Selasa, 22 Januari 2013

PENGGUNAAN METORMIN PADA TERAPI SINDROM OVARIUM POLIKISTIK (SOPK)



Seorang wanita yang berusia 23 tahun mengalami sindrom ovarium plokistik (SOPK). Pasien sebelumnya pernah menggunakan kontraseptik oral namun pasien tidak dapat mentolerirnya dengan baik, pasien juga tidak sedang menjalani pengobatan apa pun. Dia mendapati 3 atau 4 periode menstruasi pertahun, tidak sedang merencanakan kehamilan, namun akan menikah setahun yang akan datang. Pasien merasakan kecemasan karena pengetahuannya bahwa SOPK berhubungan dengan diabetes melitus dan fakta bahwa kedua orang tuanya merupakan penderita diabetes melitus tipe 2. Indeks massa tubuhnya (berat badan dalam satuan kilogram dibagi dengan kuadrat tinggi badan dalam satuan meter) adalah 32, lingkar pinggang 96,5 cm, level testosteron serum totalnya meningkat 0,9 ng/ml (90 ng/dl atau 2,9 nmol/l), kadar HDL-kolesterol 35 mg/dl (0,9 nmol/l) dan kadar trigliseridanya 190 ml/dl (2,1 nmol/l). Selain itu kadar glukosa serum 2 jam post prandial (yaitu 2 jam setelah mengkonsumsi 75 gram dekstrosa) adalah 138 mg/dl (7,7 mmol/l). Dokter yang menangani kasus ini mempertimbangkan apakah penggunaan metformin  akan memberikan keuntungan dan kemudian merujuk pasien kepada seorang endokrinologist.


Problem Klinis


SOPK adalah diagnosa klinis yang ditandai dengan adanya 2 atau lebih kondisi berikut:
  1. Oligo-ovulasi kronis atau anovulasi
  2. Kelebihan androgen
  3. Polikistik ovarium
Kondisi ini mempengaruhi 5%-10% kondisi kesehatan pada wanita usia subur, dan merupakan penyebab paling umum infertilitas anovulasi pada wanita dinegara-negara maju. Manivestasi klinis yang umum terjadi diantaranya:
  • ketidakteraturan siklus menstruasi
  • tanda-tanda kelebihan androgen seperti: hirsutisme, jerawat dan alopecia

SOPK berhubungan dengan kondisi kecauan pengaturan fungsi metabolisme penting dalam tubuh. Prevalensi diabetes melitus tipe 2 di Amerika Serikat 10 kali lebih besar terjadi pada wanita muda dengan SOPK dibandingkan dengan kelompok wanita normal. Gangguan toleransi glukosa dan diabetes melitus tipe 2 berkembang pada sekitar 30%-50% wanita usia 30 tahunan yang mengalami kegemukan dan SOPK. Prevalensi sindrom metabolik adalah sekitar 2-3 lebih banyak terjadi pada kelompok wanita dengan SOPK dibandingkan dengan kelompok wanita tanpa SOPK. Selain itu, meskipun tidak spesifik pada wanita dengan SOPK, namun studi menujukan bahwa wanita dengan oligomenorhea parah berpotensi 2 kali lebih tinggi mengalami infark miokard fatal. Oligomenore umum dijumpai pada wanita dengan SOPK.

Patofisiologi dan Efek Terapi


Karakteristik patofisiologi tentang SOPK tidak sepenuhnya dipahami, namun yang pasti melibatkan interaksi yang rumit antara gonadotropin, ovarium, androgen dan insulin. Elemen penting dari sindrom ini adalah adanya resistensi insulin. Pada mayoritas wanita yang mengalami sindrom ini, terlepas dengan atau tanpa adanya obesitas, memiliki bentuk resistensi insulin intrinsik. Sedangkan pada wanita dengan SOPK yang juga mengalami obesitas maka akan mengalami peningkatan beban resistensi insulin yang berhubungan dengan adiposanya.

SOPK

Resistensi insulin merupakankarakteristik dari SOPK yang tampaknya bertangung jawab pada terjadinya diabetes melitus dikemudian hari. Resistensi insulin juga mendasari adanya keterkaitan antara SOPK dengan faktor resiko kardiovaskuler seperti dislipidemia dan hipertensi, serta kekacauan anatomi dan fungsi kardiovaskuler.

Resistensi insulin dan kompensasi hiperinsulinemia juga memainkan peranan penting sebagai aspek lain dari sindrom ovarium polikistik, termasuk kelebihan androgen dan anovulasi. Insulin merangsang produksi androgen ovarium melalui pengaktifan reseptor homolognya. Ovarium wanita dengan polikistik tampaknya tetap sensitif terhadap insulin, atau bahkan mengalami hipersensitivitas, bahkan pada kondisi dimana jaringan target utama insulin seperti jaringan otot dan lemak telah resisten terhadap insulin. Selain itu, kondisi hiperinsulinemia menghambat produksi hormon seks hepatik terikat globulin, dan lebih lanjut akan meningkatkan sirkulasi testosteron bebas. Akhirnya, insulin menghambat ovulasi, baik secara langsung dengan mempengaruhi perkembangn folikel maupun secara tidak langsung dengan meningkatkan kadar androgen intraovarian atau dengan mengubah sekresi gonadotopin. Bukti lain yang menunjukan adanya pengaruh resistensi insulin terhadap sindrom ovarium polikistik adalah adanya sejumlah intervensi yang berhubungan dengan rendahnya level insulin yang beredar. Dimana intervensi yang mengakibatkan rendahnya kadar insulin yang beredar akan menyebabkan terjadinya:

  1. peningkatan frekuensi ovulasi atau menstruasi
  2. penurunan kadar testosteron serum
  3. kombinasi kedua hal diatas
Intrevensi tersebut dapat berupa:
  1. penghambatan pelepasan insulin (misal dengan penggunaan diazoxide atau oktreotid)
  2. peningkatan sensitivitas insulin yang dapat dilakukan dengan cara penurunan berat badan, atau terapi dengan metformin, troglitazon, rosiglitazon atau pioglitazon
  3. pengurangan penyerapan karbohidrat (misal dengan terapi akarbose)
Metformin adalah salah satu biguanid yang paling umum penggunaanya dalam terapi diabetes melitus tipen 2. Aksi utama dari metformin adalah dengan mengurangi produksi glukosa hepatik serta meningkatkan sensitivitas jaringan perifer terhadap insulin. Peningkatan sensitivitas insulin memberikan kontribusi pada peningkatan efektivitas terapi diabetes melitus dengan menggunakan metformin. Selain itu, metformin juga digunakan untuk terapi jangka panjang wanita dengan sindrom ovarium polikistik. Pada terapi wanita dengan SOPK, metformin akan memberikan efek berupa:
  • peningkatan ovulasi
  • memperbaiki siklus menstruasi
  • mengurangi level androgen serum
  • dan mungkin juga meningkatkan hirsuitisme

Bukti Klinis


Sebuah studi pada tahun 1996 telah melaporkan bahwa pemberian metformin pada wanita dengan SOPK terbukti menurunkan kadar insulin yang bersirkulasi yang berhubungan dengan kadarnya pada ovarium, aktivitas liyase dan sekresi androgen ovarium. Lebih lanjut diketahui bahwa pemberian metformin menyebabkan penurunan level insulin dan androgen puasa pada wanita dengan SOPK. 

Berkenaan dengan ovulasi, dalam sebuah studi pada tahun 1998 dilaporkan bahwa pretreatmen dengan metformin yang diteruskan dengan terapi dengan klomifen terbukti mampu meningkatkan ovulasi. Sedangkan studi lain menyatakan bahwa terapi metformin efektif meningkatkan frekuensi ovulasi. Penambahan terapi metformin pada terapi klomifen meningkatkan tingkat ovulasi kumulatif dibandingkan dengan terapi klomifen saja, namun tingkat kelahiran hidup pada kelompok pasien yang diterapi dengan klomifen plus metformin atau hanya klomifen adalah sebanding.

Berkenaan dengan diabetes, uji klinis yang dilakukan oleh  Indian Diabetes Prevention Programme (IDPP-1) dan U.S. Diabetes Prevention Program (DPP) telah menunjukan bahwa penggunaan metformin dapat menurunkan resiko relatif perkembangan penyakit diabetes melitus tipe 2 pada kelompok pasien yang awalnya telah mengalami toleransi glukosa. 

Penggunaan Klinis


Pendekatan terapi SOPK sangat tergantung pada kondisi pasien dan dokter yang menanganinya. Bagi sebagian wanita, masalah infertilitas adalah isu utama. Pasien dengan infertilitas sering kali diberikan terapi jangka pendek dengan klomifen, untuk menginduksi ovulasi. Sedangkan untuk pasien SOPK yang tidak sedang menginginkan kehamilan, terapi jangka panjang dengan kontrasepsi estrogen-progestin dengan atau tanpa terapi antiandrogen seperti spironolakton merupakan terapi andalan. Pendekatan terapi tersebut terbukti efektif untuk tujuan terapi SOPK, termasuk dalam upaya mengurang kelebihan efek kelebihan androgen, memulihkan keteraturan menstruasi dan mencegah hiperplasia endometrium. Efek kelebihan androgen dapat berupa:
  • Hirsutisme: munculya rambut pada bagian tubuh perempuan yang biasanya tidak ditumbuhi rambut seperti dibawah dagu atau diatas bibir.
  • Kebotakan pada pria
  • Munculnya jerawat
Ketidakteraturan metabolisme trkait dengan SOPK, kiranya diperlukan suatu upaya terapi jangka panjang yang tidak hanya difokuskan pada upaya mengurangi efek androgen namun juga untuk mengendalikan kondisi resistensi insulin sehingga dapat mencegah perkembangan penyakit diabetes melitus tipe 2 dan penyakit kardiovaskuler. Pengaruh kontrasepsi estrogen-progestin terhadap toleransi glukosa masih kontroversial. Sebuah studi terbatas jangka pendek menunjukan bahwa penggunaan kontrasepsi estrogen-progestin memperburuk kondisi resistensi insulin dan toleransi glukosa pada wanita dengan SOPK. Penggunaan agen kontrasepsi tersebut juga dikaitkan dengan peningkatan resiko penyakit kardiovaskuler pada populasi wanita pada umumnya, dan resikonya pada wanita dengan SOPK belum diketahui.

Metformin telah secar luas diketahui mampu meningkatkan sensitivitas insulin serta memperlambat perkembangan penyakit diabetes melitus tipe 2 pada kelompok pasien dengan gangguan toleransi glukosa. Meskipun belum diketahui secara jelas apakah metformin dapat mengurangi resiko penyakit kardiovaskuler pada pasien dengan SOPK, namun penggunaan metformin ini telah terbukti memberikan perlindungan terhadap kardiovaskuler yang dikibatkan oleh resistensi insulin dan kelebihan insulin. Selain itu metformin juga dapat mengurangi sirkulasi androgen dan lebih lanjut mampu meningkatkan ovulasi serta memperbaiki siklus menstruasi, maka meskipun FDA belum menyetujui penggunaan metformin pada terapi SOPK, namun dalam prakteknya metformin sering digunakan untuk tujuan tersebut.

Untuk meminimalkan efek samping, terapi metformin sebaiknya dimulai pada dosis rendah dan dikonsumsi bersama makanan. Dosis kemudian ditingkatkan. Dalampraktek biasanya dosis dimulai dengan 500 mg metformin sekali sehari dan biasanya bersamaan dengan makan malam, selama satu minggu, dosis kemudian ditingkatkan menjadi 500 mg dua kali sehari, pada saat sarapan dan makan malam, selama 1 minggu, dosis kemudian ditingkatkan lagi yaitu 500 mg pada saat sarapan dan 1000 mg pada saat makan malam, selama 1 minggu, dan akhirnya dosis ditingkatkan menjadi 1000 mg dua kali sehari yaitu pada saat sarapan dan makan malam. Dari studi belum diketahui dosis optimal metformin untuk terapi SOPK, namun dengan menggunakan ukuran hemoglobin terglikasi, dosis optimal metformin adalah 2000 mg perhari.

Metformin tidak boleh digunakan pada wanita dengan gangguan fungsi ginjal, disfungsi hati, gagal jantung kongestif berat, dan adanya riwayat penyalahgunaan alkohol. Pemberian metformin pada wanita muda dengan SOPK dikontraindikasikan. Terapi dengan metformin ini dapat diulang selama penggunaannya tidak dikontraindikasikan. 

Pasien yang sedang diterapi dengan metformin juga seharusnya melakukan diet penurunan berat badan dan olahraga secara teratur. Intervensi tersebut akan sangat bermanfaat sebagai upaya pencegahan perkembangan diabetes melitus. Selain itu, penurunan berat badan juga akan meningkatkan kemungkinan terjadinya ovulasi karena adanya peningkatan sensitivitas insulin.

Pasien juga sebaiknya memantau keteraturan menstruasinya, sehingga dapat diketahui kondisi kesuburan pasien tersebut. Kontrasepsi oral dan agen antiandrogen sebaiknya tidak diberikan pada awal terapi dengan metformin, karena dapat mempengaruhi siklus menstruasinya atau level androgen serum dapat mengacaukan penilaian terhadap efikasi metformin. Eflornithine topikal dapat diresepkan untuk mengatasi hirsutisme pada wajah.

Tindk lanjut tindakan dapat dilakukan pada 3 dan 6 bulan sejak dimulainya terapi. Sikulus menstruasi dan kadar testosteron serum harus selalu dipantau pada setiap kali kunjungan ke dokter. Pada setiap menstruasi harus dipastikan ada tidaknya ovulasi dengan cara mengukur kadar progesteron serum pada 7 hari sebelum onset menstruasi berikutnya. Kadar progesteron serum yang lebih dari 40 ng/ml menunjukan adanya fase luteal dan ovulasi.

Setelah 6 atau 9 bulan terapi, dilakukan penilaian efektivitas metformin. Jika siklus menstruasi dan ovulasi mengalami perbaikan maka terapi dapat dilanjutkan. Bagi beberapa wanita, pengobatan dengan metformin saja sudah mencukupi. Namun dalam beberapa kasus dimana hirsutisme sangat mengganggu maka agen kontrasepsi oral, antiandrogen, atau keduanya dapat ditambahkan pada terapi metformin.