur, dan kembali pada awal musim semi; pada masa-masa tersebut dia juga mengalami bersin-bersin, gatal hidung dan batuk. Lima tahun yang lalu, dia mengalami sebuah episode sesak nafas yang disertai mengi pada suatu hari ketika dia mengalami gejala-gejala gangguan hidung yang parah, namun episode tersebut sembuh dengan sendirinya dan tidak kambuh lagi. Antihistamin oral yang dijual bebas sedikit meredakan gejala yang dialaminya, begitupun dengan dekongestan hidung yang sering digunakannya. Anak laki-lakinya yang berusia 6 tahun juga mengalami gejala yang sama. Bagaimana seharusnya kasus ini dtangani?



Problem Klinis


Rhinitis alergi didefinisikan sebagai sebuah kumpulan gejala yang terdiri dari bersin-bersin, gatal-gatal dan kemerahan pada hidung, hidung tersumbat dan banyaknya lendir hidung yang jernih yang disebabkan oleh suatu reaksi yang termediasi oleh Ig-E dalam melawan alergen yang terhirup, selain itu juga ada suatu inflamasi mukosa yang dikendalikan oleh sel-sel helper T tipe 2 (Th2). Alergen-alergen yang berperan penting dalam kasus ini diantaranya adalah serbuk sari dan jamur pada musim-musim tertentu. Tungau, bulu hewan, dan beberapa jenis jamur adalah contoh alergen tersebut. Alergen-alergen yang dominan sangat tergantung pada wilayah geografik dan tingkat urbanisasi, tapi secara keseluruhan angka prevalensi sensitisasi terhadap alergen tidak jauh berbeda pada masing-masing wilayah. Sensitisasi terhadap alergen yang terhirup dimulai pada tahun pertama kehidupan. Sensitisasi terhadap alergen-alergen indoor mempelopori terjadinya sensitisasi terhadap serbuk sari (pollen). Oleh karena infeksi pernafasan yang disebabkan oleh virus sering terjadi pada tahun pertama kehidupan seseorang dan menghasilkan gejala-gejala yang mirip dengan rhinitis alergi, maka diagnosa rhinitis alergi sulit untuk ditentukan pada usia anak 1 hingga 3 tahun. Lazimnya, rhinitis alergi memuncak pada saat usia seseorang mencapai 20 hingga 40 tahun, dan kemudian berkurang secara perlahan.

Frekuensi sensitisasi terhadap alergen yang terhirup kini sedang meningkat hingga lebih dari 40% pada populasi di Amerika Serikat dan Eropa. Prevalensi rhinitis alergi di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 15% yang didasarkan pada diagnosis dokter, dan sekitar 30% lainnya tak terdiagnosis oleh dokter (berdasarkan laporan individu yang mengalami gejala-gejala rhinitis alergi). Rhinitis alergi berkontribusi terhadap penurunan produktivitas seseorang di sekolah atau tempat kerja, mengganggu kenyamanan saat tidur, membatasi aktivitas anak dan mengurangi keterlibatan mereka dalam berbagai aktivitas luar ruangan. Terlebih lagi anak-anak dengan rhinitis alergi lebih mungkin juga mengalami myringotomy, serta pengangkatan tonsil dan adenoid. Kemampuan untuk mengontrol asma pada orang-orang yang menderita asma disertai rhinitis alergi lebih ditekankan pada kontrol terhadap rhinitis alergi.

Pada umumnya orang-orang yang menderita rhinitis alergi juga menderita asthma. Rhinitis alergi baik musiman maupun tahunan secara signifikan meningkatkan kemungkinan seseorang menderita asma; sekitar 40% dari penderita rhinitis alergi dinyatakan positif asma. Eksim atopik juga sering kali hadir bersama pada penderita rhinitis alergi. Biasanya pasien rhinitis alergi juga menderita konjungtivitis alergi. Faktor-faktor yang turut menentukan dimana penyakit atopik pada seseorang akan berkembang atau dalam keadaan seperti apa seseorang itu hanya akan menderita rhinitis alergi saja, atau rhinitis alergi akan berkembang setelah eksim atau bahkan rhinitis alergi akan hadir bersamaan dengan asma tidak diketahui secara jelas. Seorang anak yang lahir dari orang tua (salah satu atau keduanya) menderita rhinitis alergi maka dia akan beresiko mengalami rhinitis alergi 2 kali lebih besar dibandingkan anak yang lahir dari orang tua tanpa rhinitis alergi. Anak yang memiliki beberapa saudara kandung yang lebih tua dan tumbuh dilingkungan pertanian dihubungkan dengan adanya penurunan resiko rhinitis alergi, hal ini mendukung hipotesis bahwa faktor-faktor pelindung tampaknya dapat mencerminkan bahwa paparan-paparan mikroba pada awal kehidupan seseorang dapat menggeser polarisasi Th2 dan alergi.

Ketika seseorang terpapar suatu alergen yang membuatnya peka (mengalami sensitisasi), maka akan terjadi persilangan alergen terikat IgE pada sel-sel mast mukosa yang menyebabkan terjadinya gangguan-gangguan pada hidung. Hal ini terjadi karena adanya pelepasan zat-zat vasoaktif dan neuroaktif seperti histamin, prostaglandin D2 dan sistenil leukotrien. Dalam beberapa jam berikutnya, melalui sebuah interaksi kompleks antara sel-sel mast, epitelial, T, limfoid inet, eosinofil dan basofil, inflamasi Th2 berkembang dengan melibatkan beragam kemokin dan sitokin yang dihasilkan oleh sel-sel tersebut. Sebagai konsekuensi inflamasi mukosa ini, maka gejala-gejala pada hidung akan bertahan berjam-jam setelah paparan dengan alergen dan mukosa menjadi lebih reaktif terhadap alergen (utama) dan begitupun terhadap alergen-alergen lainnya serta terhadap stimulus nonalergenik, seperti bau yang menyengat dan iritan-iritan lainnya (hiperresponsivitas hidung nonspesifik). Rhinitis alergi harus dipandang sebagai kumpulan mekanisme-mekanisme tersebut dan bukannya dianggap sebagai sebuah reaksi akut yang sederhana pada paparan alergen.

Secara lebih terperinci, perkembangan sensitisasi alergi, mekanisme imunologis dari reaksi nasal terhadap alergen dan mekanisme timbulnya gejala pada rhinitis alergi adalah sebagai berikut:
Sensitisasi
Sensitisasi melibatkan adanya alergen yang terserap oleh sel-sel antigen (sel-sel dendritik) pada mukosa yang menyebabkan aktivasi antigen spesifik sel-sel T, kemungkinan besar terjadi pada pengeringan kelenjar getah bening. Aktivasi simultan dari sel-sel epitelial melalui jalur non-antigenik (misalnya protease) dapat menyebabkan pelepasan sitokin epitelial (thymic stromal lymphopoeitin (TSLP), interleukin-25, dan interleukin-33), yang dapat mempolarisasikan proses sensitisasi kedalam sebuah tipe respon sel Th2. Polarisasi ini diarahkan menuju sel-sel dendritik dan kemungkinan juga melibatkan sel-sel limfoid inet tipe 2 (ILC2) dan basofil, yang menyebabkan pelepasan Th2-driving cytokines (interleukin-13 dan interleukin-4). Hasil dari proses ini adalah generasi dari sel-sel Th2 yang bergantian mengendalikan sel-sel plasma yang memproduksi IgE yang spesifik terhadap alergen. 
Paparan berulang
 Antibodi IgE spesifik alergen menempel kuat pada reseptor pada permukaan jaringan sel-sel mast dan basofil-basofil yang bersirkulasi. Pada paparan berulang, ikatan alergen pada IgE pada permukaan sel-sel tersebut menyebabkan aktivasi basofil dan sel-sel mast dan melepaskan mediator-mediator vasoaktif dan neuroaktif seperti histamin dan leukotrien. Mediator-mediator tersebutlah yang menyebabkan gejala-gejala rhinitis alergi. Terlebih lagi aktivasi lokal dari limfosit Th2 oleh sel-sel dendritik menyebabkan pelepasan kemokin dan sitokin yang menyebabkan influks sel-sel inflamatorik (eosinofil, basofil, neutrofil, sel T dan sel B) pada mukosa, menyebabkan target-target alergen yang lebih luas dan pengaturan yang berlebihan pada organ hidung. Inflamasi Th2 bukannya hanya menyebabkan hidung lebih sensitif terhadap alergen tapi juga terhadap iritan lingkungan. Lebih lanjut, paparan terhadap alergen selanjutnya akan menstimulasi pelepasan IgE. 
Pelepasan mediator-mediator oleh sel mast dan basofil
Pelepasan mediator-mediator oleh sel mast dan basofil dapat secara langsung mengaktivasi ujung syaraf sensorik, pembuluh darah, dan reseptor-reseptor spesifik pada kelenjar-kelenjar yang dilalui. Histamin menunjukan efek langsung pada pembuluh darah (terutama pada permeabilitas vaskuler dan perembesan darah), dan syaraf-syaraf sensorik, sedangkan leukotrien umumnya menyebabkan vasodilatasi. Aktivasi syaraf-syaraf sensorik menyebabkan pruritus dan beragam refleks syaraf pusat, termasuk sebuah refleks motorik yang menyebabkan bersin-bersin dan refleks parasimpatetik yang menstimulasi sekresi kelenjar hidung dan menghasilkan beberapa vasodilatasi. Terlebih lagi, pengendalian syaraf simpatetik pada sinusoid vena erektil hidung tertekan, memungkinkan pengenduran vaskuler dan obstruksi bagian-bagian hidung. Hiperresponsibilitas syaraf sensorik adalah gambaran patofisiologis umum pada rhinitis alergi.

Strategi dan Bukti

Diagnosis

Diagnosis rhinitis alergi sering dibuat secara klinis berdasarkan karakteristik gejala dan sebuah respon yang baik terhadap terapi empiris dengan sebuah antihistamin atau glukokortikoid nasal. Diagnosis formalnya didasarkan pada sensitisasi, baik yang diukur melalui adanya IgE spesifik alergen atau melalui skin test epikutaneus (misal respon whale and flare terhadap ekstrak alergen), serta adanya riwayat gejala-gejala yang berhubungan dengan paparan terhadap alergen tertentu, Diagnosis lebih mudah ditetapkan ketika gejala muncul pada kondisi tertentu atau saat pasien tersebut baru saja terpapar alergen yang memicu timbulnya gejala, dibanding dengan bila gejala tersebut telah kronis atau pasien melaporkan adanya lebih dari satu pemicu, termasuk alergen dan iritan. Kedua pengujian tersebut, memiliki tingkat sensitivitas yang sama, meskipun keduanya tidak dapat mengidentifikasi sensitisasi pada sebuah kelompok pasien secara keseluruhan. Keuntungan pengujian melalui sampel darah adalah bahwa pasien tidak perlu berhenti mengkonsumsi antihistamin beberapa hari sebelum pengujian dan teknik pengujian ini tidak memerlukan keahlian khusus, sedangkan keuntungan dari skin test adalah hasil pengujian dapat diketahui segera. 

Bentuk diagnosis banding yang dapat dipertimbangkan meliputi bentuk-bentuk rhinitis lainnya seperti rhinitis non-alergi yang dikenal juga sebagai rhinitis vasomotor atau rhinosinusitis kronik non-alergik. Berdasarkan sebuah studi yang melakukan pengujian dengan provokasi alergen nasal sebagai sebuah pengujian diagnostik standar menunjukan bahwa lebih dari separoh dari pasien yang diuji diklasifikasikan ke dalam kelompok rhinitis non-alergi, dimana hasil pengujian IgE serum negatif atau memiliki rhinitis alergi lokal karena antibodi IgE spesifik alergen hanya ditemukan pada mukosa. Observasi ini masih membutuhkan studi lanjutan, dan perlu dilakukan pengukuran kadar IgE spesifik alergen pada cairan hidung.

Gejala-gejala musiman dapat disebabkan oleh infeksi virus, terutama jika pasien adalah anak-anak atau orang tua yang tinggal dengan anak-anak. Rhinovirus biasanya memuncak pada sekitar bulan september. Rhinitis alergi dapat hadir bersamaan dengan rhinitis non-alergi (rhinitis campuran).


Terapi

Farmakoterapi
Pilihan terapi farmakologis diantaranya adalah melalui pemberian antihistamin H1, glukokortikoid intranasal atau antagonis reseptor leukotrien. Sebagian studi khasiat terhadap kelompok obat-obat tersebut dengan melibatkan pasien rhinitis alergi musiman atau pun menahun, menunjukan bahwa agen-agen tersebut cukup efektif. 
Terapi biasanya diawali dengan antihistamin H1 oral secara swamedikasi, karena obat-obat tersebut tersedia sebagai obat bebas. Antihistamin generasi yang lebih baru memberikan efek sedasi yang lebih ringan dengan khasiat yang sama, oleh karenanya antihistamin generasi baru umumnya lebih disukai daripada generasi awal. Onset kerja yang cepat memungkinkan antihistamin digunakan sesuai kebutuhan. Antihistamin H1 juga tersedia dalam sediaan spray hidung. Sediaan intranasal memiliki khasiat yang sama dengan sediaan oral, namun kadang kurang disukai karena meninggalkan rasa pahit. Efek antihistamin pada gejala terutama kongesti nasal tidak terlalu kuat. Antihistamin ini dapat dikombinasikan dengan dekongestan, dan kombinasi tersebut dapat memperbaiki aliran udara pada hidung dalam waktu singkat (2-6 minggu). Dekongestan hidung topikal lebih efektif daripada bentuk oralnya, namun ada sebuah laporan yang menyatakan bahwa kekambuhan kongesti atau penurunan efektivitas dapat terjadi dimulai pada hari ketiga sejak dimulainya terapi, dan penggunaan dekongestan hidung lokal hanya disarankan untuk penggunaan jangka pendek. Dalam sebuah studi disebutkan bahwa penambahan glukokortikoid intranasal mengembalikan keefektifan dekongestan topikal.

Glukokortikoid intranasal lebih efektif pada pasien rhinitis alergi musiman. Tidak ada bukti kuat yang mendukung pernyataan bahwa glukokortikoid intranasal lebih efektif dibandingkan antihistamin pada pengobatan rhinitis alergi menahun.
Tersedianya antihistamin oral dan glukokortikoid intranasal sebagai obat bebas, memungkinkan seseorang dengan sendirinya mengkonsumsi salah satu atau kedua obat tersebut saat mereka mengalami gejala-gejala rhinitis sebagai upaya swamedikasi. Efek dari antagonis reseptor leukotrien pada gejala-gejala rhinitis alergi hampir sama dengan antihistamin oral, namun dalam sebuah studi menyatakan bahwa kombinasi keduanya memberikan sebuah keuntungan, namun kombinasi antihistamin oral dan  glukokortikoid intranasal lebih disukai. Sementara itu, kombinasi antihistamin intranasal dan glukokortikoid intranasal umumnya lebih baik dibandingkan penggunaan agen tunggal.

Imunoterapi alergen
Dalam populasi secara umum, telah dilaporkan bahwa sekitar 1/3 dari dari anak-anak dan sekitar 2/3 dari orang dewasa pernah menjalani farmakoterapi rhinitis alergi. Dan pada tahap selanjutnya beberapa diantara mereka juga menerima imunoterapi alergen. Imunoterapi alergen umumnya diberikan secara injeksi subkutan, namun kini juga telah tersedia sediaan tablet cepat larut yang diberikan secara sublingual. Pada imunoterapi subkutan, pasien menerima sejumlah dosis alergen yang dititrasi perlahan hingga mencapai dosis terapinya. Pada imunoterapi sublingual, sebuah dosis tetap alergen diberikan selama 12-16 minggu sebelum permulaan musim alergi. Pada kedua mekanisme imunoterapi tersebut, terapi dilanjutkan dengan dosis perawatan selama beberapa tahun. Imunotearpi akan menurunkan sistem regulasi respon alergi terhadap suatu alergen spesifik melalui berbagai mekanisme. Disamping efektif dalam pengendalian rhinitis alergi, imunoterapi juga membantu mengontrol asma alergi dan konjungtivitis.
Berbeda dengan farmakoterapi, imunoterapi akan memberikan efek yang bertahan meski pemberian imunoterapi telah dihentikan. Efek positif dari imunoterapi subkutan dengan ekstrak rumput yang diberikan selama 3 tahun, akan memberikan efek yang bertahan hingga 3 tahun sejak imunoterapi dihentikan, begitu pun pada imunoterapi sublingual. Hal yang kurang disukai dari imunoterapi subkutan adalah pasien harus secara rutin menerima suntikan alergen setiap 1-2 kali seminggu sebagai upaya mempertahankan dosis perawatan. Jika tak ada perbaikan rhinitis alergi dalam satu tahun pertama imunoterapi, maka terapi biasanya akan dilanjutkan hingga sekurang-kurangnya 3 tahun. Imunoterapi subkutan juga beresiko menyebabkan reaksi sistemik yang terjadi pada sekitar 0,1% pasien, meski jarang terjadi hingga menyebabkan reaksi anafilaksis yang dapat menyebabkan kematian. Reaksi anafilaksis hanya terjadi pada sekitar 1/1.000.000 pasien.
Dibandingkan dengan imunoterapi sublingual, imunoterapi subkutan lebih efektif. Keuntungan imunoterapi sublingual dibandingkan subkutan masih belum jelas, kecuali dalam hal, imunoterapi sublingual dapat dilakukan mandiri oleh pasien.

Kesimpulan dan Rekomendasi pada Contoh Kasus

Wanita dalam contoh kasus diatas dapat dipastikan menderita rhinitis alergi. Saat dimana dia mengalami episode sesak nafas disertai mengi menunjukkan kemungkinan dia juga menderita asma. Pada tahap awal terapi yang dapat diberikan adalah terapi empiris, uji sensitisasi terhadap alergen yang relevan perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosa.

Kombinasi antihistamin dan glukokortikoid intranasal dapat diberikan pada pasien ini. Jika farmakoterapi tersebut kurang efektif, maka harus diberikan imunoterapi.
Pustaka
http://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJMcp1412282 



Baca juga