Senin, 08 Desember 2014

ALERGI MAKANAN



Seorang anak laki-laki berusia tiga tahun memiliki riwayat gatal-gatal dan mengi setelah mengkonsumsi coklat. Pada saat usianya 18 bulan, urtikaria kontak terjadi saat anak tersebut meletakkan adonan kue yang mengandung telor. Anak tersebut juga memiliki riwayat rhinitis kronis,  batuk nokturnal, eksim yang parah, dan berulang kali menjalani rawat inap akibat berulangnya mengi. Bagaimana seharusnya terapi untuk anak ini?

********

Alergi makanan yang termediasi IgE terjadi pada sekitar 6-8 % anak-anak, dan sekitar 25% orang dewasa mengeluhkan gejala yang mungkin berkaitan dengan makanan tertentu. Prevalensi alergi makanan pada orang dewasa kurang dari 3%. Alergen makanan yang utama adalah glikoprotein larut air yang berasal dari hewan maupun tumbuhan. Glikoprotein tersebut relatif stabil meski telah mengalami proses pemanasan, pengasaman maupun pencernaan oleh protease. Makanan yang berbeda mempengaruhi kelompok umur yang berbeda pula. Susu sapi, telor ayam, kacang tanah dan kacang pohon serta biji wijen sering memicu alergi pada anak-anak. Gandum dan kiwi juga dilaporkan dapat memicu alergi. Kedelai sering pula dicurigai memicu alergi namun hingga kini blm terbukti kebenarannya. Kerang, ikan, kacang tanah dan kacang pohon adalah pemicu alergi paling umum pada orang dewasa.

Perbedaan geografis tampaknya mempengaruhi jenis makanan yang menyebabkan alergi, mustard lebih sering memicu alergi pada orang Perancis, wijen lebih banyak terjadi pada orang Israel, sedangkan telor ayam dan susu sapi tampaknya merupakan penyebab alergi pada anak-anak yang paling umum diseluruh dunia.

Kebanyakan kasus alergi makanan, akan segera memberikan reaksi pada paparan pertama terhadap bahan makanan tersebut, terutama pada kasus alergi telor dan kacang. Alergi telor biasanya telah usai pada sekitar usia 5 tahun (66%), dan sekitar 75% pada usia 7 tahun, kendati penelitian terbaru menunjukan kasus alergi telor dapat bertahan dalam durasi yang lebih lama, bahkan hingga usia lebih dari 16 tahun. Kasus yang jarang terjadi adalah onset alergi telor terjadi pada usia dewasa, dengan karakteristik klinis yang berbeda dengan alergi telor pada anak-anak.

Tabel 1

PRESENTASI KLINIS


Gejala alergi makanan biasanya berkisar antara reaksi gatal-gatal pada daerah tertentu hingga reaksi anafilaktik yang berpotensi mengancam nyawa. Sistem organ yang terlibat diantaranya:
  1. Kulit, ditandai dengan urtikaria, angioedema dan memburuknya kondisi eksim
  2. Saluran pencernaan ditandai dengan sakit perut, kram dan diare
  3. Saluran pernafasan, rhinitis, asthma dan stridor
Alergi telor jarang menyebabkan terjadinya reaksi fatal pada anak-anak, terlebih bila usianya kurang dari 2 tahun. Urtikaria kontak adalah reaksi umum alergi telor pada anak-anak.

Alergi makanan juga dapat memberikan manivestasi berupa keengganan anak-anak akan makanan tertentu. Status asmatikus juga dapat merupakan manivestasi alergi tanpa disertai gejala lainnya. Bila anak mendadak mengi parah setelah makan, maka harus dicurigai kemungkinan alergi makanan.


KONDISI PENYERTA


Eksim merupakan gejala yang umum berkembang pada sekitar 6-12 bulan pertama kehiduapan anak-anak, dan atopi merupakan manivestasi yang umum terjadi pada sekitar 80% anak dengan kondisi alergi telor. Eksim yang berkembang makin parah, patut dicurigai adanya kemungkinan alergi telor atau makanan lainnya, dan sensitisasi terhadap makanan meningkatkan keparahan eksim. Alergi pernafasan seperti astma dan rhinitis juga sering muncul seiring adanya alergi makanan. Alergi pernafasan umumnya terdiagnosa setelah anak berusia 3 tahun, sedangkan alergi makanan umumnya terdiagnosa pada saat usia anak 6 bulan hingga 2 tahun. Namun data menunjukan bahwa anak dengan atopi, umumnya akan terdiagnosa alergi pernafasan pada tahun pertama. Alergi atau sensitisasi telor adalah prediktor terkuat akan terjadinya alergi pernafasan pada anak-anak dan asthma pada masa dewasanya kelak. Meskipun eksim dan alergi makanan umumnya akan teratasi/terselesaikan pada masa anak-anak, namun tidak jarang pada beberapa anak kondisi tersebut terus bertahan bahkan mungkin berkembang pada alergi makanan lainnya. Pasien dengan alergi sistemik umumnya memiliki alergi terhadap beberapa makanan, eksim, rhinosinusitis alergik, asthma dan kombinasi kondisi tersebut yang mengakibatkan penurunan kualitas hidup pasien tersebut. Pasien dengan kondisi alergi makanan dan asthma berpotensi mengalami reaksi anafilaktik dan reaksi asthma yang mengancam kehidupan.


STRATEGI DAN BUKTI


Riwayat medis harus mencakup sifat gejala dan waktu sejak paparan substansi yang diduga sebagai alergen, konsistensi respon alergi dan respon pasien terhadap pengobatan. Rute paparan alergen juga penting, paparan pada kulit dapat menyebabkan urtikaria, paparan inhalasi selama proses memasak dapat menyebabkan mengi, dan paparan oral dapat menyebabkan gejala pada mulut dan saluran pencernaan lainnya.

Tes Skin prick dapat digunakan untuk menguji adanya alergi, tes ini memiliki sensitivitas sekitar 90% dengan spesifisitas sekitar 50% yang bervariasi tergantung pada jenis alergen dan faktor-faktor lain seperti usia pasien, ekstrak yang digunakan dan lokasi aplikasi. Uji IgE spesifik dengan enzyme-linked immunosorbent
assay juga memiliki sensitivitas tinggi namun spesifisitasnya rendah. 

Pada beberapa pasien, tantangan makanan akan menunjukan adanya alergi atau toleransi terhadap makanan tersebut. Tantangan makanan harus dilakukan dibawah pengawasan medis dengan peralatan resusitasi lengkap tersedia karena tantangan ini berpotensi mengakibatkan reaksi anafilaktik. Tantangan ini hanya boleh dilakukan pada pasien dengan gejala alergi seperti asthma yang terkontrol dengan baik sebelum dilakukan pengujian.

Pada anak-anak dengan alergi telor, uji skin prick dan pengukuran IgE direkomendasikan dilakukan setiap tahun untuk menilai perkembangan toleransi. Toleransi terhadap telor yang dimasak mungkin berkembang lebih dulu sebelum toleransi terhadap telor mentah.


MANAJEMEN


Manajemen Jangka Pendek
Reaksi anafilaktik memerlukan manajemen yang tepat dengan antihistamin kerja cepat dan epinefrin intramuskular, sering kali agonis beta inhalasi dan kortikosteroid sistemik diperlukan. Pasien harus segera dirujuk ke rumah sakit dengan infus dan oksigen terpasang.
Epinefrin intramuskular harus diberikan dalam beberapa menit setelah munculnya reaksi alergi. Pemberian epinefrin subkutan atau inhalasi menghasilkan level terapeutik suboptimal.
 Penggunaan epinefrin lepas lambat dihubungkan dengan adanya risiko dan peningkatan risiko yang dapat berakibat fatal ( berupa reaksi tertunda yang mengikuti terjadinya reaksi akut alergi) karena proses penyerapan alergen dari saluran cerna yang tertunda. Reaksi bifasik (biphasic) terjadi pada sekitar 6% kasus reaksi anafilaktik; setengah diantaranya merupakan reaksi yang parah, dan 90% dari kasus ini terjadi pada kurun waktu 4-12 jam sejak munculnya gejala pertama. Pasien alergi makanan dengan gejala pernafasan harus dipantau sekurang-kurangnya selama 8 jam, karena reaksi bifasik sering kali terjadi pada fase ini. Pasien dengan gejala hipotensi dan penurunan kesadaran harus dipantau sekurang-kurangnya selama 24 jam. Penggunaan prednison oral dianjurkan (dengan dosis 1-2 mg/Kg BB perhari selama 3 hari) untuk mencegah terjadi reaksi fase akhir.

Manajemen Jangka Panjang
Manajemen alergi jangka panjang yang paling tepat adalah menghindari alergen yang relevan. Manajemen terapi alergi makanan terhadap berbagai jenis makanan lebih kompleks dibandingkan dengan alergi makanan tunggal. Perlu dilakukan konsultasi dengan ahli gizi untuk menetapkan diet yang tepat bagi pasien dengan alergi makanan.
Seseorang dengan riwayat alergi makanan harus selalu menyediakan obat pengobatan anafilaksis, obat tersebut berupa antihistamin kerja cepat dan seperangkat penyuntik mandiri epinefrin. Pasien dengan alergi makanan diserta astma harus selalu menyediakan bronkodilator inhalasi. Glukokortikoid juga disarankan untuk mengatasi bronkospasme.
Mengingat adanya risiko koeksistensi beberapa alergi makanan, anak-anak dengan alergi telor harus menjalani tes kemungkinan alergi terhadap bahan makanan lainnya. Seseorang yang mengalami eksim parah pada usia muda juga harus menjalani tes alergi makanan





Literatur
 http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMcp0800871

 
 
 
 

Rabu, 15 Oktober 2014

STROKE ISKEMIK AKUT



Seorang pria berusia 62 tahun mendadak mengalami kelemahan pada lengan dan kaki kiri serta berbicara melantur. Selain faktor hipertensi yang tidak terkontrol dengan baik, pria tersebut memiliki riwayat medis yang biasa-biasa saja. Dia seorang perokok. 1 jam 15 menit sejak gejala dimulai, dia tidak mengeluhkan sakit kepala dan muntah. Tekanan darah 180/100 mmHg, dengan denyut jantung teratur 76x denyutan permenit. Pemeriksaan neurologis menunjukan dysarthria, hemianopia homonim kiri, kelemahan parah pada sisi kiri, dan kegagalan merespon sentuhan ringan pada sisi kiri ketika kedua sisi tubuh diberi sentuhan secara bersamaan. Bagaimanakah seharusnya terapi terhadap pasien ini?

**************

Problem Klinis


Stroke menempati urutan kedua setelah penyakit jantung iskemik yang menyebabkan kecacatan dan kematian. Kejadian stroke bervariasi dan meningkat secara eksponensial terhadap faktor usia. Pada masyarakat barat, sekitar 80% kasus stroke disebabkan oleh iskemia serebral fokal karena adanya sumbatan arteri dan 20% sisanya disebabkan oleh perdarahan.

Cedera otak diduga disebabkan oleh adanya cascade deplesi energi yang menyebabkan kematian sel. Faktor lain yang bersifat menengah diantaranya kelebihan rangsangan ekstraseluler asam amino, pembentukan radikal bebas dan inflamasi.

Kondisi yang semakin buruk mungkin terjadi setelah stroke seiring peningkatan usia, terlebih bila ada faktor penyakit lain seperti penyakit jantung iskemik dan diabetes mellitus, dan seiring meningkatnya ukuran infark. Kemungkinan juga bervariasi tergantung pada lokasi infark. Kematian pada bulan pertama setelah stroke terjadi pada sekitar 2,5% kasus pada pasien dengan infark lakunar dan sekitar 78% pada kasus infark hemisfer.

Strategi dan Bukti


Stroke biasanya ditandai dengan defisit neurologis fokal secara tiba-tiba, meskipun pada beberapa pasien gejala berkembang secara bertahap. Defisit umum termasuk disfasia, disartria, hemianopia, kelemahan, ataksia, hilangnya sensasi dan penelantaran. Gejala dan tanda-tanda biasanya unilateral, kesadaran umumnya normal atau sedikit gangguan, kecuali dalam beberapa kasus infark dalam sirkulasi posterior.

Penilaian Awal
Dalam sebagian besar kasus stroke, diagnosa dapat dibuat secara langsung, dalam beberapa kasus dengan fitur yang berbeda (seperti onset bertahap, kejang pada saat timbulnya gejala dan mengalami penurunan kesadaran) diagnosis banding harus melibatkan migrain, paresis postiktal, hipoglikemia, gangguan konversi, hematoma subdural, dan tumor otak.
Atrherosklerosis yang mengarah ke tromboemboli dan oklusi lokal dan kardioembolisme adalah penyebab utama iskemia otak. Namun penyebab lain yang tidak biasa harus juga dipertimbangkan terutama jika pasien masih berusia muda (dibawah 50 tahun) dan tidak memiliki faktor risiko kardiovaskuler yang jelas. Beberapa petunjuk klinis yang menunjukan diagnosis alternatif adalah ptosis atau miosis kontralateral yang mengarah ke defisit (diseksi arteri karotid), demam dan murmur jantung (endokarditis inektif), sakit kepala dan sedimentasi eritrosit yang meningkat pada pasien usia lanjut (giantcell arteritis).
Defisit harus dinilai oleh pemeriksaan neurologis yang cermat. Beberapa skala telah dikembangkan untuk menilai tingkat keparahan defisit neurologis terutama yang digunakan dalam studi;  National Institutes of Health Stroke Scale6 merupakan skala yang paling sering digunakan. Denyut jantung yang tidak teratur menunjukan fibrilasi atrium. Tekanan darah yang sangat tinggi mungkin sinyal adanya hipertensi ensefalopati dan menghalangi trombolisis jika melebihi 185/110 mmHg dan berkelanjutan. Kurangnya bising karotid memungkinkan diagnosis stenosis karotid. 
Uji laboratorium selama masa akut harus mencakup uji kadar glukosa (Karena hipoglikemia juga dapat menyebabkan defisit neurologis fokal), hitung darah lengkap, waktu protrombin dan waktu tromboplastin parsial. Elektrokardiografi dapat mengungkapkan adanya fibrilasi atrium atau miokard akut atau infark sebelumnya yang menyebabkan tromboemboli. Stroke akan semakin rumit dengan adanya iskemia miokard dan aritmia, sehingga monitoring jantung sangat diperlukan setidaknya selama 24 jam pertama. Elektrokardiografi pada jam-jam pertama setelah onset stroke hanya diperlukan pada kasus-kasus tertentu seperti dicurigai adanya endokarditis infektif. Pada hari-hari berikutnya transthoracic echocardiography atau lebih baik bila menggunakan transesophageal echocardiography  diindikasikan untuk melihat kemungkinan adanya kardioembolisme.

Pencitraan
Infarks serebral tidak dapat dibedakan dengan pasti dengan perdarahan serebral dengan melihat tanda-tandanya saja. Pada semua pasien yang diduga stroke iskemik,  computed tomography (CT) atau magnetic resonance imaging (MRI) otak sangat diperlukan. CT maupun MRI memiliki sensitivitas yang tinggi untuk mendeteksi adanya perdarahan intrakranial akut, namun MRI memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dibanding CT. Edema sitotoksik dapat terdeteksi dalam waktu beberapa menit setelah onset iskemia.

Trombolisis Intravena 


The National Institute of Neurological Disorders and Stroke Recombinant Tissue Plasminogen Activator
(NINDS rt-PA) Stroke Study, telah melakukan studi efektivitas pengobatan dengan rt-PA (Atlepase) intravena yang dimulai 3 jam setelah timbulnya gejala. 11 pasien diantaranya diobati dengan rt-PA (0,9 mg perkilogram berat badan, dimana 10% dosis diberikan sebagai bolus dan sisanya diberikan melalui infus selama lebih dari 1 jam dengan dosis maksimum 90 mg) menunjukan hasil fungsional dan neurologis yang meguntungkan dibandingkan kelompok pasien yang diberi plasebo; tingkat kematian pada kedua kelompok serupa. Gejala perdarahan intrakranial terjadi pada 6,4% pada kelompok yang diobati dengan rt-PA dan 0,6% pada kelompok plasebo.

Trombolisis intravena dikontraindikasikan penggunaannya pada kondisi-kondisi berikut:

  • Onset gejala lebih dari 3 jam sebelum dimulainya terapi
  • Adanya perdarahan intrakranial berdasarkan CT atau MRI
  • Trauma kepala atau stroke dalam 3 bulan sebelumnya
  • Infark miokard sebelumnya dalam 3 bulan sebelumnya
  • Perdarahan pada saluran pencernaan atau urinari dalam 21 hari sebelumnya
  • Operasi besar dalam 14 hari sebelumnya
  • Sejarah perdarah intrakranial
  • Tekanan darah sistolik ≥ 185 mm Hg atau tekanan darah diastolik ≥ 110 mm Hg
  • Ditemukan bukti adanya perdarahan aktif atau trauma akut
  • Penggunaan antikoagulan oral dan NR ≥1.7
  • Penggunaan heparin dalam 48 jam sebelumnya dan aPTT berkepanjangan
  • Jumlah trombosit <100,000 per mm3
  • Kadar glukosa darah <50 mg/dl (2.7 mmol/liter)
  • Kejang dengan gangguan neurologis residual postiktal


Terapi Lain


Aspirin
Dalam sebuah studi, penggunaan aspirin 160 atau 300 mg perhari yang dimulai dari 48 jam setelah onset stroke dan dilanjutkan selama 2 minggu menurunkan tingkat kematian, diduga pemberian aspirin berperan mencegah atau mengurangi risiko berulangnya serangan stroke iskemik. Dari hasil penelitian yang lain, aspirin disarankan diberikan sebagai pencegahan sekunder setelah beberapa minggu pertama. Aspirin memberikan profil keamanan yang baik dan tampaknya efektif pada berbagai pasien stroke. Karena efek aspirin yang dikombinasikan dengan rt-PA, maka akan lebih baik untuk menunda pemberian aspirin selama sekurang-kurangnya 24 jam saat pasien diobati dengan trombolisis intravena. Penggunaan dipyridamole atau clopidogrel pada fase stroke akut belum diuji dalam uji acak.

Antikoagulan
Sebuah meta analisis menunjukan bahwa pemberian antikoagulan (heparin takterfraksinasi, heparin dengan bobot molekul rendah, heparinoid, inhibitor trombin dan antikoagulan oral) pada fase akut stroke memberikan efek yang menguntungkan.  

Pencegahan dan Manajemen Komplikasi 


Pasien stroke sering kali mengalami gangguan nutrisi. Namun pemberian suplemen nutrisi oral mampu menjadi solusi. 

Pasien dengan stroke iskemik akut berisiko mengalami trombosis vena dan emboli paru, risiko ini meningkat seiring peningkatan usia dan tingkat keparahan stroke. Meskipun pemberian antikoagulan tidak seutuh memperbaiki fungsi, pemberian dosis rendah heparin tak terfraksinasi atau heparin berbobot molekul rendah secara subkutan direkomendasikan pada pasien pasca stroke yang berisiko tinggi mengalami trombosis vena, seperti pada pasien yang tidak mampu bergerak (misal mengalami kelumpuhan pada kaki).


Rabu, 24 September 2014

FARMAKOTERAPI ALKOHOLISME



Inti dari perawatan alkoholisme adalah memberikan intervensi yang membantu meningkatkan perubahan bagaimana seseorang memandang masalah yang mereka hadapi, dan upaya untuk mengubah perilaku bermasalah. Dengan pendekatan kognitif-perilaku sebagai inti pengobatan.

Saat ini ada 3 macam obat yang disetujui FDA untuk terapi alkoholisme; disulfiram (Antabuse), naltrexone (Revia) dan acamprosate. Disuliram memiliki sejarah panjang sebelum akhirnya diterima sebagai obat dalam terapi alkoholisme, namun penggunaannya kurang disukai karena risiko efek samping yang besar dan menuntut kepatuhan yang tinggi dalam penggunaannya. Naltrexone dan acamprosate merupakan obat yang lebih baru.

Disulfiram


Disulfiram (disulfida tetraethylthiuram; Antabuse) ditemukan pada tahun 1920 dan digunakan sebagai terapi pendukung pada alkoholisme kronis yang menghasilkan sensitivitas akut terhadap alkohol. Obat ini memblokir proses pengolahan alkohol dalam tubuh dengan cara menghambat asetaldehida dehidrogenase, sehingga menghasilkan reaksi tidak menyenangkan saat mengkonsumsi alkohol. Disulfiram harus digunakan sebagai terapi penunjang bersamaan dengan konseling. Disulfiram juga sedang diteliti kemungkinan digunakannya dalam terapi ketergantungan kokain, karena obat ini dapat mencegah pemecahan dopamin (sebuah neurotransmiter yang pelepasannya dipicu oleh kokain); kelebihan dopamin menyebabkan kecemasan, tekanan darah tinggi, kegelisahan, dan gejala-gejala tidak menyenangkan lainnya. Beberapa penelitian juga menunjukan obat ini memiliki eek antiprotozoa. Disulfiram juga menjadi objek penelitian obat kanker dan HIV.

Disulfiram, dalam terapi tunggal, pada dasarnya relatif tidak beracun. Namun, senyawa ini menghambat aktivitas ALDH dan menyebabkan konsentrasi asetaldehida meningkat 5-10 kali lebih besar dibandingkan seseorang yang tidak menerima terapi disulfiram. Asetaldehida merupakan hasil oksidasi alkohol oleh ADH, biasanya tidak akan menumpuk dalam tubuh karena akan segera teroksidasi seluruhnya segera setelah terbentuk. Setelah pemberian disulfiram, bentuk sitosol dan mitokondria dari ADH dilemahkan hingga beberapa tingkat, sehingga konsentrasi asetaldehida meningkat. 

Dosis terapi disulfiram adalah 250 mg/hari dengan rentang dosis yang diperbolehkan antara 125-500 mg/hari. Mekanisme kerja disulfiram adalah dengan menghambat aktivitas ALDH sehingga meningkatkan konsentrasi asetaldehida. 

Konsumsi alkohol oleh individu yang telah menerima terapi disulfiram menimbulkan tanda dan gejala keracunan asetaldehida. Dalam 5-10 menit setelah konsumsi alkohol wajah akan terasa panas dan tak lama kemudian akan memerah. Vasodilatasi menyebar ke seluruh tubuh, denyutan yang intensif dirasakan di kepala dan leher, dan terasa sakit kepala yang berdenyut yang semakin berat. Kesulitan pernafasan, mual dan muntah yang berlebihan, berkeringat, haus, nyeri dada, hipotensi, sinkop ortostatik, kegelisahan, kelemahan, vertigo, penglihatan kabur dan kebingungan juga sering terjadi, diikuti dengan perubahan warna wajah yang kemerahan menjadi pucat dan tekanan darah dapat turun drastis hingga level syok. 

Obat tidak boleh diberikan sebelum pasien berhenti mengkonsumsi alkohol sekurang-kurangnya selama 12 jam. Pada tahap awal pengobatan dosis maksimumnya 500 mg selama 1-2 minggu, dosis pemeliharaan kemudian berkisar antara 125-500 mg/hari tergantung pada toleransi efek samping. Jika eek sedasi menonjol, maka disulfiram harus diberikan pagi hari, saat keinginan untuk kembali mengkonsumsi alkohol sedang maksimal. Sensitisasi terhadap alkohol dapat bertahan selama 14 hari setelah konsumsi disulfiram terakhir karena lambatnya pemulihan ALDH.

Disulfiram dan metabolitnya dapat menghambat banyak enzim dalam kelompok sulfhidril, dengan demikian obat ini memiliki spektrum biologis yang luas. Obat ini juga menghambat CYP hati sehingga menghambat metabolisme fenitoin, klordiazepoksida, barbiturat, warfarin dan obat lainnya.

Disulfiram dapat memicu munculnya jerawat, urtikaria, kelelahan, tremor, gelisah, sakit kepala, pusing, sensasi seperti mengkonsumsi bawang putih atau logam, dan gangguan ringan pada saluran pencernaan. Neuropati perifer, psikosis dan ketosis juga mungkin terjadi.

Naltrexone


Naltrexone secara kimiawi terkait dengan antagonis reseptor opioid yang sangat selektif seperti naloxon tetapi memiliki bioavailabilitas oral yang lebih tinggi dengan durasi kerja yang lebih lama. Obat ini tidak memiliki efek agonis reseptor opioid yang cukup. Obat ini awalnya digunakan dalam terapi overdosis dan kecanduan opioid.


Naltrexone membantu mempertahankan seseorang untuk tidak mengkonsumsi alkohol. Obat ini bukan obat alkoholisme dan tidak dapat mencegah kekambuhan. Naltrexone paling baik jika dikombinasikan dengan terapi psikososial seperti terapi perilaku kognitif. Obat ini biasanya diberikan setelah detoksifikasi dengan dosis 50 mg/hari selama beberapa bulan. Kepatuhan terhadap rejimen sangat penting untuk menentukan nilai terapeutik naltrexone.  Efek samping yang paling umum diantaranya mual, yang lebih sering terjadi pada pasien wanita daripada pria, dimana kondisi ini akan membaik bila pasien tersebut menjauhkan diri dari alkohol. Jika diberikan dalam dosis yang berlebihan, naltrexone dapat menyebabkan kerusakan hati. Naltrexone dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal hati atau hepatitis akut.

Nalmeven adalah antagonis opioid lainnya yang potensial dalam uji klinis awal. Nalmeven mempunyai sejumlah keunggulan dibandingkan naltrexone termasuk bioavailabilitas yang lebih besar, durasi dan aksi yang lebih panjang, dan kurangnya toksisitas hati yang tergantung dosis.

Acamprosate


Sejumlah studi menunjukan bahwa dosis 1,3-2 gram/hari acamprosate menurunkan frekuensi minum dan mengurangi risiko kekambuhan pada pecandu alkohol. Studi pada hewan menunjukan bahwa terapi acamprosate mampu mengurangi asupan alkohol tanpa mempengaruhi konsumsi makanan atau air. Efek samping utamanya berupa diare. 


Referensi
GG. Ed 12



Baca juga:
Metanol dan Etanol

Kamis, 18 September 2014

ETANOL DAN METANOL



ETANOL, suatu alkohol dengan 2 atom karbon, atau secara umum dikenal dengan istilah alkohol, adalah salah satu obat yang paling luas penggunaannya. Obat ini memiliki beragam efek langsung pada berbagai sistem neurokimia. Senyawa ini dihasilkan secara alami serta mudah pula disintesis. Pada sebagian besar masyarakat belahan dunia barat, alkohol dikonsumsi sebagai minuman, dan berkontribusi besar pada tingginya tingkat morbiditas dan mortalitas serta biaya kesehatan, terlebih bila alkohol ini digunakan secara bersamaan dengan obat-obatan terlarang. 

Bab ini akan mengulas dampak etanol pada berbagai sistem fisiologis, terutama pada sistem saraf pusat (SSP), sebagai dasar untuk memahami manfaat, proses penyakit dan pengobatan penyakit terkait penggunaan alkohol.

ABSORPSI, DISTRIBUSI DAN METABOLISME


Etanol


Setelah pemberian secara oral, etanol diserap secara cepat dari usus halus ke dalam sirkulasi darah dan didistribusikan ke seluruh tubuh (0,5-0,7 L/Kg). Konsentrasi puncak dicapai pada waktu 30 menit setelah konsumsi etanol pada kondisi perut kosong. Karena absorpsinya yang lebih cepat pada usus halus dibandingkan pada lambung, keterlambatan pengosongan lambung (adanya makanan) akan menghambat absorpsi etanol dilambung. Metabolisme etanol dilambung lebih rendah pada wanita dibandingkan pria, yang berpengaruh pada besarnya risiko. Aspirin meningkatkan bioavailabilitas etanol melalui penghambatan kerja alkohol dehidrogenase (ADH).




Gambar 1
Metabolisme Etanol

Etanol terutama dimetabolisme melalui oksidasi hepatik dihati, mula-mula etanol diubah menjadi asetaldehida oleh ADH kemudian menjadi asam asetat oleh aldehida dehidrogenase (ALDH). Setiap langkah metabolisme memerlukan NAD+, sehingga oksidasi 1 mol etanol (46 gram) menjadi 1 mol asam asetat memerlukan 2 mol NAD+ (sekitar 1,3 Kg). Hal ini sangat melebihi suplai NAD+ ke hati. Ketersediaan NAD+ membatasi jumlah etanol yang dapat dimetabolisme yaitu sekitar 8 gram atau 10 ml (170 mmol) perjam pada orang dewasa, atau sekitar 120 mg/Kg perjam. Sejumlah kecil etanol dieksresikan melalui urin, keringat dan pernafasan. 90-98% etanol yang tertelan dimetabolisme dihati oleh ADH dan ADLH.

Enzim sitokrom P450 dan CYP2E1 juga turut berperan pada metabolisme etanol, terutama bila konsentrasi etanol berlebih seperti yang terjadi pada alkoholisme. Katalase juga dapat menghasilkan asetaldehida dari etanol, namun keterbatasan H2O2 membatasi metabolisme etanol melalui jalur ini. CYP2E1 diinduksi oleh konsumsi alkohol kronis, peningkatan pembersihan substrat dan adanya aktivasi oleh racun tertentu seperti CCl4.

Peningkatan rasio NADH:NAD+ dihati selama proses oksidasi etanol memberikan konsekuensi besar selain dapat menghambat laju metabolisme etanol. Enzim yang memerlukan NAD+ terhambat, sehingga laktat terakumulasi, aktivitas siklus asam trikarboksilat berkurang dan asetil koenzim A (asetil CoA) terakumulasi. Peningkatan NADH dan tingginya asetil CoA menyebabkan sintesis asam lemak serta penyimpanan dan akumulasi triasilgliserida. Badan keton bertambah memperburuk asidosis laktat. Metabolisme etanol dengan jalur CYP2E1 mengurangi  NADP +, membatasi ketersediaan NADPH untuk regenerasi glutation tereduksi (GSH), sehingga meningkatkan stres oksidatif.

Mekanisme timbulnya penyakit hati akibat konsumsi etanol mungkin disebabkan oleh kombinasi yang kompleks dari faktor-faktor metabolisme, induksi CYP2E1 (meningkatnya aktivasi racun, produksi H2O2 dan oksigen radikal, dan mungkin juga karena meningkatnya pelepasan endotoksin sebagai konsekuensi dari efek etanol terhadap tumbuhnya bakteri gram negatif disaluran pencernaan. Efek etanol pada kerusakan jaringan sangat mungkin mencerminkan status gizi buruk pecandu alkohol (malabsorpsi, defisiensi vitamin A, D dan tiamin), penekanan terhadap fungsi kekebalan tubuh dan berbagai efek umum lainnya.

Metanol


Metanol atau  (CH3OH) adalah suatu alkohol dengan satu atom karbon. Metanol dikenal juga dengan istilah metil alkohol atau alkohol kayu. Senyawa ini merupakan pelarut dan reagen yang banyak digunakan dalam industri seperti industri penghapus cat, lak dan antibeku. Metanol ditambahkan pada produk etanol untuk industri untuk menandai bahwa produk tersebut tidak aman dikonsumsi manusia.

Metanol cepat diserap baik melalui oral, inhalasi maupun kulit. Metanol juga dimetabolisme oleh ADH dan ADLH, dengan konsekuensi merusak. Beberapa obat dapat menghambat metabolisme alkohol seperti fomepizole (4-methylpyrazole) sebuah inhibitor ADH yang berguna pada saat terjadi keracunan etilen glikol, dan disulfiram suatu inhibitor ADLH berguna dalam pengobatan alkoholisme. 

15 ml metanol dapat menyebabkan keracunan, termasuk kebutaan, dan dosis lebih dari 70 ml dapat menyebabkan kematian. Gejala keracunan metanol dapat berupa sakit kepala, distres saluran cerna, nyeri (terkait cedera pankreas), kesulitan bernafas, gelisah, penglihatan kabur yang berhubungan dengan hiperemik cakram optik. Metabolik asidosis yang parah dapat terjadi karena adanya akumulasi asam format, dan memperparah depresi pernafasan, terutama pada konteks koma. Gangguan visual yang berhubungan dengan keracunan metanol terjadi akibat cedera pada ganglion retina mata dan metabolit, asam format, peradangan, atropi, dan berpotensi menyebabkan kebutaan bilateral. 

EFEK ETANOL PADA SISTEM FISIOLOGIS


Sistem Saraf Pusat (SSP)


Secara umum masyarakat menganggap alkohol sebagai perangsang, namun sebenarnya alkohol terutama etanol adalah depresan SSP. Menelan sejumlah kecil etanol dapat memberikan efek seperti halnya depresan barbiturat dan benzodiazepin yaitu dapat memberikan efek anti kecemasan, dan mengubah perilaku pada berbagai tingkat dosis. Tanda-tanda keracunan pada individu bervariasi luas mulai dari perubahan suasana hati yang tidak terkontrol hingga ledakan emosional yang memungkinkan terjadinya tindakan kekerasan. Pada keracunan yang lebih parah, akan berdampak pada terganggunya SSP secara umum, dan akhirnya memberikan efek anestesi umum. Anestesi umum dan kematian biasanya berbatas tipis (umumnya disebabkan oleh depresi pernafasan).

Aksi Etanol Pada Jalur Neurotransmiter
Etanol mempengaruhi hampir semua bagian otak. Perubahan pada jalur neurokimia sering terjadi bersamaan dengan jalur-jalur lain yang saling berinteraksi. Komplikasi adisi pada SSP adalah adanya adaptasi cepat pada etanol yang terjadi di otak. Pada otak, alkohol dapat menyebabkan kecemasan, ataksia dan sedasi. 
Pengaruh etanol terhadap sistem neurokimia adalah:
  • GABAa, menyebabkan pelepasan GABA dan meningkatkan densitas reseptor
  • NMDA, menghambat reseptor NMDA pasca sinaptik
  • DA, meningkatkan sinaptik DA
  • ACTH, meningkatkan level ACTH pada darah dan SSP
  • Opioid, melepaskan  beta endorphin dan mengaktivasi beta reseptor
  • 5-HT, meningkatkan 5-HT sinaptik
  • Kanabinoid, meningkatkan aktivitas CB1 sehingga mengubah aktivitas DA, GABA dan glutamat 
Kanal Ion
Reseptor GABAa sebagai mediator utama penghambatan neurotransmisi di otak , fungsinya akan meningkat secara nyata seiring penggunaan sejumlah obat penenang, agen hipnosis, dan anestesi, termasuk didalamnya barbiturat, benzodiazepin, dan anestesi hirup. Kondisi mabuk akibat etanol terjadi sebagai akibat peningkatan konsentrasi GABA. Beberapa polimorfisme gen reseptor GABAa berkorelasi dengan kecenderungan seseorang menjadi peminum dan pecandu etanol.

Konsumsi Etanol dan Fungsi SSP


Dosis besar etanol dapat menggunggu proses pengkodean memori dan menyebabkan amnesia anterograde, kondisi ini sering disebut sebagai alcoholic blackouts, dimana individu tersebut akan kesulitan mengingat seluruh atau sebagian pengalaman saat mengkonsumsi etanol berlebih. Lebih lanjut konsumsi etanol dosis tinggi ini juga menyebabkan terganggunya pola tidur, gelisah saat tidur atau mudah terbangun saat tidur. Lebih lanjut konsumsi etanol dosis tinggi juga dapat menyebabkan apnea. Efek tertunda dari konsumsi dosis besar etanol pada SSP dapat berupa mabuk pada keesokan harinya, sindrome sakit kepala, rasa haus yang berlebihan, mual dan gangguan kognitif.

Peminum alkohol kronis sering kali akan mengalami perkembangan defisit kognitif permanen yang dikenal dengan istilah demensia alkoholik. Menipisnya persediaan tiamin pada peminum alkohol kronis menyebabkan sindrom Wernicke-Korsakoff selain dapat menyebabkan degenerasi serebral. 

Dosis berat etanol dalam beberapa hari atau minggu dapat menyebabkan gangguan kejiwaan yang diinduksi alkohol. Sekitar 40% individu dengan ketergantungan alkohol mengalami depresi berat dan adanya pikiran bunuh diri. Kondisi kecemasan umumnya dialami pecandu alkohol selama sindrom penarikan. Sekitar 3% pecandu alkohol mengalami halusinasi pendengaran sementara dan delusi paranoid yang menyerupai gejala skizofrenia awal yang terjadi pada kondisi toksikasi alkohol berat. Kondisi kejiwaan tersebut biasanya akan membaik dalam kurun waktu beberapa hari setelahnya.

Sistem Kardiovaskuler


Konsumsi alkohol lebih dari 3x dosis harian standar meningkatkan potensi serangan jantung dan stroke. Risiko lainnya berupa penyakit jantung koroner, risiko tinggi aritmia jantung dan gagal jantung kongestif. 

Efek-efek pada Kardiovaskuler dan Lipoprotein Serum
Penelitian di sejumlah negara menunjukan bahwa, risiko kematian akibat penyakit jantung koroner berkorelasi dengan tingginya konsumsi lemak jenuh dan kadar kolesterol serum. Perancis adalah sebuah paradoks, di negara ini angka kematian akibat penyakit jantung koroner relatif rendah sementara konsumsi lemak jenuhnya tinggi. Sebuah studi epidemiologis menunjukan bahwa konsumsi wine (20-30 gram etanol/hari) adalah salah satu faktor yang memberikan efek kardioprotektor, dengan frekuensi minum 1-3 kali sehari menghasilkan penurunan risiko penyakit jantung koroner 30-40% dibandingkan dengan yang bukan peminum. Sebaliknya, konsumsi alkohol dengan jumlah yang lebih besar meningkatkan risiko penyakit gagal jantung non koroner seperti aritmia, kardiomyopati, dan stroke hemoragik. Alkohol memiliki kurva dosis-kematian yang berbentuk J. Perempuan muda dan kelompok orang dengan risiko yang relatif kecil terhadap penyakit jantung koroner (PJK) mendapatkan manfaat yang kecil hingga sedang pada konsumsi alkohol. Sedangkan pada kelompok pria muda dan orang-orang yang dinyatakan mengalami infark miokard akan mendapat keuntungan yang lebih besar akibat konsumsi alkohol. Sejumlah studi kelompok, lintas budaya dan kasus terkontrol menunjukan hasil yang konsisten dimana kelompok peminum alkohol ringan (1-20 gram perhari) hingga peminum sedang (21-40 gram perhari) memiliki penyakit angina pektoris, infark miokard dan penyakit arteri perifer yang lebih rendah.
Salah satu mekanisme yang mungkin dapat menjelaskan gejala tersebut adalah adanya pengaruh alkohol terhadap lipid darah. Perubahan kadar lipoprotein plasma terutama peningkatan kadar HDL diduga berhubungan dengan efek kardioprotektif dari etanol. Etanol menginduksi peningkatan kadar kolesterol HDL yang melakukan pembersihan terhadap kolesterol pada arteri sehingga risiko infark menurun. 
Semua minuman beralkohol memberikan efek kardioprotektif dan menurunkan risiko infark miokard. Flavonoid yang ditemukan dalam anggur merah ( juga jus anggur ungu) diduga memiliki efek antiatherogenik tambahan melalui mekanisme perlindungan terhadap kerusakan oksidatif kolesterol LDL. LDL teroksidasi terlibat langsung dalam beberapa proses atherogenesis. Mekanisme lain yang mungkin menyebabkan efek kardioprotektif etanol adalah dengan mengubah faktor-faktor yang terlibat pada proses pembekuan darah. Konsumsi alkohol meningkatkan level aktivator plasminogen jaringan, suatu enzim yang melarutkan bekuan darah. Penurunan konsentrasi fibrinogen terjadi setelah konsumsi alkohol yang mana memberikan efek kardioprotektif. Dan studi epidemiologi menunjukan bahwa konsumsi alkohol dalam jumlah sedang berpengaruh pada penghambatan aktivasi platelet.
Kenyataan adanya manfaat alkohol tersebut apakah menyarankan agar seseorang yang bukan peminum alkohol menjadi peminum alkohol?. Jawabannya adalah tidak. Hingga saat ini belum ada uji klinis yang menunjukan efektivitas penggunaan alkohol sehari-hari untuk mengurangi risiko penyakit jantung dan kematian.

Hipertensi
Penggunaan alkohol dalam jumlah besar dapat meningkatkan tekanan darah sistolik dan diastolik. Studi menunjukan adanya hubungan non-linear antara penggunaan alkohol dan tekanan darah yang tidak berhubungan dengan usia, tingkat pendidikan, kebiasaan merokok atau pun penggunaan kontrasepsi oral. Konsumsi alkohol lebih dari 30 gram perhari dikaitkan dengan peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik sebesar 1,5-2,3 mm Hg.

Aritmia Jantung
Alkohol memiliki sejumlah efek farmakologis pada konduksi jantung, termasuk perpanjangan interval QT,  perpanjangan ventrikel repolarisasi, dan stimulasi simpatis. Aritmia atrium yang berhubungan dengan penggunaan alkohol kronis termasuk takikardia supraventrikular, fibrilasi atrium dan atrial flutter. 15-20% kasus fibrilasi atrium idiopatik terjadi pada pemakai alkohol kronis. Takikardia ventrikular mungkin merupakan salah satu faktor yang meningkatkan risiko kematian mendadak pada orang-orang yang mengalami ketergantungan alkohol. Pengobatan aritmia pada pasien yang tetap mengkonsumsi alkohol memungkinnya resisten terhadap kardioversi, digoksin maupun kanal kalsium bloker.

Kardiomyopati
Etanol dikenal memiliki efek toksik yang tergantung dosis baik terhadap otot rangka maupun otot jantung. Sejumlah penelitian menunjukan bahwa alkohol dapat menekan kontraktilitas jantung sehingga menyebabkan kardiomyopati. Sekitar setengah dari pasien dengan kardiomyopati idiopatik adalah peminum alkohol. Meskipun tanda dan gejala kardiomyopati idiopatik dan kardiomyopati terinduksi alkohol mirip, namun pasien kardiomyopati terinduksi alkohol akan menunjukan prognosis yang lebih baik jika ia dapat menghentikan kebiasaan meminum alkohol. Perempuan lebih berisiko mengalami kardiomyopati terinduksi alkohol dibandingkan pria.

Stroke
Studi klinis menunjukan adanya peningkatan risiko stroke hemoragik pada orang-orang dengan kebiasaan mengkonsumsi alkohol sekitar 40-60 gram per hari. Kasus stroke sering terjadi pada kelompok orang yang melakukan pesta alkohol berkepanjangan, terutama pada kelompok usia muda. Faktor etiologi yang mungkin diantaranya:
  • Aritmia jantung yang terinduksi alkohol dan pembentukan trombus 
  • Tekanan darah tinggi akibat konsumsi alkohol kronis yang diikuti degenerasi arteri serebral 
  •  Peningkatan tekanan darah sistolik akut dan perubahan irama arteri serebral 
  •  Trauma kepala
Efek hemostasis, fibrinolisis, dan pembekuan darah adalah faktor yang dapat mencegah atau memicu stroke akut.

 Otot Skeletal


Alkohol memiliki sejumlah efek pada otot rangka. Konsumsi harian alkohol dalam jumlah besar dan menahun  berhubungan dengan penurunan kekuatan otot, bahkan ketika disesuaikan dengan tingkat usia, penggunaan nikotin, dan penyakit kronis. Dosis besar alkohol juga dapat menyebabkan kerusakan otot permanen yang ditandai dengan peningkatan aktivitas kreatinin kinase dalam plasma.

Pada biopsi otot seorang peminum alkohol yang berat menunjukan adanya penurunan cadangan glikogen dan adanya penurunan aktivitas kinase piruvat. Sekitar 50% dari total peminum alkohol berat kronis mengalami atrofi serat tipe II. Perubahan ini berhubungan dengan penurunan sintesis protein otot dan aktivitas karbosinase serum. Kebanyakan pasien dengan alkoholisme kronis menunjukan perubahan pada electromyographical dan kebanyakan miopati skeletal mirip dengan kardiomyopati alkoholik.

Temperatur Badan


Asupan alkohol menyebabkan rasa hangat karena alkohol menyebabkan aliran darah ke kulit dan lambung meningkat. Peningkatan sekresi keringat juga terjadi. Sehingga panas tubuh hilang lebih cepat dan menyebabkan penurunan temperatur internal tubuh. Setelah konsumsi alkohol dalam jumlah besar, pusat pengatur suhu tubuh mengalami depresi dan karenanya penurunan suhu tubuh jelas terjadi. Penurunan suhu tubuh akibat konsumsi alkohol dapat membahayakan terutama bila suhu lingkungan rendah. Studi kematian akibat hipotermia menunjukan bahwa alkohol merupakan faktor risiko utama. 

Diuresis


Alkohol menghambat pelapasan vasopresin (hormon antidiuretik) dari kelenjar hipofisis posterior, sehingga meningkatkan diuresis. 

Sistem Pencernaan


Esofagus
Alkohol adalah salah satu faktor dari sekian banyak faktor penyebab disfungsi esofagus. Etanol juga dikaitkan dengan perkembangan refluks esofagus, Barret's esofagus, ruptur traumatik esofagus,  Mallory-Weiss tears, dan kanker esofagus.
Bila dibandingkan dengan seseorang yang bukan peminum alkohol dan bukan perokok, pasien ketergantungan alkohol dan perokok berisiko 10 kali lebih besar mendapati kanker esofagus. Konsentrasi rendah alkohol dalam darah menyebabkan sedikit perubahan fungsi esofagus, tetapi pada konsentrasi yang lebih besar dapat menyebabkan penurunan fungsi sfingter esofagus bagian bawah. Pasien dengan refluks esofagitis kronis berpantang terhadap alkohol.

Lambung
Konsumsi alkohol dalam jumlah besar dapat mengganggu aktivitas barier mukosa lambung sehingga menyebabkan gastritis akut atau kronis. Etanol merangsang sekresi lambung dan memicu pelepasan gastrin dan histamin. Minuman yang mengandung alkohol 40% atau lebih juga memberikan efek toksik langsung pada mukosa lambung.
Akohol tidak berperan pada  penyakit ulkus peptikum. Berbeda dengan gastritis, ulkus peptikum jarang ditemukan pada pecandu alkohol. Kendati demikian, alkohol berperan memperparah kondisi ulkus. Tampaknya alkohol bersinergi dengan bakteri H. Pylori menghambat proses penyembuhan. Perdarahan saluran cerna bagian atas lebih sering karena varises esofagus, ruptur traumatik esofagus dan kelainan dalam proses pembekuan darah.

Usus
Banyak diantara pecandu alkohol yang mengalami diare kronis, hal ini disebabkan adanya malabsorpsi pada usus kecil. Diare disebabkan oleh perubahan struktural dan fungsional dalam usus kecil, mukosa usus yang rata dengan villi dan penurunan enzim pencernaan. Kondisi ini dapat bersifat reversibel setelah kebiasaan meminum alkohol dihentikan. Pengobatan diare ini ditekankan pada penggantian vitamin dan elektrolit, memperpanjang waktu transit dengan agen seperti loperamid, dan berhenti meminum alkohol. Pasien dengan defisiensi magnesium yang parah harus menerima terapi 1 g MgSO4 intravena atau intramuskular setiap 4 jam hingga konsentrasi serum  [Mg2+] > 1 mEq/L.

Pankreas
Konsumsi alkohol dalam jumlah besar menyebabkan pankreatitis akut maupun kronis. Pankreatitis alkoholik akut ditandai dengan timbulnya sakit perut secara tiba-tiba, mual, muntah dan peningkatan kadar enzim pankreas pada serum maupun urin. Computed tomography dapat membantu penetapan diagnosa. Serangan pankreatitis akut umumnya tidak berakibat fatal, namun pankreatitis hemoragik dapat menyebabkan syok, gagal ginjal, gagal nafas, dan kematian. Perawatan untuk kondisi ini dapat meliputi penggantian cairan intravena dan analgesik opioid. Etiologi pankreatitis akut mungkin berhubungan dengan efek metabolik toksik langsung alkohol pada sel-sel asinar pankreas.
Dua pertiga dari penderita pankreatitis alkoholik akan mengalami serangan berulang dan berkembang menjadi pankreatitis kronis. Pankreatitis kronis harus diterapi dengan penggantian kekurangan endokrin dan eksokrin akibat insufisiensi pankreas. Pada perkembangannya, hiperglikemia sering kali membutuhkan terapi insulin. Kapsul enzim pankreas mengandung lipase, amilase, protease yang mungkin diperlukan untuk memperbaiki kondisi malabsorpsi.

Hati
Alkohol memberikan efek merusak hati yang terkait dosis. Efek utama adalah infiltrasi lemak di hati, hepatitis dan sirosis. Karena toksisitas intrinsiknya, alkohol dapat melukai hati seiring ketiadaan makanan. Akumulasi lemak dihati merupakan peristiwa awal yang terjadi pada orang normal yang mengkonsumsi alkohol dalam jumlah relatif kecil. Akumulasi ini terjadi karena adanya penghambatn pada siklus asam trikarboksilat dan oksidasi lemak, sebagian karena kelebihan NADH yang dihasilkan oleh tindakan ADH dan ALDH.
Fibrosis akibat nekrosis jaringan dan peradangan kronis adalah penyebab sirosis alkoholik. Jaringan hati normal tergantikan oleh jaringan fibrosa. Ciri histologis sirosis alkoholik adalah pembentukan badan Mallory yang diduga terkait dengan perubahan sitoskeleton menengah.

Vitamin dan Mineral
Konsumsi alkohol dalam jumlah besar mengakibatnya berkurangnya vitamin, mineral dan nutrisi penting lainnya. Hal ini disebabkan karena berkurangnya asupan, penyerapan atau gangguan pemanfaatan nutrisi tersebut.  Neuropati perifer, psikosis Korsakaoff, dan ensefalopati Wernice sering terjadi pada pecandu alkohol yang mungkin disebabkan karena kurangnya vitamin  B kompleks, terutama thiamin. Pecandu alkohol kronis akan mengalami kekurangan asupan retinoid dan karotenoid serta peningkatan metabolisme retinol oleh induksi enzim degradatif. Retinol dan alkohol bersaing untuk dimetabolisme oleh ADH. Pemberian suplementasi vitamin A harus dipantau, karena saat mengkonsumsi alkohol seseorang tersebut harus dihindarkan dari kemungkinan hepatotoksisitas akibat induksi retinol. Konsumsi alkohol kronis menyababkan stres oksidatif pada hati karena radikal bebas, sehingga berkontribusi pada terjadinya kerusakan hati. Efek antioksidan dari tokoferol (vitamin E) dapat membantu mengatasi kondisi tersebut.
Konsumsi alkohol kronis juga berperan pada osteoporosis. Bagaimana pengaruh alkohol pada penurunan massa tulang belum diketahui, namun jelas terlihat dalam pengurangan osteoblastik. 

Fungsi Seksual
Meskipun secara umum alkohol diyakini mampu meningkatkan aktivitas seksual, efek sebaliknya juga sangat mungkin. Banyak penyalahgunaan obat, termasuk alkohol memberikan efek awal berupa penuruna libido.
Penggunaan alkohol akut maupun kronis dapat menyebabkan impotensi pada pria. Peningkatan konsentrasi alkohol dalam darah menyebabkan penurunan gairah seksual, ejakulasi laten, dan menurunkan kenikmatan orgasmik. Impotensi terjadi pada sekitar 50% pecandu alkohol kronis. Selain itu, banyak diantara pecandu alkohol kronis yang mengalami atrofi testis dan penurunan kesuburan. Mekanisme yang menyebabkan kondisi ini sangat kompleks dan diduga melibatkan perubahan fungsi hipotalamus dan efek toksik langsung alkohol pada sel leydig. Ginekomastia berhubungan dengan penyakit hati alkoholik dan peningkatan respon seluler terhadap estrogen dan percepatan metabolisme testosteron. 
Fungsi seksual pada wanita dengan ketegantungan alkohol belum jelas terlihat pengaruhnya.  Banyak diantara wanita dengan ketergantungan alkohol mengeluhkan penurunan libido, penurunan lubrikasi vagina dan ketidakteraturan siklus menstruasi. Indung telur mereka kadang menjadi kecil dan tidak adanya perkembangan folikel. Data menunjukan bahwa wanita alkoholik umumnya memiliki tingkat kesuburan yang lebih rendah. Adanya gangguan komorbid seperti anoreksia nervosa dan bulimia makin memperparah kondisi ini. 

Efek Hematologi dan Imunologi

Penggunaan alkohol kronis sering dihubungkan dengan sejumlah anemia. Anemia mikrositik dapat terjadi karena kehilangan darah yang kronis dan kurangnya asupan zat besi. Anemia makrositik dan peningkatan rata-rata volume sel umum terjadi tanpa adanya kekurangan vitamin. Anemia normokromik juga dapat terjadi karena efek dari penyakit kronis pada hematopoiesis.  Adanya penyakit hati yang parah dan perubahan morfologi dapat menyebabkan pengembangan sel duri, schistocytes, dan sideroblasts bercincin. Anemia sideroblastik alkoholik dapat merespon pemberian vitamin B6 pengganti. Konsumsi alkohol juga berhubungan dengan trombositopenia reversibel, meskipun jumlah trombosit hingga kurang dari 20.000/mm3 jarang terjadi. Perdarahan jarang terjadi kecuali bila ada perubahan aktor-faktor pembekuan darah yang berhubungan dengan vitamin K1.

Alkohol juga mempengaruhi granulosit dan limfosit. Efek-efeknya termasuk leukopenia, perubahan subset limfosit, penurunan mitogenesis sel T, dan perubahan dalam produksi imunoglobulin. Efek-efek tersebut berperan pada timbulnya penyakit hati alkoholik. Pada sebagian pasien, leukosit terdepresi bermigrasi ke area peradangan. Konsumsi alkohol juga dapat mengubah fungsi dan distribusi sel limfoid dengan mengganggu regulasi sitokin, khususnya yang melibatkan interleukin 2 (IL-2). Alkohol tampaknya memainkan peran pada perkembangan infeksi bersama human immunodeficiency virus-1 (HIV). Dalam studi in vitro dengan limfosit manusia menunjukan bahwa alkohol dapat menekan fungsi CD4 T-limfosit, concanavalin A menstimulasi produksi IL-2 dan replikasi in vitro HIV. Selain itu pecandu alkohol termasuk dalam kelompok perilaku seksual berisiko tinggi.







Literatur:
GG. Edisi 12. 2010

 

Baca juga:
Farmakoterapi Alkohol







Sabtu, 10 Mei 2014

KERACUNAN DAN TOKSISITAS OBAT



PENGANTAR


Secara farmakologis, obat menawarkan terapi lengkap dengan paket sifat-sifat kimia dan karakteristiknya, mekanisme tindakan, respon fisiologis terhadap obat, dan penggunaannya secara klinis. Farmakologi bersimpangan dengan toksikologi saat respon fisiologis terhadap obat menyebabkan terjadinya efek samping. Toksikologi sering dianggap sebagai ilmu yang mempelajari tentang racun atau keracunan, namun toksikologi ini mengembangkan suatu definisi yang ketat sehubungan dengan masalah racun atau keracunan tersebut. Racun adalah setiap zat, termasuk obat yang memiliki kapasitas membahayakan organisme. Paracelsus (1493-1541) seorang dokter pada masa Renaissance mendefinisikan istilah racun dengan sebuah pertanyaan "Apa ada yang bukan termasuk racun?, pada dasarnya semua hal/zat adalah racun dan tidak ada satu zat pun yang tidak dapat menyebabkan keracunan. Dosislah yang semata-mata membedakan suatu zat itu racun atau bukan". Keracunan menunjukan adanya efek fisiologis yang merusak akibat paparan zat atau obat tertentu. Jadi secara umum dapat dinyatakan bahwa semua obat adalah racun yang potensial, dosis, kondisi individu, lingkungan dan faktor-faktor yang berhubungan dengan gen yang akan berkontribusi menentukan apakah obat tersebut memberikan efek racun atau tidak.

Beberapa senyawa kimia secara inheren dapat menjadi racun, seperti timah, yang tidak diketahui bagaimana peran fisiologisnya dalam tubuh namun dapat menyebabkan cedera neural bahkan pada tingkat paparan yang sangat rendah. Kebanyakan obat-obatan adalah racun pada ambang batas tertentu, pada dosis terapi obat memberikan efek yang menguntungkan, tetapi pada dosis yang lebih tinggi dapat menyebabkan keracunan. Sebagai contoh, besi merupakan nutrisi yang penting untuk sintesis heme dan berbagai fungsi fisiologis enzim, tetapi over dosis besi sulfat dapat menyebabkan disfungsi berbagai organ yang mengancam jiwa.

RESPON TERHADAP DOSIS


Evaluasi respon terhadap dosis atau dosis-efek sangat penting bagi seorang ahli toksikologi. Ada hubungan dosis-efek pada satu individu dan adapula hubungan dosis-efek quantal dalam suatu populasi. Dalam hubungan dosis-efek individual biasanya seseorang akan mengalami peningkatan efek seiring peningkatan dosis. Hubungan dosis-efek quantal adalah persentase kenaikan jumlah penduduk yang terpengaruh kenaaikan dosis. Fenomena dosis-efek quantal penting dalam nilai dosis mematikan median (lethal dose (LD) LD50) obat-obatan dan bahan kimia tertentu. 

LD50 ditentukan secara eksperimental, dengan memberikan obat atau bahan uji kepada marmut atau tikus (baik secara oral atau intraperitoneal) hingga dosis yang menyebabkan kematian pada 50% hewan uji.


Gambar 1
Grafik LD50


Gambar 2
Indeks Terapi

Kurva pada gambar 2 mengilustrasikan hubungan kurva dosis-efek quantal untuk efek terapi obat untuk menghasilkan dosis efektif median (effective dose (ED) ED50), yaitu konsentrasi obat yang mana menghasilkan efek yang diinginkan pada 50% populasi, dan kurva dosis quantal yang mematikan 50% populasi. Kedua kurva menghasilkan indeks terapi (therapeutic index = TI) yang menunjukan kuantisasi obat yang aman digunakan. Semakin tinggi nilai TI, maka semakin aman obat tersebut digunakan.

Setiap obat memiliki nilai TI tersendiri yang berkisar antara 1-2 hingga lebih dari 100. Obat dengan nilai TI yang rendah harus diberikan secara hati-hati. Obat dengan nilai TI rendah diantaranya glikosida jantung dan agen kemoterapi kanker. Obat dengan nilai TI yang tinggi menunjukan tingkat keamanannya yang juga tinggi, obat kelompok ini mencakup obat golongan antibiotik (misalnya penisilin), kecuali bila diketahui adanya reaksi alergi.

Penilaian keamanan obat dengan menggunakan parameter LD50 dan ED50 bukan tanpa kelemahan, karena parameter tersebut tidak menganggap bahwa lereng kurva efek terapi dan lethal mungkin berbeda.  Sebagai alternatif nilai ED99 (ED untuk 99% populasi) dibandingkan dengan LD1 (LD 1% populasi) dapat digunakan untuk menentukan nilai margin kemanan (margin of safety).

                        Margin of safety = LD1/ED99

FARMAKOKINETIK VS TOKSIKOKINETIK


Prinsip-prinsip farmakokinetik meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi. Sedangkan toksikokinetik didefinisikan sebagai farmakokinetik obat yang menghasilkan efek racun atau paparan yang berlebihan yang dapat berbeda secara signifikan setelah keracunan, dan perbedaan-perbedaan tersebut mungkin akan sangat mempengaruhi keputusan pengobatan dan prognosis. Mengkonsumsi obat dalam dosis yang lebih besar dapat mengakibatkan absorpsi obat yang berkepanjangan, mengubah komposisi protein darah yang mengikat obat tersebut serta merubah pula volume distribusi dan jalur metabolismenya. Saat terjadi kondisi yang dicurigai keracunan obat, maka perlu diketahui dua hal berikut:
  1. Berapa lama kondisi asimptomatik (penyerapan dan dinamika obat) harus dipantau?
  2. Berapa lama waktu yang diperlukan pasien untuk menunjukan gejala keracunan hingga kondisinya membaik (eliminasi obat dan dinamikanya)?

Absorpsi Obat


Aspirin merupakan penyebab tersering morbiditas dan mortalitas obat terkait over dosis penggunaanya. Dalam dosis terapi, aspirin mencapai konsentrasi plasma puncak dalam waktu sekitar 1 jam. Namun dalam kondisi overdosis faktor-faktor fisiologi yang mempengaruhi obat tersebut kemungkinan berubah. Overdosis aspirin menyebabkan spasme katup pilorus yang menyebabkan penundaan aspirin memasuki usus halus. Aspirin, terutama dalam bentuk salut enterik saling bergabung sehingga mengurangi luas permukaan penyerapan. Konsentrasi puncak salisilat dalam plasma mungkin akan tercapai dalam waktu 4-35 jam setelah menelan aspirin.

Eliminasi Obat


Pada dosis terapi, asam valproat memiliki waktu paruh (t1/2) sekitar 14 jam. Keracunan asam valproat dapat menyebabkan koma. dalam memprediksi durasi koma,  penting untuk mempertimbangkan bahwa setelah over dosis proses metabolisme orde pertama menjadi jenuh dan t1/2 eliminasi dapat berlangsung antara 30-45 jam. 

Obat-obat yang memberikan manivestasi overdosis dalam waktu 4-6 jam diantaranya:
  • Parasetamol
  • Aspirin
  • Obat-obat terlarang yang dikemas dalam paket karet atau plastik
  • Inhibitor monoamin oksidase
  • Sulfonilurea
  • Obat-obat sediaan lepas lambat
  • Hormon tiroid
  • Asam valproat
  • Antikoagulan warfarin
Obat-obat diatas yang tertelan bersamaan dengan agen yang memiliki aktivitas kolinergik, akan menunjukan penurunan motilitas usus dan menyebabkan keterlambatan mulai kerja (onset) obat.

TIPE-TIPE KERACUNAN OBAT


Dalam terapi, obat biasanya memberikan berbagai efek, namun biasanya hanya 1 efek terapi yang diharapkan sedangkan efek-efek lain tidak diharapkan dapat dianggap sebagai efek samping. Efek-efek samping ini biasanya mengganggu namun tidak membahayakan. Efek yang tidak diinginkan dan membahayakan dianggap sebagai efek toksik. 

Reaksi-reaksi yang Dipengaruhi Dosis


Efek toksik obat dapat dikelompokan sebagai efek farmakologis, patologis dan genotoksik. Biasanya keparahan toksisitas secara proporsional terkait dengan konsentrasi obat dalam tubuh dan durasi paparan. Overdosis obat adalah contoh toksisitas obat terkait dosis.

Toksisitas Farmakologis
Depresi sistem saraf pusat terkait penggunaan barbiturat dipengaruhi oleh dosis. Efek klinis berkembang mulai dari efek ansiolitik, sedasi hingga koma. Demikian pula tingkat hipotensi yang dihasilkan oleh nifedipin sangat dipengaruhi oleh dosis yang diberikan. Tardive dyskinesia adalah gangguan motorik ekstrapiramidal yang berhubungan dengan penggunan obat antipsikotik, tampaknya tergantung pada durasi paparan. Toksisitas farmakologi juga dapat terjadi ketika dosis yang diberikan tepat, misalnya pada kasus pasien yang diobati dengan tetrasiklin, sulfonamida, klorpromazin dan asam nalidiksat yang disebabkan adanya efek fototoksisitas oleh sinar matahari terhadap pasien.

Toksisitas Patologis
Parasetamol dimetabolisme menjadi glukoronida nontoksik dan sulfat terkonjugasi, dan metabolit yang sangat reaktif N-acetyl-p-benzoquinoneimine (NAPQI) melalui isoform CYP. NAPQI disebut sebagai senyawa biologis reaktif menengah yang sering timbul dari hasil metabolisme obat. Pada dosis terapi NAPQI mengikat glutation nukleofilik tapi dalam kondisi overdosis penipisan glutation dapat menyebabkan nekrosis hati patologis.


Gambar 3
Mekanisme Pembentukan NAPQI dari Metabolisme Parasetamol

Efek Genotoksik
Radiasi senyawa kimia yang mengion yang banyak terdapat dilingkungan dapat melukai DNA dan menyebabkan toksisitas mutagenik dan karsinogenik. Diduga banyak agen kemoterapi kanker yang potensial genotoksik.


Reaksi Alergi


Alergi adalah suatu reaksi merugikan yang diawali dengan sensitisasi suatu bahan kimia tertentu atau senyawa dengan struktur kimia yang mirip. Bahan kimia dengan berat molekul rendah menyebabkan reaksi alergi dengan membentuk produk metabolik yang biasanya bertindak sebagai hapten dengan menggabungkan protein-protein endogen membentuk antigen kompleks. Antigen tersebut menginduksi pembentukan antibodi, biasanya setelah periode laten setelah 1-2 minggu. Paparan berikutnya dengan senyawa kimia tersebut atau senyawa lain yang struktur kimianya mirip akan menyebabkan interaksi antigen-antibodi yang memprovokasi manivestasi khas alergi. Hubungan dosis-efek biasanya tidak jelas pada kasus reaksi alergi ini. Reaksi alergi dibedakan menjadi 4 kategori umum berdasarkan mekanisme keterlibatan imunologi.

Tipe I: Reaksi Anafilaktik
Reaksi anafilaktik diperantarai oleh antibodi IgE. Fc portion of IgE dapat mengikat reseptor pada sel mast dan basofil. Jika bagian Fab molekul antibodi mengikat antigen, berbagai mediator (seperti histamin, leukotrien dan prostaglandin) dilepaskan dan menyebabkan vasodilatasi, edema dan respon inflamasi. Sasaran utama dari reaksi ini adalah saluran gastrointestinal (alergi makanan), kulit (urtikaria dan dermatitis atopik), saluran pernafasan (rhinitis dan asma), dan pembuluh darah (syok anafilaktik). Respon ini cenderung berlangsung cepat setelah tantangan dengan antigen individu yang telah peka, kondisi ini disebut reaksi hipersensitif.

Tipe II: Reaksi Sitolitik
Reaksi alergi tipe II ini dimediasi oleh antibodi IgG dan IgM dan biasanya dikaitkan dengan kapasitas antibodi tersebut dalam mengaktifkan sistem komplemen. Jaringan utama reaksi sitolitik adalah sel-sel dalam sistem peredaran darah. Contoh respon alergi tipe II adalah anemia hemolitik yang disebabkan penisilin, quinidin yang menginduksi purpura trombositopenik, dan sulfonamida yang menginduksi granulositopenia. Untungnya, reaksi autoimun akibat obat umumnya mereda dalam waktu beberapa bulan setelah pengangkatan agen penyebab.

Tipe III: Reaksi Artrus
Reaksi alergi tipe III terutama dimediasi oleh antibodi IgG, mekanisme ini melibatkan satu generasi kompleks antigen-antibodi. Senyawa kompleks tersebut disimpan dalam endotelium pembuluh darah, dimana respon inflamasi destruktif yang disebut serum sickness terjadi. Fenomena ini kontras dengan reaksi alergi tipe II, dimana respon inflamasi yang disebabkan oleh antibodi diarahkan ke antigen jaringan. Gejala klinis serum sickness dapat berupa urtikaria, arthralgia atau arthritis, limfodenopati dan demam. Beberapa obat termasuk antibiotik yang biasa digunakan, dapat menyebabkan reaksi alergi ini. Reaksi ini biasanya berlangsung selama 6-12 hari dan gejala menghilang setelah penggunaan agen penyebab dihentikan.

Tipe IV; Reaksi Hipersensitivitas Tertnnda
Reaksi alergi ini dimediasi oleh sensitisasi limfosit T dan makrofag. Ketika sel-sel yang telah tersensitisasi mengalami kontak dengan antigen, sebuah reaksi inflamasi dihasilkan melalui produksi limfokin yang diikuti dengan masuknya netrofil dan makrofag. Contoh reaksi tipe ini adalah dermatitis kontak akibat keracunan ivy.

Reaksi Idiosinkratik


Idiosinkrasi adalah reaktivitas abnormal suatu bahan kimia yang khusus terjadi pada individu tertentu. Respon idiosinkrasi dapat berupa sensitivitas ekstrim terhadap suatu obat baik pada dosis rendah maupun tinggi. Reaksi ini dapat dihasilkan dari polimorfisme genetik yang menyebabkan perbedaan farmakokinetik dan farmakodinamik obat atau dari variabilitas ekspresi aktivitas enzim pada seseorang. 

Peningkatan insiden neuropati perifer terjadi pada pasien dengan defisiensi asetilasi isoniazid pada pengobatan tuberkulosis, perlambatan atau percepatan asetilator disebabkan oleh adanya polimorfisme N-asetil transferase. Banyak pria kulit hitam mengalami anemia hemolitik ketika mereka menerima primakuin untuk terapi malaria, individu tersebut mengalami kekurangan eritrosit dehidrogenase glukosa-6-fosfat. Resistensi genetik menyebabkan aksi koagulan warfarin dan menyebabkan perubahan pada vitamin K epoksida reduktase.

INTERAKSI OBAT


Pasien biasanya menerima lebih dari satu jenis obat, mengkonsumsi berbagai jenis makanan, serta kemungkinan menggunakan obat-obat bebas dan juga vitamin dan suplemen, hal ini memberikan potensi terjadinya interaksi. Interaksi obat dapat menyebabkan perubahan penyerapan, ikatan protein, tingkat biotransformasi yang berbeda serta ekskresi obat-obatan tersebut. Farmakodinamika obat dapat berubah karena adanya kompetisi pada tingkat reseptor, dan interaksi farmakodinamik non reseptor yang dapat terjadi ketika dua obat atau lebih memiliki mekanisme aksi yang serupa. Induksi atau inhibisi metabolisme obat oleh CYPs merupakan kondisi yang sangat mempengaruhi interaksi obat.

Interaksi Penyerapan


Suatu obat dapat menyebabkan peningkatan atau penurunan absorpsi obat lain dari lumen usus. Ranitidin, suatu antagonis reseptor histamin H2, meningkatkan pH saluran gastrointestinal dan karenanya dapat meningkatkan absorpsi obat-obat basa seperti triazolam, Sebaliknya suatu sekuestran asam empedu kolestiramin menyebabkan penurunan konsentrasi serum dari propranolol secara signifikan dan menyebabkan penurunan khasiat.

Interaksi pada Ikatan Protein


Banyak obat-obatan seperti apirin, barbiturat, fenitoin, sulfonamida, asam valproat dan warfarin memiliki tingkat ikatan protein plasma yang tinggi, dan obat bebas yang tidak terikat protein plasma akan bekerja memberikan efek klinis. Obat-obat tersebut berpotensi menyebabkan toksisitas jika ikatan dengan protein plasma telah jenuh, dan menyebabkan terjadinya hipoalbuminemia, atau terjadi penggantian pengikatan protein oleh obat lain. Efek antikoagulan warfarin meningkat dengan adanya asam valproat jika kedua obat tersebut diberikan secara simultan.

Interaksi Metabolisme


Suatu obat dapat mempengaruhi metabolisme obat lain terutama pada CYPs hati. Parasetamol sebagian dimetabolisme oleh CYP2E1 menjadi NAPQI yang bersifat toksik, konsumsi etanol menginduksi secara kuat isoenzim 2E1 yang meningkatkan potensi keracunan akibat parasetamol. Antihistamin piperidin generasi ke dua (terfenadin, astemizol) telah dilarang penggunaannya karena obat tersebut dapat menyebabkan perpanjangan QT ketika obat tersebut diberikan bersama dengan makrolida.

Interaksi Ikatan pada Reseptor


Suatu obat dapat mempengaruhi metabolisme obat lain, hal ini terutama terjadi pada CYPs hati. Parasetamol sebagian diubah menjadi NAPQI yang toksik oleh CYP2E1. Penggunaan bersama parasetamol dan etanol akan memperbesar potensi toksik dari NAPQI karena akan menginduksi dengan kuat isoenzim 2E1. Demikian pula sejumlah antihistamin piperidin (terfenadin, astemizol) yang dapat mengalami perpanjangan interval QT jika digunakan bersamaan dengan makrolida.

Interaksi Pada Ikatan Protein


Buprenorfin adalah opioid yang memilik aktivitas parsial pada reseptor agonis dan antagonis. Obat ini digunakan sebagai analgesik, namun lebih sering digunakan pada pengobatan kecanduan narkotika. Obat ini mengikat reseptor opioid dengan afinitas tinggi, dan dapat mencegah euforia akibat penggunaan obat-obatan narkotika.

Interaksi pada Aksi Terapeutik


Aspirin adalah penghambat agregasi platelet sedangkan heparin adalah suatu koagulan, jika diberikan secara bersamaan maka dapat menimbulkan terjadinya perdarahan. Sulfonilurea menyebabkan hipoglikemia dengan cara merangsang pelepasan insulin pankreas, sedangkan biguanida (metormin) menyebabkan penurunan produksi glukosa hepatik, dan kedua golongan obat tersebut dapat digunakan secara bersamaan untuk mengontrol kadar glukosa darah penderita diabetes.
  • Interaksi obat dikatakan memiliki efek aditif jika efek gabungan kedua obat sama dengan jumlah dari efek dari setiap obat jika diberikan sebagai agen tunggal. 
  • Efek sinergis adalah efek dimana efek gabungan melebihi jumlah dari masing-masing obat jika diberikan secara tunggal. 
  • Potensiasi menggambarkan adanya penciptaan efek toksik suatu obat akibat adanya obat lain
  • Antagonisme adalah gangguan dari suatu obat dengan mekanisme kerja yang berbeda. Antagonisme obat dapat memberikan keuntungan terapi jika obat yang digunakan merupakan obat penangkal toksisitas obat lainnya. Antagonisme fungsional atau fisiologis terjadi ketika dua bahan kimia atau obat menghasilkan efek yang berlawanan pada fungsi fisiologis yang sama, ini adalah dasar paling mendukung pada pengobatan overdosis obat. Antagonisme kimia atau inaktivasi adalah reaksi antara dua bahan kimia yang saling menetralisir efek, seperti terlihat pada terapi khelasi. Antagonisme disposisional adalah perubahan disposisi zat (penyerapan, biotransformasi, metabolisme dan ekskresi) sehingga obat yang mencapai organ target tidak mencukupi. Reseptor antagonis memerlukan blokade efek obat dengan obat lain yang bersaing dilokasi reseptor yang sama.

EPIDEMIOLOGI REAKSI OBAT MERUGIKAN (ROM) DAN KERACUNAN OBAT


Keracunan dapat terjadi melalui berbagai mekanisme. Insiden reaksi obat yang merugikan yang serius dan fatal di rumah-rumah sakit di Amerika Serikat sangat tinggi. Diperkirakan sekitar 2 juta pasien rawap inap mengalami reaksi obat merugikan yang serius setiap tahunnya.

Kondisi-kondisi yang memungkinkan terjadinya keracunan:
  1. Toksisitas obat terapeutik
  2. Paparan eksplorasi oleh anak-anak muda
  3. Paparan lingkunan
  4. Pajanan
  5. Penyalahgunaan obat
  6. Kesalahan dalam pengobatan 
  7. Upaya bunuh diri
  8. Upaya meracuni orang lain
Obat-obat yang sering berhubungan dengan resiko kematian diantaranya:
  • Kokain
  • Opioid
  • Benzodiazepin
  • Alkohol
  • Antidepresan
Senyawa-senyawa yang paling sering berhubungan dengan risiko keracunan pada manusia:
  • Analgesik
  • Produk perawatan diri
  • Produk pembersih rumah tangga
  • Sedatif/ antipsikotik dan hipnotik
  • Benda asing
  • Sediaan obat lokal
  • Obat flu dan batuk
  • Antidepresan

Pencegahan Keracunan


Mengurangi Risiko Kesalahan Pengobatan (Medication Errors)
Upaya mengurangi kesalahan pengobatan dan ROM terbukti akan mampu mengurangi risiko keracunan terkait penggunaan obat. Kesalahan pengobatan atau medication errors (ME) dapat terjadi pada proses peresepan atau pun pada proses penggunaan obat tersebut, sedangkan ROM adalah cedera yang berhubungan dengan penggunaan obat. Secara umum penggunaan obat yang tepat atau rasional harus memenuhi kriteria:
  • Tepat obat
  • Tepat pasien
  • Tepat dosis
  • Tepat rute pemberian, dan
  • Tepat waktu pemberian
Praktik-praktik yang direkomendasikan untuk mengurangi ME dalam jangka pendek:
  1. Sistem distribusi unit-dose untuk pemberian obat-obat non gawat darurat
  2. Penyiapan larutan intravena oleh farmasis
  3. Memindahkan obat-obat berbahaya (seperti KCl pekat) dari daerah perawatan pasien
  4. Mengembangkan prosedur khusus untuk obat-obat berisiko tinggi
  5. Meningkatkan sumber daya manusia untuk memberikan informasi yang memadai tentang obat
  6. Mengedukasi pasien sehubungan penggunaan obat yang rasional
  7. Meningkatkan akses dokter dan farmasis pada pasien rawat inap
Sedangkan dalam jangka panjang pencegahan ME dapat dilakukan dengan :
  1. Komputerisasi sistem pemesanan obat
  2. Komputerisasi dosis dan pemeriksaan alergi
  3. Komputerisasi sistem pelacakan obat
  4. Penggunaan bar codes untuk penyiapan dan pemberian obat

Mengurangi Risiko Keracunan di Rumah Tangga
Paparan racun dilingkungan rumah dan lingkungan lainnya harus dikurangi. Pencegahan keracunan harus dilakukan secara pasif, misalnya dengan mengurangi peredaran obat-obat atau bahan beracun dipasaran, dan dilakukan secara aktif oleh masing-masing individu.

Prinsip-Prinsip Penanganan Keracunan


Prioritas pengobatan keracunan adalah menjaga fungsi-fungsi vital tubuh tetap berlangsung hingga obat atau bahan kimia penyebab keracunan dapat dikeluarkan dari dalam tubuh. Dengan mempertimbangkan onset dan durasi obat penyebab keracunan, maka pengobatan harus segera dilakukan. Tujuan utama pengobatan toksisitas adalah mempertahankan fungsi fisiologis normal tubuh. Tujuan keduanya adalah menekan agar konsentrasi racun (obat penyebab keracunan) seminimal mungkin dengan menghambat absorpsi dan meningkatkan eliminasinya. Selain itu, tujuan ketiganya adalah untuk melawan efek toksikologi racun pada sisi efektor.

Dekontaminasi Pasien Keracunan


Paparan racun dapat terjadi karena terhirup, kontak melalui kulit atau mukosa penyerapan, melalui suntikan atau pun tertelan. Langkah pertama dalam mencegah keracunan adalah dengan menghentikan terjadinya paparan dengan racun tersebut. Jika perlu mata dan kulit harus dicuci dengan air mengalir. Dekontaminasi gastrointestinal adalah upaya untuk mengurangi penyerapan zat racun setelah zat racun tersebut masuk ke dalam saluran pencernaan. Strategi utama yang dapat dilakukan untuk dekontaminasi gastrointestinal adalah dengan pengosongan lambung (bilas lambung), penyerapan racun dan katarsis. Indikasi perlunya dilakukan dekontaminasi gastrointestinal adalah:
  1. Racun berpotensi membahayakan
  2. Racun masih belum terserap, artinya racun masih berada pada lambung atau usus, sehingga dekontaminasi gastrointestinal harus segera dilakukan
  3. Prosedur dekontaminasi dapat dilakukan secara aman.
Pengosongan lambung kini telah jarang dilakukan.

Metode dekontaminasi gastrointestinal yang dapat dilakukan:
  1. Sirup Ipecac. Sirup ipecac adalah agen emetik (perangsang muntah) lokal pada saluran usus. Komponen alkaloid cephaeline dan emetine dalam sirup ipecac bertindak sebagai agen emetik karena kedua senyawa tersebut memberikan efek iritasi lokal pada saluran usus dan efek sentral pada chemoreceptor trigger zone pada postrema medula. Dosis sirup ipecac adalah 15 ml pada anak-anak kurang dari 12 tahun dan 30 ml pada orang dewasa dan anak-anak diatas 12 tahun. Sirup ini akan menghasilkan efek emetik dalam kurun waktu 15-30 menit. Sirup ini dikontraindikasikan pada pasien yang menderita gangguan sistem saraf pusat, dan pasien yang mengkonsumsi obat korosif atau hidrokarbon. Obat ini sering disalahgunakan oleh pasien bulimia. Penggunaan obat ini secara berlebihan dapat mengakibatkan kelainan elektrolit serum, kardiomiopati, aritmia ventrikel dan kematian.
  2. Pengosongan lambung/bilas lambung. Proses ini dilakukan dengan memasukan pipa orogastrik kedalam perut dimana posisi pasien dekubitus lateral kiri dengan kepala lebih rendah daripada kaki, kemudian isi perut dikeluarkan melalui pipa tersebut. 
  3. Penyerapan Racun dengan Karbon Aktif. Karbon aktif dibuat melalui proses pirolisis terkendali dari bahan-bahan organik dan diaktifkan dengan penguapan atau penambahan bahan kimia yang meningkatkan struktur pori internal dan kapasitas serap permukaan karbon. Permukaan karbon aktif mengandung gugus karbonil, dan sekelompok hidroksil yang mampu mengikat racun. Dosis yang dianjurkan adalah 0,5-2 gram per Kg berat badan, dengan dosis maksimum 75-100 gram. Diperkirakan setiap 10 gram karbon aktif mampu mengikat 1 gram racun. Efektivitas karbon aktif menurun seiring berjalannya waktu. Alkohol, bahan korosif, hidrokarbon dan logam tidak dapat diserap dengan baik oleh karbon aktif. Komplikasi yang mungkin timbul dalam terapi ini dapat berupa mual, muntah, sembelit, aspirasi paru dan kematian. Terapi ini dikontraindikasikan pada pasien dengan perforasi gastrointestinal dan pada pasien yang akan menjalani endoskopi.
  4. Irigasi usus. Irigasi usus meliputi pemberian senyawa dengan berat molekul besar secara enteral dalam jumlah besar, larutan elektrolit polietilen glikol iso osmotik dengan tujuan mempercepat sampainya racun ke rektum sebelum sempat diserap. Irigasi usus disarankan pada kasus keracunan obat-obatan terlarang, overdosis besi, obat luar yang tertelan, overdosis obat lepas lambat.
  5. Katarsis. Ada dua tipe katarsis sederhana yang umum digunakan yaitu garam magnesium seperti magnesium sitrat dan magnesium sulfat, serta karbohidrat tak tercerna seperti sorbitol. Metode ini kini jarang digunakan. Meski sorbitol sering digunakan sebagai pemanis pada terapi dengan karbon aktif.
  6. Peningkatan laju eliminasi obat (racun). Setelah obat diserap, efek toksikodinamik buruk dari obat tersebut dapat dikurangi dengan meningkatkan laju eliminasinya. Ekskresi obat dapat ditingkatkan dengan proses perangkap ion pada kebasaan urin. Beberapa obat dapat dikeluarkan dari tubuh dengan teknik ekstrakorporeal seperti dialisis peritoneal, hemodialisis dan hemoperfusion.
  7. Terapi Antidot. Terapi antidot melibatkan mekanisme antagonisme atau dengan menginaktivasi racun secara kimiawi. Farmakodinamika racun dapat diubah dengan jalan memberikan kompetitornya pada reseptor, seperti pada antagonisme nalokson dalam mengobati overdosis heroin. Antidot fisiologis dapat ditempuh melalui mekanisme seluler yang berbeda, seperti pada penggunaan glukagon untuk merangsang pemblokiran alternatif terhadap reseptor adrenergik dan meningkatkan siklik AMP seluler pada terapi overdosis propranolol. Antivenom dan agen pengkhelat mengikat dan secara langsung menonaktifkan racun. Biotransformasi racun juga dapat diubah oleh antidot; seperti pada kasus fomepizol yang akan menghambat dehidrogenasi alkohol dan menghentikan pembentukan metabolit asam beracun dari etilen glikol dan metanol. Banyak jenis obat yang dapat digunakan dalam perawatan pendukung pasien keracunan (misal; antikonvulsan, vasokonstriktor0 yang dapat dianggap sebagai antidot fungsional yang tak spesifik. Berikut jenis-jenis antidot yang dapat digunakan:
Antidot                                                                 Indikasi Keracunan
  • Asetilsistein                                                 Parasetamol
  • Atropin sulfat organoforus                           Pestisida karbamat
  • Benztropin                                                  Obat penginduksi distonia
  • Bikarbonat, natrium                                     Obat pemblok kanal natrium
  • Bromokriptin                                               Sindrom Neuroleptik
  • Karnitin                                                       Hiperammonemia valproat
  • Dantrolen                                                    Hipertermia ganas
  • Deveroksamin                                             Besi
  • Digoksin                                                     Glikosida jantung 
  • Difenhidramin                                              Obat penginduksi distonia
  • Dimerkaprol                                               Raksa, Arsen
  • Etanol                                                         Metanol, etilen glikol
  • Fomepizol                                                  Metanol, etilen glikol
  • Flumazenil                                                  Benzodiazepin
  • Glukagon                                                   Antagonis adrenergik
  • Hidroksokobalamin hidroklorida                Sianida
  • Insulin dosis tinggi                                      Pemblok kanal kalsium 




Sumber
Goodman and Gilman's The Pharmacological Basis of Therapeutic. 12th Edition. Ebook.