Kamis, 27 September 2012

KEMOTERAPI PENGINDUKSI MUAL DAN MUNTAH



Perawatan pendukung terhadap pasien yang tengah menjalani terapi antineoplastik telah berkembang sedemikian rupa. Mual dan muntah merupakan salah satu manivestasi klinis penting yang sering diakibatkan pada penggunaan agen antineoplastik (kemoterapi). Penanganan mual dan muntah akibat induksi kemoterapi tersebut menjadi sangat penting, guna menjamin kepatuhan dan keberlanjutan dan akhirnya keberhasilan terapi yang diberikan pada pasien. Ketersediaan agen-agen antiemetik baru memiliki kontribusi perbaikan substansial terhadap kendali kondisi emetik tersebut. Tulisan ini akan fokus mengulas masalah pencegahan, penanganan dan intervensi farmakologis yang dapat diberikan pada pasien-pasien yang sedang menjalani kemoterapi.

****************
Latar Belakang

Kemungkinan berkembangnya mual dan muntah pada pasien yang sedang menjalani kemoterapi sangat tergantung pada berbagai faktor. Jenis kelamin dan usia merupakan dua faktor yang sangat berperan dalam hal ini. Pasien wanita dengan usia yang lebih muda merupakan kelompok pasien beresiko tinggi terhadap mual dan muntah akibat kemoterapi. Selain itu pasien yang telah menunjukan mual dan muntah pada masa prekemoterapi, berpotensi mendapati mual dan muntah yang parah setelah menjalani kemoterapi. Sebaliknya pasien dengan riwayat konsumsi alkohol tinggi memiliki resiko mual dan muntah akibat kemoterapi yang lebih rendah. Dalam terapi pendukung terhadap kemoterapi ini, faktor dosis dan tingkat emetogenisitas juga harus diperhatikan agar dapat memberikan terapi pendukung yang tepat dan efektif.

Berdasarkan kemampuannya dalam menginduksi mual dan muntah (tingkat emetogenisitas) kemoterapi dibedakan kedalam 4 kategori sebagai berikut:
Kemoterapi dengan tingkat emetogenisitas minimal (<10%)
  • Bevacizumab
  • Bleomycin
  • Busulfan
  • Cladribine
  • Fludarabine
  • Vinblastine
  • Vincristine
  • Vinorelbine
Kemoterapi dengan tingkat emetogenisitas rendah (10-30%)
  • Bortezomib
  • Cetuximab
  • Cytarabine (≤100 mg/m2 of body-surface area)
  • Docetaxel
  • Etoposide
  • Fluorouracil
  • Gemcitabine
  • Ixabepilone
  • Lapatinib
  • Methotrexate
  • Mitomycin
  • Mitoxantrone
  • Paclitaxel
  • Pemetrexed
  • Temsirolimus
  • Topotecan
  • Trastuzumab
Kemoterapi dengan tingkat emetogenisitas sedang (31-90%)
  • Carboplatin
  • Cyclophosphamide (≤1.5 g/m2)
  • Cytarabine (>1 g/m2)
  • Daunorubicin
  • Doxorubicin
  • Epirubicin
  • Idarubicin
  • Ifosfamide
  • Irinotecan
  • Oxaliplatin
Kemoterapi dengan tingkat emetogenisitas tinggi (>90%)
  • Carmustine
  • Cisplatin
  • Cyclophosphamide (>1.5 g/m2)
  • Dacarbazine
  • Mechlorethamine
  • Streptozocin
Faktor lain yang juga harus diperhatikan dalam penentuan terapi mual dan muntah yang terinduksi kemoterapi adalah kondisi klinis mual dan muntah yang dialami pasien. Dalam hal ini konsep akut lebih penting untuk dipertimbangkan dibandingkan kondisi emesis (mual) tertunda yang dapat diidentifikasi dengan pemberian cisplatin. Hampir semua pasien akan mengalami mual dan muntah sekitar 1-2 jam setelah pemberian kemoterapi dengan cisplatin. Biasa emesis mereda setelah 18-24 jam dan akan mencapai puncak kekambuhan kedua setelah 48-72 jam. Berdasarkan model cisplatin, emesis yang terjadi dalam waktu 24 jam setelah pemberian kemoterapi disebut sebagai emesis akut, sedangkan emesis yang terjadi setelah 24 jam kemudian disebut emesis tertunda. Selain cisplatin, cyclophosphamide, carboplatin, dan anthracyclines juga dapat menimbulkan emesis tertunda.

Neurofisiologi Kemoterapi yang Menginduksi Mual dan Muntah

Refleks muntah hadir pada berbagai spesies hewan mulai dari ikan hingga mamalia yang lebih tinggi sebagai respon adanya racun yang tertelan. Mekanisme muntah ini sangat kompleks. Pada manusia, respon muntah tidak selalu didahului dengan munculnya sensasi tidak menyenangkan yang disebut mual. Sistem syaraf pusat memainkan peranan penting dalam pengaturan fisiologi mual dan muntah ini. Sistem saraf pusat juga memainkan peranan utama dalam menghasilkan sinyal eferen yang dikirimkan ke sejumlah organ dan jaringan yang akhirnya menghasilkan muntah.

Mekanisme
Beberapa mekanisme mual dan muntah akibat induksi kemoterapi dijelaskan secara bertahap dalam 25 tahun terakhir ini. Tiga komponen kunci termasuk daerah-daerah di otak belakang dan aferen vagal perut telah diidentifikasi. Studi yang telah dirintis oleh Wang dan Borison dalam 60 tahun terakhir telah mengusulkan konsep pusat muntah yang terletak dimedula. Sejumlah neuron diarea medula saling berinteraksi dan mengkoordinasikan refleks emetik.

Dalam sebuah studi terhadap hewan percobaan ditemukan adanya dua sumber primer input/masukan aferen yang masuk ke daerah otak belakang dan memulai terjadinya refleks muntah setelah terpapar kemoterapi. Aferen vagal perut memiliki relevansi yang besar dalam hal ini. Berbagai reseptor termasuk 5-hydroxytryptamine3 (5-HT3), neurokinin-1, dan kolesistokinin-1 terletak pada area aferen vagal perut tersebut. Reseptor-reseptor tersebut terletak didekat sel-sel enteroendokrin mukosa gastrointestinal pada usus kecil proksimal yang berisi sejumlah mediator lokal seperti 5-hydroxytryptamine (5-HT), substansi P, dan kolesistokinin. Agen antineoplastik dapat menginduksi mual dan muntah baik secara langsung pada mukosa maupun melalui darah, merangsang sel-sel enteroendokrin untuk merilis sejumlah mediator yang kemudian mengikat reseptor yang sesuai pada serat vagal yang saling berdekatan yang menyebabkan stimulus pada aferen yang berakhir pada punggung batang otak, terutama pada inti traktus solitarius yang kemudian mengaktifkan pusat generator (pusat mual). 5-HT dianggap sebagai mediator yang paling bertanggung jawab pada munculnya respon mual dan muntah.



Tulisan terkait
Terapi Emesis Akibat Penggunaan Kemoterapi



Sumber
Artikel asli dapat didownload disini

Senin, 24 September 2012

REVIEW JURNAL 1



Judul Studi
"Placebo-Controlled Phase 3 Study of Oral BG-12 or Glatiramer in Multiple Sclerosis"

Investigator
  • Robert J. Fox, M.D.
  • David H. Miller, M.D.
  • J. Theodore Phillips, M.D., Ph.D
  • Michael Hutchinson, F.R.C.P
  • Eva Havrdova, M.D.
  • Mariko Kita, M.D
  • Minhua Yang, M.S
  • Kartik Raghupathi, M.S.
  • Mark Novas, M.D
  • Marianne T. Sweetser, M.D., Ph.D
  • Vissia Viglietta, M.D., Ph.D
  • Katherine T. Dawson, M.D.
Sponsor
Biogen Idec; CONFIRM ClinicalTrials.gov number, NCT00451451

Nama Obat
BG-12 atau dimetil fumarat dan glatiramer asetat

Tujuan Studi
  • Mengkaji efektivitas BG-12 atau dimetil fumarat dan glatiramer asetat pada pasien dengan multiple sclerosis, baik dari segi efikasi primer, sekunder maupun tersier.
  • Menilai keamanan obat-obat tersebut
Metode Dan Desain
Studi Pengawasan
Studi ini terlebih dahulu telah disetujui oleh Komite Etik daerah dan pusat dan dilakukan sesuai dengan hasil konferensi internasional tentang pedoman Good Clinical Practice dan Deklarasi Helsinki. Komite penasehat berpartisipasi dalam desain penelitian dan pengawasan perilaku penelitian, komite mereview data dan monitoring keamanan dan meninjau rasio manfaat-resikonya, dan nerologis independen mengevaluasi komite tersebut. Data dikumpulkan oleh para peneliti dan dianalisis oleh sponsor (Biogen Idec). Data tersebut tetap dirahasiakan selama penelitian. Semua penulis terlibat dalam semua tahap pengembangan naskah dan menjamin keakuratan dan kelengkapan data. 

Pasien
Pasien yang dilibatkan dalam studi ini ditentukan menurut kriteri McDonald. Kriteria pasien ini dijelaskan dalam kriteria inklusi dan ekslusi.

Desain Studi
  • Pasien yang tersebar di 200 lokasi yang berbeda dari 28 negara yang diacak/randomisasi dengan perbandingan 1:1:1:1, masing-masing untuk menerima plasebo oral, BG-12 sehari 2x240 mg, BG-12 sehari 3x240 mg, dan suntikan subkutan harian glatiramer asetat 20 mg selama 96 minggu.
  • Pasien yang menerima glatiramer asetat menyadari/mengerti tindakan yang dilakukan terhadap mereka.
  • Semua manajemen studi dan personil, peneliti, dan pasien tidak menyadari tugas mereka pada kelompok plasebo dan BG-12; neurologis memeriksa, teknisi MRI membaca sinyal MRI, dan anggota neurologis independen mengevaluasi komite yang tidak menyadari tugas mereka masing-masing. Masing-masing bagian dari komite melakukan tugasnya secara terpisah, sehingga memungkinkan penilaian yang "buta/kabur" terhadap semua kelompok uji termasuk kelompok glatiramer asetat.
  • Untuk memastikan bahwa penilaian pada kelompok plasebo dan BG-12 tidak diketahui maka pasien tidak diperbolehkan mengambil obat dalam kurun waktu 4 jam sebelum kunjungan studi.
  • Pasien diperkenankan beralih ke pengobatan alternatif jika mereka memiliki 2 kali kekambuhan dan telah menyelesaikan waktu 48 minggu studi pengobatan atau jika mereka telah mengonfirmasi kemajuan kecacatan.
Prosedur dan Titik Akhir Studi
  • Penilaian neurologis termasuk EDSS terstandar dilakukan setiap 12 minggu atau setiap kali dicurigai adanya kekambuhan (diketahui melalui kunjungan terjadwal)
  • Scan MRI dilakukan pada minggu ke 24, 48 dan 96 dan dievaluasi secara buta di pusat pembacaan MRI
  • Titik akhir kemanjuran primer adalah tingkat kekambuhan tahunan selama 2 tahun, berdasarkan kekambuhan protocoldefined (gejala neurologis baru atau berulang yang tidak berhubungan dengan demam atau infeksi, berlangsung sekurang-kurangnya 24 jam, disertai dengan adanya temuan neurologis baru, dan terpisah dari onset kekambuhan lainnya yang dikonfirmasi dalam 30 hari) yang dievaluasi oleh neurologis independen.
  • Titik akhir kemanjuran sekunder yaitu jumlah lesi baru atau perbesaran lesi pada T2-weighted images, jumlah lesi baru pada T1-weighted images, proporsi pasien dengan kekambuhan, waktu kemajuan kecacatan, masing-masing selama 2 tahun. Kemajuan kecacatan didefinisikan sebagai peningkatan skor EDSS setidaknya 1,0 poin pada pasien dengan skor dasar 1,0 atau lebih, atau setidaknya 1,5 poin pada pasien dengan skor dasar 0 yang dikonfirmasi setidaknya 12 minggu kemudian. 
  • Titik akhir tersier yaitu membandingkan rasio manfaat-resiko dari BG-12 atau glatiramer asetat terhadap plasebo dengan menggunakan data peningkatan lesi gladolinium selama 2 tahun.
Analisis Statistik
  • Diperkirakan bahwa sampel dari 308 pasien perkelompok akan memberikan kekuatan 84% pada kedua sisi dengan level signifikansi 0,05 untuk mendeteksi 25% penurunan relatif tingkat kekambuhan tahunan dalam 2 tahun, dengan asumsi tingkat kekambuhan tahunan pada plasebo adalah 0,61.
  • Sebuah prosedur pengujian sekuensial digunakan untuk mengontrol semua tipe kesalahan karena beberapa perbandingan.
  • Titik akhir efikasi primer dan sekunder dianalisis dengan metode intention-to-treat (ITT) population 
  • Tingkat kekambuhan tahunan (jumlah pasien kambuh dibagi jumlah seluruh pasien) dianalisis dengan menggunakan metode regresi binomial negatif yang dilakukan penyesuaian terhadap skor dasar EDSS, usia, lokasi atau wilayah pasien (kondisi lingkungan geografis dan keterjangkauan sarana kesehatan turut mempengaruhi), dan jumlah kekambuhan dalam 12 bulan sebelum studi.
  • Regresi binomial negatif juga digunakan untuk menganalisis jumlah lesi baru pada T1-weighted images dan perbesaran lesi pada T2-weighted images yang terjadi dalam 2 tahun.
  • Secara umum titik akhir primer dan sekunder didasarkan pada semua data yang diamati.

Kriteria Subyek
Kriteria Inklusi
  • Pasien yang didiagnosa multiple sclerosis (hilang-timbul)
  • Usia 18-55 tahun
  • Memiliki skor 0-5 pada Expanded Disability Status Scale (EDSS, Skor EDSS berkisar antara 0-10 dimana skor yang lebih tinggi menunjukan kecacatan yang lebih besar)
  • Sekurang-kurangnya pernah mengalami sekali kekambuhan yang didokumentasikan secara klinis selama 12 bulan terakhir atau setidaknya terjadi setidaknya 1 peningkatan lesi godalinium pada 0-6 minggu sebelum randomisasi
Kriteria Ekslusi
  • Kondisi adanya bentuk progresif lain selain multiple sclerosis, seperti penyakit-penyakit yang signifikan secara klinis lainnya, atau adanya paparan glatiramer asetat sebelumnya atau obat-obat yang kontraindikasi
Hasil Studi
Pasien
  • Dari 1430 pasien yang menjalani randomisasi, sejumlah 1417 pasien masuk dalam kategori ITT. 
  • Sekitar 29% paien telah menerima terapi modifikasi penyakit yang disetujui sebelum dilakukannya terapi
  • Tingkat penyelesaian studi pada semua kelompok adalah sebesar 80%, dengan waktu rata-rata studi masing-masing sebesar 86,1; 84,4; 84,1 dan 88,5 pada kelompok plasebo, BG-12 2xsehari, BG-12 3xsehari dan glatiramer asetat. 
  • Tingkat penghentian studi lebih tinggi pada kelompok plasebo dibanding kelompok lainnya (36%)
Khasiat
  • Tingkat kekambuhan multiple sclerosis menurun secara signifikan pada kelompok pengguna BG-12 2xsehari, atau BG-12 3xsehari, tingkat kekambuhan masing-masing sebesar 0,22 dan 0,20 dibandingkan dengan kelompok plasebo tingkat kekambuhannya masing-masing 44% dan 51%.
  • Sedangkan pada kelompok glatiramer asetat tingkat kekambuhannya sebesar 0,29.
  • Dibandingkan dengan plasebo, BG-12 2xsehari, BG-12 3xsehari dan glatiramer asetat secara signifikan mengurangi resiko kekambuhan sebesar 34% (P=0,002), 45% (P<0,001) dan 29% (P=0,01)
  • Estimasi Kaplan-Maier memperkirakan kemungkinan kekambuhan dalam 2 tahun adalah 41%, 29%, 24% dan 32% masing-masing pada kelompok plasebo, BG-12 2xsehari, BG-12 3xsehari dan glatiramer asetat
  • Kemajuan kecacatan tidak berkurang secara signifikan baik pada kelompok BG-12 2xsehari, BG-12 3xsehari maupun glatiramer asetat
  • Dibandingkan dengan plasebo terapi BG-12 2xsehari, BG-12 3xsehari atau glatiramer asetat secara signifikan mampu mengurangi menculnya lesi baru hyperintense atau pembesaran lesi hyperintense yang telah ada yang terlihat dari T2-weighted images pada masa 2 tahun dengan nilai masing-masing 71%, 73% dan 54%. Sedangkan pengurangan timbulnya lesi baru hypointense masing-masing sebesar 57% (p<0,001), 65% (p<0,001) dan 41% (p=0,002)
  • Prosentase pasien yang terbebas dari lesi hyperintense baru atau pembesaranya berdasarkan data T2-weighted images sebesar 27%, 31%, 24% dan 12%, sedangkan pembesaran atau timbulnya lesi baru hypointense berdasarkan data T1-weighted images adalah sebesar 39%, 44%, 34% dan 21% masing-masing pada kelompok terapi BG-12 2xsehari, BG-12 3xsehari, glatiramer asetat dan plasebo.
  • Kemungkinan gadolinium meningkatkan lesi juga menurun secara signifikan masing-masing sebesar 74%, 65% dan 61% pada kelompok BG-12 2xsehari, BG-12 3xsehari dan glatiramer asetat.
Keuntungan dan Resiko BG-12 dibanding Glatiramer Asetat
  • Dari hasil studi ini diperkirakan efek pengobatan dari dosis BG-12 sebanding atau lebih besar dari glatiramer asetat pada titik akhir kemanjuran/khasiatnya. 
Keamanan
  • Kejadian efek samping pada semua kelompok studi adalah hampir sama
  • Efek samping yang sering dilaporkan pada penggunaan BG-12 dibandingkan dengan plasebo adalah flushing, gangguan gastrointestinal (diare, mual, nyeri perut bagian atas) dan eritema. Flushing sebesar 35% pada kelompok studi BG-12 2xsehari, 28% pada kelompok BG-12 3xsehari, 6% pada plasebo dan 3% pada glatiramer asetat. Insiden gangguan gastrointestinal sebesar 36% pada kelompok BG-12 2xsehari, 41% pada BG-12 3xsehari, 26% pada plasebo dan 15% pada glatiramer asetat.
  • Flushing dan gangguan gastrointestinal ringan hingga sedang terjadi pada sebagian besar pasien dan paling banyak terjadi pada bulan pertama terapi, angka kejadiannya menurun pada bulan-bulan berikutnya.
  • Sedangkan efek yang paling sering terjadi pada kelompok glatiramer asetat adalah terkait dengan tindakan injeksinya yaitu berupa nyeri pada tempat injeksi (8% pada kelompok glatiramer asetat, dan 0% pada kelompok plasebo) dan eritema (9% pada kelompok glatiramer asetat an 0% pada kelompok plasebo)
  • Infeksi dilaporkan sebesar 56% pada kelompok BG-12 dan 50% pada kelompok glatiramer asetat dan plasebo. Infeksi yang sering terjadi adalah nasofaringitis, infeksi saluran kemih, infeksi saluran pernafasan atas, bronkhitis, sinusitis dan gastroenteritis. Kejadian infeksi berat relatif jarang terjadi (1-2%) pada semua kelompok studi, dan tidak ada laporan tentang terjadinya infeksi oportunistik.
  • Kejadian efek samping yang mengindikasikan perlunya penghentian terapi secara keseluruhan hampir sama (10% pada kelompok plasebo, 12% pada kelompok BG-12, dan 10% pada kelompok glatiramer asetat).
  • Tingkat kejadian efek merugikan yang serius adalah sama pada semua kelompok uji. Tidak ada keganasan neoplasma pada kelompok BG-12, 1 keganasan pada kelompok plasebo (neoplasma payudara) dan 4 keganasan pada kelompok glatiramer asetat (basal-cell carcinoma, cervical carcinoma, endometrial cancer, and thyroid cancer)
  • Dalam hasil uji laboratorium, rata-rata jumlah sel darah putih dan limfosit menurun pada tahun pertama pada kelompok studi BG-12 dan kemudian berangsur kekisaran normal. Penurunan sel darah putih dan limfosit sebesar 12% dan 32% masing-masing pada kelompok BG-12 2xsehari dan BG-12 3xsehari. 1 pasien pada kelompok BG-12 3xsehari dihentikan terapinya karena penurunan sel darah putih yang terlalu besar.
Kesimpulan
  • Pada pasien dengan multiple sclerosis timbul-tenggelam penggunaan BG-12 dan glatiramer asetat secara signifikan mengurangi tingkat kekambuhan dan memperbaiki profil neuroradiologik relatif dibandingkan plasebo.



Artikel asli dapat didownload disini

Rabu, 19 September 2012

TERAPI MULTIPLE MYELOMA



Terapi multiple myeloma tergantung pada kondisi penyakit itu sendiri. Myeloma simptomatik (aktif) memerlukan penanganan segera, sedangkan myeloma asimptomatik hanya memerlukan pemantauan klinis, karena kemoterapi pada myeloma asimptomatik telah terbukti tidak memberikan keuntungan apa pun. Uji coba dan investigasi saat ini lebih difokuskan untuk mengamati dan mengevaluasi kemampuan imunomodulator dalam menghambat perkembangan penyakit. Strategi pengobatan myeloma dipertimbangkan dengan memperhatikan faktor usia pasien.

Data terbaru mendukung dilakukannya terapi inisiasi dengan induksi thalidomide, lenalidomide, atau bortezomib ditambah dengan transplantasi stem-cell hematopoetik untuk pasien usia kurang dari 65 tahun yang tidak mengalami disfungsi hati, jantung, ginjal atau pun paru-paru. Transplantasi stem-cell dengan pengurangan regimen obat harus dipertimbangkan pada pasien dengan usia lebih tua atau adanya beberapa faktor resiko secara bersamaan. Terapi konvensional yang dikombinasikan dengan thalidomide, lenalidomide, atau bortezomib harus diberikan pada pasien dengan usia lebih dari 65 tahun. Pendekatan terapi yang kurang intensif bertujuan untuk membatasi efek samping obat atau mencegah terapi lain untuk mengatasi efek samping obat utama pada pasien yang berusia lebih dari 75 tahun atau lebih muda namun memiliki beberapa faktor resiko secara bersamaan. Dalam hal ini usia biologis mungkin berbeda dengan usia kronologis, dan hadirnya beberapa faktor resiko turut menentukan dalam pemilihan terapi.

Strategi pengobatan harus mencakup penggunaan regimen penginduksi yang memberikan respon lengkap tingkat tinggi kemudian diikuti dengan dosis pemeliharaan. Pendekatan ini mengkombinasikan berbagai upaya pengurangan tumor secara maksimal dengan pengobatan yang terus-menerus sehingga pertumbuhan tumor dapat ditekan sedemikian rupa. Tingkatan respon, baik respon lengkap maupun pada bagian tertentu dikaitkan dengan peningkatan hasil jangka panjang.

Respon lengkap didefinisikan sebagai penghapusan penyakit yang terdeteksi pada pemeriksaan rutin. Penilaian atas adanya respon lengkap ini didasarkan pada kriteria-kriteria yang ketat sebagai berikut:
  • Penetapan kadar rantai cahaya imunoglobulin bebas dalam serum
  • Penetapan kadar sel myeloma sumsum tulang pada pengukuran aliran sitometri multiparameter
  • Identifikasi sel tumor sisa melalui penetapan kadar reaksi rantai polimerase (polymerasechain-reaction assay)
  • Eksplorasi untuk menentukan ada tidaknya sisa penyakit
Kriteria-kriteria tersebut merupakan faktor prognostik yang penting dalam identifikasi myeloma.

Dalam sebuah analisis retrospektif terhadap 1175 pasien yang menerima terapi kombinasi melphalan dan prednison dan bortezomib atau thalidomide, 75% pasien yang mendapat respon lengkap mengalami penurunan resiko kematian setelah 29 bulan dibandingkan dengan mereka yang tidak melakukan terapi ini.

Terapi Induksi pada Pasien yang Memungkinkan Menerima Transplantasi

Pasien baru yang terdiagnosa multiple myeloma yang memungkinkan menerima transplantasi dapat menerima terapi induksi dengan 3 regimen atau 2 regimen obat sebagai berikut:
  • Tiga regimen terdiri dari bortezomib-deksametason ditambah siklophospamide atau doksorubisin atau lenalidomide atau thalidomide selama 3-6 siklus. Atau
  • Dua regimen terdiri dari Bortezomib-deksametason selama 3-6 siklus atau lenalidomide-deksametason selama 4 siklus.
Terapi induksi tersebut kemudian dilanjutkan dengan transplantasi autologous stem-cell dan terapi pemeliharaan dengan thalidomide atau lenalidomide.

Kombinasi terapi deksametason ditambah thalidomide, bortezomib atau lenalidomide telah banyak digunakan sebagai regimen terapi induksi sebelum transplantasi autologous stem-cell dan terbukti menghasilkan respon yang hampir lengkap masing-masing sebesar 8%, 15% dan 16%. Tren terbaru dengan mengkombinasikan bortezomib-deksametason ditambah doksorubisin, siklophosphamide, thalidomide atau lenalidomide tebukti meningkatkan respon hingga hampir masing-masing sebesar 7%, 39%, 32% dan 52%.

Program terapi total merupakan program terapi dengan memanfaatkan semua agen induksi yang tersedia, diikuti dengan 2 siklus terapi dosis tinggi (melphalan 200 mg per meter persegi) dan reinfusi stem-cell darah perifer autologous (tandem transplantasi). Transplatasi tunggal tampaknya masih menjadi pilihan bagi sebagian besar pasien karena tingkat respon yang tinggi dapat dicapai dengan regimen induksi yang mencakup thalidomide, lenalidomide atau bortezomib dan mungkin respon dapat meningkat pasca transplantasi melalui pemberian dosis pemeliharaan.

Terapi Induksi pada Pasien yang Tidak Memungkinkan Transplantasi

Dalam sebuah meta-analisis yang membandingkan melphalan-prednison dengan atau tanpa thalidomide menunjukan bahwa penambahan thalidomide meningkatkan angka harapan hidup rata-rata 6,6 bulan. Dalam sebuah studi yang lain, terapi kombinasi melphalan, prednison dan bortezomib meningkatkan respon lengkap secara signifikan dan angka harapan hidup dibandingkan dengan penggunaan melphalan atau prednison tunggal. Kombinasi terapi melphalan-prednison ditambah thalidomide atau bortezomib kini dianggap sebagai terapi standar perawatan pasien yang tidak memungkinkan menerima transplantasi.

Terapi Konsolidasi dan Pemeliharaan

Terapi konsolidasi (2-4 siklus kombinasi terapi setelah terapi induksi) dan terapi pemeliharaan (terapi terus-menerus dengan agen tunggal hingga penyakit menunjukan perkembangan) digunakan secara luas, meskipun tidak ada pedoman spesifik dalam hal ini.

http://ruangdiskusiapoteker.blogspot.com/2012/09/multiple-myeloma.html

Senin, 17 September 2012

MULTIPLE MYELOMA



Multiple myeloma adalah penyakit gangguan plasma sel neoplastik yang ditandai dengan proliferasi klonal dari sel plasma ganas disumsum tulang mikro, protein monoklonal dalam darah atau urin dan disfungsi organ-organ terkait. Penyakit ini mencakup sekitar 1% dari seluruh penyakit neoplastik dan sekitar 13% dari kanker darah (hematologi). Dinegara-negara barat, insiden penyakit ini adalah sebesar 5,6 kasus dari setiap 100.000 penduduk. Median usia yang terdiagnosa multiple myeloma adalah sekitar 70 tahun, 37% diantaranya lebih muda dari 65 tahun, 26% berusia antara 65-74 tahun, dan 37% lainnya berusia 75 tahun atau lebih. Perkembangan terbaru, penemuan agen seperti thalidomide, lenalidomide, dan bortezomib telah mengubah angka harapan hidup pasien secara keseluruhan.

PATOGENESIS


Gambar 1
Patogenesis Multiple Myeloma

Pada gambar diatas dapat diketahui bahwa:
  1. Langkah awal terjadi pada abnormalitas kromosom (translokasi rantai berat imunoglobulin atau trisomi) yang masuk kedalam sel plasma multiple myeloma dan dalam monoclonal gammopathy of undetermined clinical significance (MGUS).
  2. Translokasi sekunder melibatkan MYC (8q24), MAFB (20q12), dan IRF4 (6p25) yang umum pada multiple myeloma namun jarang pada MGUS.
  3. Mutasi RAS atau FGFR3, disregulasi MYC, penghapusan p18, atau kehilangan atau mutasi pada TP53 hanya ditemukan pada multiple myeloma dan memainkan peran kunci dalam perkembangan tumor dan resistensi obat.
  4. Perubahan dan ekspresi gen, khususnya up-regulation pada faktor transkripsi. Perubahan molekul sel plasma, interaksi antar sel-sel dan sumsum tulang yang abnormal yang memicu perkembangan penyakit lebih lanjut.
Adanya abnormalitas genetik mengubah ekspresi adhesi molekul dan respon terhadap rangsangan mikro pada sel myeloma. Interaksi antara sel myeloma dan sumsum tulang atau matriks protein ekstrseluler yang dimediasi reseptor permukaan sel (misal: integrins, cadherins, selectins, dan cell-adhesion molecules) menyebabkan peningkatan pertumbuhan tumor, migrasi dan resistensi obat. Adhesi sel myeloma pada hematopoetik dan sel stroma menginduksi sekresi sitokin dan faktor pertumbuhan, termasuk interleukin-6, vascular endothelial growth factor (VEGF), insulin seperti faktor pertumbuhan 1, sejumlah anggota faktor nekrosis tumor, transformasi faktor β1, dan interleukin-10. Sitokin dan faktor pertumbuhan dihasilkan dan disekresikan oleh lingkungan mikro sumsum tulang, termasuk sel myeloma, dan diatur oleh autokrin dan loop parakrin.

Gambar 2
Interaksi antara sel-sel plasma dan sumsum tulang pada multiple myeloma

Adhesi sel myeloma pada matriks protein ekstraseluler (misal: kolagen, fibronektin, laminin dan vitronektin) memicu peningkatan protein yang mengatur siklus sel dan protein antiapoptik. Lesi tulang dapat terjadi karena ketidakseimbangan antara osteoblas dan osteoklas. Penghambatan jalur Wnt menekan osteoblas, sedangkan amplifikasi dari jalur RANK dan aksi dari protein inflamasi makrofag 1α (MIP 1α) mengaktifkan osteoklas. 

Aktivitas antimyeloma dari inhibitor proteasome dan obat imunomodulator muncul muncul akibat gangguan pada berbagai jalur sinyal yang mendukung pertumbuhan, proliferasi, dan kelangsungan hidup sel myeloma. Proteasome menghambat berbagai jalur apoptosis termasuk induksi pada respon stres retikulum endoplasma dan melalui penghambatan faktor nuklir kB (NF-kB), sinyal yang mengatur angiogenesis, sinyal sitokin dan dan adhesi sel dalam lingkungan mikro. Obat imunomodulator merangsang apoptosis dan menghambat angiogenesis, adhesi, dan sirkuit sitokin, selain itu juga merangsang kekebalan tubuh dengan meningkatkan respon imun terhadap sel myeloma melalui sel T dan pembunuh alami pada host.

PRESENTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS

Diagnosis myeloma didasarkan pada kehadiran sekurang-kurangnya 10% sel plasma sumsum tulang klonal dan protein monoklonal dalam serum atau urin. Pada pasien myeloma nonsekretorik sejati, diagnosis didasarkan pada adanya 30% sel plasma sumsum tulang monoklonal atau biopsyproven plasmacytoma. Myeloma diklasifikasikan sebagai simptomatik atau asimptomatik, tergantung pada ada atau tidaknya myeloma terkait organ atau disfungsi jaringan, termasuk hiperkalsemia, insufisiensi ginjal, anemia dan penyakit tulang. Anemia terjadi pada sekitar 73% pasien pada saat awal diagnosis myeloma. Lesi tulang berkembang pada sekitar 80% pasien dan 58% pasien diantaranya mengeluhkan nyeri tulang. Penurunan fungsi ginjal terjadi pada sekitar 20-40% pasien yang baru terdiagnosis, kerusakan ini terjadi akibat kerusakan langsung pada tubular, kelebihan beban protein, dehidrasi, hiperkalsemia dan penggunaan obat-obatan. Resiko infeksi meningkat pada kondisi penyakit aktif, namun umumnya menurun sebagai respon atas terapi yang diberikan.

Pengujian yang direkomendasikan untuk diagnosis myeloma adalah:
  • Pemeriksaan fisik dan sejarah medis
  • Pengujian laboratorium rutin (hitung darah lengkap, analisis kimia, elektroforesis protein serum dan urin dengan kuantifikasi imunofiksasi, dan protein monoklonal)
  • Pemeriksaan sumsum tulang (biopsi trephin dan aspirasinya untuk analisis sitogenetika atau flouresensi in situ hibridisasi (FISH).
  • Radiografi konvensional tulang belakang, tengkorak, dada, panggul, humeri dan femoranya untuk mengidentifikasi myeloma yang terkait dengan lesi tulang.
  • Magnetic Resonance Imaging (MRI) dianjurkan untuk mengevaluasi myeloma pada pasien yang menunjukan hasil radiografi konvensional adanya plasmasitoma soliter tulang
  • Computed Tomography dan MRI merupakan prosedur pilihan untuk menilai dugaan adanya kompresi sumsum tulang yang harus dilakukan secara mendadak

Kamis, 13 September 2012

TERAPI INISIASI HIPERTENSI



Apa yang akan anda lakukan jika dokter menyatakan anda atau orang terkasih anda menderita hipertensi?. Bilamanakah sebaiknya anda memulai terapi hipertensi tersebut?. Tulisan ini akan berusaha memberikan solusi atas persoalan tersebut.

PROBLEM KLINIS

Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah kondisi klinis yang ditandai dengan tekanan sistolik ≥140 mm Hg dan tekanan diastolik ≥90 mm Hg. Hipertensi merupakan problem klinis yang relatif umum terjadi pada kelompok umur dewasa. Di Amerika Serikat 1 dari 4 orang dewasa dinyatakan menderita hipertensi. 

Prevalensi hipertensi lebih tinggi pada kelompok kulit hitam dan usia lanjut, terutama pada wanita usia lanjut. Hipertensi merupakan faktor resiko untuk stroke, infark miokard, gagal ginjal, gagal jantung kongestif, aterosklerosis progresif dan demensia. Tekanan sistolik adalah prediktor kuat peristiwa kardiovaskular dibandingkan tekanan diastolik. Tekanan sistolik terisolasi yang umum terjadi pada orang tua, sangat berbahaya. 

Ada hubungan yang berkelanjutan antara tekanan darah dengan penyakit kardiovaskular, tingkat dan durasi hipertensi serta ada tidaknya faktor-faktor resiko secara bersamaan sangat menentukan kejadian kardiovaskular. Pengobatan hipertensi mengurangi resiko stroke, penyakit arteri koroner, gagal jantung kongestif, serta morbiditas dan mortalitas kardiovaskular secara keseluruhan. Namun hanya sektar 54% pasien hipertensi yang menerima terapi dan hanya sekitar 28% pasien yang mampu mengendalikan tekanan darahnya dengan baik.

STRATEGI DAN BUKTI

Evaluasi
Pengukuran tekanan darah secara akurat dan memverifikasinya pada beberapa kesempatan dan waktu yang berbeda sangat penting dilakukan. Pemantauan darah secara mandiri atau melalui kunjungan rawat jalan ke pusat kesehatan akan membantu mengidentifikasi kemungkinan "white coat hypertension" yiatu kondisi tekanan darah yang meningkat namun masih dinyatakan normal. White coat hypertension terjadi pada sekitar 20% pasien, dan kelompok pasien ini memiliki resiko penyakit kardiovaskular yang lebih ringan dibandingkan dengan pasien yang mengalami hipertensi berkelanjutan, namun masih mungkin mengalami hipertensi berkelanjutan sehingga tetap memerlukan pemantauan.

Selain pengukuran tekanan darah pemeriksaan lain yang perlu dilakukan terkait dengan hipertensi adalah:
  • Urinalisis
  • Hitung darah lengkap
  • Tes kimia darah (Kalium, natrium, kreatinin, glukosa puasa, kolesterol total, dan HDL-lipoprotein)
  • Elektrokardiogram (EKG) 12 slice
Evaluasi ini akan mengidentifikasi kemungkinan adanya penyakit jantung dan pembuluh darah (kardiovaskular), serebrovaskular, dan penyakit pembuluh darah perifer. Hipertensi resisten atau parah atau adanya temuan laboratorium atau klinis menunjukan adanya penyakit ginjal, hipertensi adrenal (karena adanya abnormalitas mineralokortikoid atau pheocromocytoma) atau kemungkinan hipertensi renovaskular lebih lanjut harus diselidiki. Artikel ini lebih berfokus dalam membahas hipertensi primer/esensial yang terjadi pada sekitar 90% pasien hipertensi.

Klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa adalah sebagai berikut:
  1. Optimal: <120/<80 mm Hg
  2. Normal: <130/<85 mm Hg
  3. Normal tinggi: Sistolik 130-139 atau diastolik 85-89 mm Hg
  4. Hipertensi stage 1: sistolik 140-159 atau diastolik 90-99 mm Hg
  5. Hipertensi stage 2: sistolik 160-179 atau diastolik 100-109 mm Hg
  6. Hipertensi Stage 3: sistolik >180 mm Hg atau diastolik >110 mm Hg
Terapi
Tujuan utama terapi hipertensi adalah untuk mencegah komplikasi penyakit kardiovaskular dan kematian. Adanya faktor resiko penyakit kardiovaskular pada penderita hipertensi akan meningkatkan resiko terjadinya penyakit kardiovaskular tersebut. Terjadinya penyakit kardiovaskular pada laki-laki dengan usia lebih dari 50 tahun dengan tekanan darah lebih dari 160/110 mm Hg adalah sebesar 2,5-5%, resiko tersebut meningkat dua kali lipat jika memiliki level kolesterol diatas normal, resiko meningkat tiga kali lipatnya jika pasien tersebut juga seorang perokok.

Dalam sebuah penelitian diketahui bahwa pasien hipertensi dengan stadium 1 atau 2 yang mengalami penurunan tekanan sistolik sebesar 10-12 mm Hg atau diastolik sebesar 5 atau 6 mm Hg menurunkan resiko stroke sebesar 40%, resiko penyakit jantung koroner sebesar 16% dan resiko kematian akibat penyakit kardiovaskular sebesar 20%.

Penentuan kebutuhan terapi obat didasarkan pada penilaian gabungan dari tingkat tekanan darah dan resiko absolut penyakit kardiovaskular. Pasien dengan hipertensi stadium 1 dapat diobati dengan modifikasi gaya hidup saja selama 1 tahun, jika mereka tidak memiliki faktor resiko lain, atau sampai 6 bulan jika mereka memiliki faktor resiko lainnya. Terapi obat harus disiapkan jika tekanan darah tetap meningkat setelah uji coba modifikasi gaya hidup. Modifikasi gaya hidup dan terapi antihipertensi diindikasikan untuk pasien dengan hipertensi stadium 2 atau 3 dengan penyakit kardiovaskular atau penyakit organ target lainnya (ginjal, jantung, serebrovaskular, dan retina). Pasien hipertensi dengan diabetes melitus beresiko tinggi sehingga memerlukan terapi obat antihipertensi untuk menjaga tekanan darah tetap pada kisaran normal. 

Modifikasi Gaya Hidup
Modifikasi gaya hidup yang direkomendasikan untuk pasien hipertensi adalah sebagai berikut:
  1. Maintenance berat badan. Tekanan darah akan menurun sebesar 1,6/1,1 mm Hg untuk setiap penurunan 1 kg berat badan
  2. Melakukan olah raga aerobik teratur (30-45 menit setiap hari), upaya ini dapat menurunkan tekanan darah sebesar 11/8 mm Hg.
  3. Mengkonsumsi banyak buah-buahan dan sayur-sayuran serta susu rendah lemak, mengurangi asupan lemak jenuh dan lemak total, upaya ini akan menurunkan tekanan darah sebesar 11,4/5,5 mm Hg setelah 8 minggu
  4. Membatasi asupan natrium maksimum sebesar 100 mmol perhari (2,4 gram natrium atau 6 gram natrium klorida), upaya ini dapat menurunkan tekanan darah sebesar 3,7-4,8/0,9-2,5 mm Hg.
  5. Menjaga asupan kalium (sekitar 90 mmol perhari)
  6. Menjaga asupan kalsium dan magnesium
  7. Membatasi asupan alkohol maksimum 30 ml perhari
  8. Berhenti merokok
Memilih Obat Antihipertensi
Memenej tekanan darah agar tetap optimal terbukti telah memberikan keuntungan berupa rendahnya resiko penyakit kardiovaskular dan kematian. Dalam sebuah studi diketahui bahwa resiko penyakit kardiovaskular terendah terjadi bila tekanan darah seseorang turun hingga 138,5/82,6 mm Hg. Penurunan tekanan darah lebih dari angka tersebut tidak menyebabkan penurunan resiko penyakit kardiovaskular lebih lanjut pada pasien hipertensi nondiabetik, namun tidak berbahaya. Sedangkan pada pasien dengan diabetes melitus, resiko penyakit kardiovaskular minimal bila tekanan darah berada pada kisaran normal terendah. Pada pasien dengan usia lebih dari 65 tahun, morbiditas dan mortalitas akibat penyakit kardiovaskular akan menurun bila tekanan darah diturunkan hingga tekanan sistoliknya dibawah 160 mm Hg.

Kebanyakan obat antihipertensi mampu menurunkan tekanan darah sebesar 10-15%. Monoterapi antihipertensi efektif pada sekitar 50% pasien, sedangkan pada pasien dengan hipertensi stadium 2 atau 3 umumnya memerlukan terapi kombinasi. Pilihan terapi didasarkan pada penilaian gabungan karakteristik pasien seperti kondisi pasien, ras, usia, dan respon terhadap obat sebelumnya termasuk ada tidaknya efek merugikan.

Salah satu isu penting terkait penggunaan antihipertensi adalah apakah obat tersebut mampu mengurangi morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskular. Dalam sebuah studi, dibandingkan dengan plasebo, diuretik dan beta-bloker mengurangi resiko kematian akibat stroke, penyakit jantung koroner dan  penyakit kardiovaskular secara keseluruhan pada pasien hipertensi tanpa disertai diabetes melitus, penyakit jantung koroner dan proteinuria.

Sedangkan studi lain menyebutkan bahwa ACE inhibitor mengurangi resiko stroke, penyakit jantung koroner dan kejadian kardiovaskular. Sedangkan pemblok kanal kalsium mengurangi resiko stroke dan kejadian kardiovaskular mayor namun tidak secara signifikan mengurani resiko penyakit jantung koroner dan gagal jantung maupun kematian akibat kardiovaskular.

Golongan obat-obat yang dapat digunakan dalam terapi hipertensi:
  1. Diuretik, diindikasikan untuk gagal jantung, usia lanjut dan hipertensi sistolik. Obat ini dikontraindikasikan pada penderita gout. Hipokalemia, hiperurisemia, intoleransi glukosa, hiperkalsemia, hiperlipidemia, hiponatremia dan impotensi adalah efek samping yang umum pada penggunaan diuretik ini.
  2. Beta-bloker, diindikasikan untuk angina, gagal jantung, riwayat infark miokard, takiaritmia dan migrain. Obat ini kontraindikasi bagi penderita asma, penyakit paru obstruksi kronik, dan blok jantung. Efek samping yang mungkin terjadi pada  penggunaan obat ini adalah bronkospasme, bradikardia, gagal jantung, gangguan sirkulasi perifer, insomnia, kelelahan, penurunan toleransi olahraga dan hipertrigliseridemia.
  3. ACE inhbitor, diindikasikan untuk gagal jantung, disfungsi ventrikel kiri, riwayat infark miokard, diabetes atau netropati lainnya atau proteinuria. Obat ini kontraindikasi pada kehamilan, stenosis renal arteri bilateral, dan hiperkalemia. Efek samping yang mungkin muncul adalah batuk, angioedema, hiperkalemia, ruam, hilangnya rasa dan leukopenia.
  4. Antagonis kanal kalsium, diindikasikan untuk lanjut usia, hipertensi sistolik, hipertensi terinduksi siklosporin dan dikontraindikasikan untuk blok jantung (terutama verapamil dan diltiazem). Efek samping yang mungkin terjadi adalah sakit kepala, hiperplasia gingival.
  5. Alpha-bloker, diindikasikan untuk hipertrofi prostatik dan dikontraindikasikan untuk hipotensi ortostatik. Sakit kepala, mengantuk, kelelahan, kelemahan, dan hipotensi postural merupakan efek samping yang umum terjadi.
  6. Antagonis reseptor angiotensin, diindikasikan untuk pasien hipertensi yang batuk bila menerima ACE inhibitor, nefropati, proteinuria, gagal jantung kongestif. Obat ini dikontraindikasikan pada pasien hamil, stenosis dan hiperkalemia. 

TERAPI KOMBINASI

Penggunaan dosis yang lebih rendah dari dua atau lebih obat dengan mekanisme yang saling melengkapi dapat menurunkan tekanan darah dengan efek samping lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan agen tunggal dengan dosis yang lebih tinggi. Kombinasi terapi yang paling banyak digunakan adalah dosis kecil diuretik yang mempotensiasi efek obat lain (ACE inhibitor, atagonis reseptor angiotensin, atau beta-bloker). Terapi kombinasi dapat meningkatkan kepatuhan dan penurunan tekanan darah lebih optimal.




Sumber
Initial Treatment of Hypertension
www.nejm.org




Rabu, 12 September 2012

TERMINASI KEHAMILAN SECARA MEDIS



Terminasi (pengakhiran) masa kehamilan telah dilakukan sejak lama dengan perhitungan atas kondisi tertentu. Banyak pihak telah menerima praktek ini, namun ada juga yang menganggap bahwa praktek ini merupakan kejahatan/kriminal. Ada beberapa metode yang dilakukan dalam praktek ini. Pada kehamilan trimester pertama, metode pembedahan paling banyak dilakukan untuk melakukan terminasi kehamilan tersebut. Aspirasi vakum dianggap lebih aman dan kurang menyakitkan dibandingkan dengan dilatasi atau kuretase. Diseluruh dunia diperkirakan sekitar 26 juta kehamilan diakhiri secara legal, dan 20 juta kehamilan diakhiri secara ilegal pertahunnya dengan angka kematian lebih dari 78.000. Kondisi tersebut mendorong ditemukannya metode terminasi kehamilan lainnya yang lebih aman dengan reseiko kematian yang lebih rendah, tentunya jika dilakukan secara legal.

Di Amerika Serikat yang melegalkan aborsi yang dilakukan oleh tenaga terlatih, tingkat kematian dari praktek aborsi melalui pembedahan adalah sebesar 0,6 per 100.000 kasus, dengan tingkat morbiditas serius terjadi pada kurang dari 1% wanita yang menjalani praktek tersebut.

AKSI FISIOLOGIS OBAT DALAM TERMINASI KEHAMILAN

Implantasi/penanaman embrio dalam uterus melibatkan interaksi yang kompleks dengan endometrium. Embrio melekat pada epitel endometrium dan kemudian menyerang stroma endometrium pada hari ke 6-10 setelah terjadinya ovulasi. Peristiwa ini tergantung pada progesteron yang memodifikasi banyak transkripsi gen yang terlibat dalam proses implantasi tersebut. Progesteron juga menghambat kontraksi miometrium.

Obat-obat yang digunakan untuk mengakhiri kehamilan bertindak dengan menghambat sintesis progesteron, merangsang kontraksi miometrium, mengantagonis kerja progesteron, atau menghambat perkembangan trofoblas.
  • Obat yang menghambat sintesis progesteron. Modifikasi molekul steroid seperti (2α,4α,5α,17β)-4,5-epoxy-17-hydroxy-4,17-dimethyl-3-oxoandrostane-2-carbonitrile (epostane) dan penghambat kompetitif ovarium dan plasenta 3β-hydroxysteroid dehydrogenase lainnya seperti trilostane, bekerja dengan menghambat sintesis progesteron dari prekursornya yaitu pregnenolon, sehingga obat-obat tersebut dapat mengakhiri kehamilan.
  • Obat yang menginduksi kontraksi miometrium. Prostaglandin dan oksitosin merangsang kontraksi rahim dengan mengikat reseptor spesifik pada permukaan sel miometrium. Aksi tersebut menyebabkan peningkatan produksi kalsium pada retikulum endoplasma dan akhirnya mengakibatkan kontraksi uterus, sehingga dapat menyebabkan keguguran.
  • Obat yang mengantagonis kerja progesteron. Antagonis progesteron (antiprogestin) yang pertama kali dikembangkan adalah mifepristone, yang juga dikenal dengan istilah RU 486 atau RU 38486. Senyawa ini bekerja dengan mengikat reseptor progesteron dengan afinitas 5 kali lebih besar dibandingkan progesteron. Antiprogestin juga bekerja pada pembuluh darah endometrium sehingga menyebabkan kerusakan embrio. Senyawa obat ini secara langsung memacu kontraksi uterus dengan meningkatkan rangsangan pada sel miometrium dan menyebabkan pelebaran/dilatasi serviks.
  • Obat yang menghambat perkembangan trofoblas. Metotreksat (methotrexate) adalah contoh obat antagonis asam folat yang dapat mengakibatkan keguguran janin dengan mekanisme mengganggu proses sintesis DNA. Sel-sel yang sedang aktif membelah, termasuk tumor ganas, sumsum tulang dan trofoblas sensitif terhadap metotreksat. Sehingga dalam dunia medis obat ini digunakan dalam terapi koriokarsinoma dan kehamilan ektopik.

OBAT-OBAT YANG DIGUNAKAN DALAM TERMINASI KEHAMILAN

Terminasi kehamilan secara medis dianggap berhasil jika konsepsi secara lengkap dapat dilakukan tanpa adanya tindakan pembedahan. Keberhasilan umumnya ditentukan juga oleh durasi kehamilan. Berikut obat-obat yang sering digunakan:

Epostane

Epostane digunakan tunggal atau dalam kombinasi dengan prostaglandin E2 yang digunakan untuk terminasi kehamilan dengan usia kehamilan kurang dari 56 hari. Dosis 200 mg diberikan setiap 6 atau 8 jam selama 7 hari. Dalam sebuah studi epostane menyebabkan mual pada sekitar 86% wanita dan memiliki tingkat keberhasilan sebesar 84%. Dengan alasan tersebut maka produsen tidak menganjurkan penggunaan epostane untuk tujuan terminasi kehamilan tersebut.



Prostaglandin
Prostaglandin alami merupakan agen yang pertama kali digunakan untuk terminasi kehamilan. Namun prostaglandin alami tersebut memiliki sifat yang kurang stabil, spesifisitas yang rendah dan toleransinya buruk. Penggunaan analog prostaglandin parenteral sulprostone tidak diperkenankan lagi karena adanya resiko komplikasi kardiovaskular, seperti infark miokard dan hipotensi parah.

Misoprostol dan gemeprost adalah senyawa analog prostaglandin E1 yang sering digunakan saat ini. Misoprostol lebih banyak digunakan karena harganya yang murah, stabil pada temperatur kamar dan tersedia diberbagai negara yang umumnya digunakan dalam terapi ulkus peptikum yang terinduksi obat antiinflamasi nonsteroid (AINS). Sedangkan gemeprost hanya tersedia sediaan vaginal dengan harga yang mahal, termolabil, memerlukan pendinginan, dan tidak disetujui penggunaannya di Amerika   Serikat.                                                                                                              


Dosis oral misoprostol adalah 400-3200 µg mampu menginduksi aborsi hanya pada 4-11% wanita dengan usia kehamilan 56 hari atau kurang. Bioavailabilitas obat ini relatif besar jika diberikan secara vaginal dan dengan tingkat keberhasilan yang lebih tinggi. 


   

Respon terhadap pemberian gemeprost vaginal lebih dapat diprediksi. Dalam sebuah studi dosis 1 mg gemeprost dengan dosis tambahan yang diberikan setiap 3 jam hingga 5 dosis memberikan keberhasilan terminasi kehamilan sebesar 97% pada wanita dengan usia kehamilan 56 hari atau kurang. Jika dosis yang sama diberikan setiap 6 jam hingga 3 dosis tingkat keberhasilannya lebih rendah yaitu sekitar 87%.

Efek samping yang umum terjadi pada penggunaan misoprostol atau gemeprost diantaranya:

  1. Nyeri, sekitar 53% pasien memerlukan 5 mg analgesia opiat pada pasien yang menggunakan gemeprost, dan 15% pada kelompok pasien yang menggunakan misoprostol.
  2. Pusing, mual, muntah, diare, menggigil dan ruam
  3. Durasi pendarahan sekitar 14 hari pada pasien yang menggunakan gemeprost dan 11 hari pada pasien pengguna misoprostol
  4. Dalam hal misoprostol gagal mengakhiri kehamilan, misoprostol dapat menyebabkan kelainan bawaan pada bayi termasuk cacat kulit kepala atau tengkorak, cranial-nerve palsy, maupun cacat anggota tubuh lainnya. 
  5. Terkait tingginya tekanan rahim karena kontraksi rahim atau spasme pembuluh darah, maka mungkin berakibat teratogenik
Prostaglandin dapat digunakan secara sendiri, namun terkait dengan efek sampingnya maka biasanya misoprostol digunakan dalam dosis rendah dan dikombinasikan dengan mifepristone atau metotreksat.

Kombinasi Metotreksat dan Prostaglandin
Kombinasi ini terbukti lebih efektif dalam terminasi kehamilan. Dosis metotreksat sebesar 50 mg per meter persegi area permukaan tubuh disuntikan secara intramuskular. Dosis lebih dari 60 mg/m2 area permukaan tubuh tidak meningkatkan efektivitasnya. Pemberian metotreksat oral 25 atau 50 mg juga efektif. Sementara itu 800 µg misoprostol diberikan pervaginal. 

Tingkat keberhasilan dengan kombinasi agen ini pada wanita dengan usia kehamilan 56 hari atau kurang adalah sebesar 84-97%. Efikasi sering didefinisikan sebagai keberhasilan langsung (yaitu terminasi lengkap dalam waktu kurang dari 24 jam setelah pemberian misoprostol) atau keberhasilan tertunda (terminasi lengkap setelah lebih dari 24 jam sejak pemberian misoprostol). Tingkat keberhasilan pada satu pasien umumnya lebih rendah dibandingkan dengan tingkat keberhasilan secara keseluruhan karena terjadinya terminasi tertunda pada sekitar 12-35% pasien yang baru mengalami terminasi setelah kurun waktu 20-30 hari setelah pemberian misoprostol. 

Mual, muntah, diare adalah efek samping yang umum pada penggunaan kombinasi obat ini. stomatitis dan luka oral ringan terjadi pada sekitar 5% pasien. Durasi pendarahan pervagina berkisar antara 10-17 hari sejak pemberian dosis misoprostol terakhir. Dalam sebuah studi yang lain, sekitar 4% pasien yang menggunakan kombinasi misoprostol dan metotreksat memerlukan tindakan pembedahan untuk                                      
mengakhiri kehamilan secara lengkap akibat pendarahan
yang berlebihan.

Yang sangat perlu diperhatikan pada penggunaan metotreksat adalah adanya efek sitotoksik pada trofoblas. Dalam sebuah studi 6 dari 13 janin yang terpapar metotreksat akan mengalami abnormalitas.

Tamoksifen (Tamoxifen) dan Prostaglandin
Tamoksifen

Dalam sebuah studi 20 mg tamoksifen sekali sehari selama 4 hari diikuti dengan pemberian misoprostol 800 µg dapat menginduksi terjadinya aborsi lengkap pada 92% wanita.

Antiprogestin dan Prostaglandin
Tingkat keberhasilan terminasi mifepriston yang digunakan sendiri dengan dosis 200-600 mg adalah sebesar 64-85%. Pemberian prostaglandin pada 36-60 jam setelah pemberian mifepriston terbukti mampu meningkatkan keberhasilan terminasi kehamilan.  Biasanya prostaglandin diberikan 48 jam setelah pemberian mifepriston. 

Keberhasilan terminasi pada kehamilan dengan usia 49 hari atau kurang dengan menggunakan mifepriston dan prostaglandin adalah sebesar 92-98%.                                                                        
                                                                                                   
Efek samping berat yang dapat terjadi pada penggunaan kombinasi mifepriston dan prostaglandin adalah pendarahan pervaginal yang berkepanjangan. Namun demikian jarang membutuhkan transfusi darah. Efek samping lain yang sering terjadi adalah nyeri abdomen dan kram uterus. 






Sumber
Tulisan ini disarikan dari artikel berjudul "Medical Termination of Pregnancy" 
Editor Alastair J.J Wood, M.D
Dipublikasikan di www.nejm.org
12 September 2012

Minggu, 02 September 2012

INSULIN


Insulin merupakan sebuah hormon yang dihasilkan oleh pankreas. Secara molekular, senyawa hormon ini merupakan molekul polipeptida. Hormon ini memiliki peranan yang sangat dominan dalam pengaturan metabolisme karbohidrat dan lemak dalam tubuh. Selain itu juga berperan dalam metabolisme protein.

Insulin merupakan hormon anabolik, yaitu suatu hormon yang merangsang penggunaan protein. Hormon insulin juga mempengaruhi jaringan-jaringan lain dalam tubuh.

Insulin Hexamer
(Gambar diunduh dari Wikipedia)


Model Molekul Insulin
(Gambar diunduh dari Wikipedia)

Insulin memainkan peranan yang sangat penting dalam pengaturan homeostasis glukosa. Insulin telah ditemukan sekitar 85 tahun yang lalu. Namun awal penemuan itu tidak sampai mengungkapkan eksperimental pengaruh insulin pada penyerapan glukosa. 

Aksi biologis insulin dimediasi oleh reseptor pada permukaan sel tertentu yang pertama kali ditemukan pada tahun 1971. Reseptor insulin hadir pada hampir semua sel dalam tubuh. Kloning terhadap reseptor insulin untuk pertama kalinya dilakukan pada tahun 1985, yang diikuti dengan investigasi kedalam mekanisme transduksi sinyal yang mendasari aksi insulin baik dalam konteks selular maupun fisiologis. Selama 20 tahun terakhir kemajuan besar telah dibuat untuk memahami jalur transduksi sinyal alam mengontrol aksi metabolik klasik insulin untuk merangsang penyerapan glukosa didalam otot skelet dan jaringan adiposa melalui  translocation of the insulin-responsive glucose transporter (GLUT).

Studi terbaru menginformasikan bahwa insulin juga memainkan peranan pada aksi kardiovaskular nonklasik. Insulin memberikan peranan penting dalam kopling metabolisme dan fisiologi kardiovaskular. Dalam kondisi resistensi insulin, terjadi kerusakan jalur sinyal insulin secara bersama dalam jaringan metabolik dan kardiovaskular. Terdapat beragam mekanisme baik yang independen maupun saling keterkaitan termasuk glukotoksisitas, lipotoksisitas, dan peradangan yang berkontribusi pada sinergi antara resistensi insulin dan disfungsi endothelial yang dapat membantu menjelaskan keterkaitan antara penyakit metabolik dan kardiovaskular. Sebuah pemahaman global mengenai aksi kardiovaskular dan insulin pada kesehatan dan penyakit memiliki implikasi penting dalam pengembangan strategi terapi untuk meningkatkan kesehatan metabolisme dan kardiovaskular secara bersamaan.

Salah satu tindakan vaskular penting dari insulin adalah merangsang produksi nitrat oksida (NO) dari endotelial. Hal ini menyebabkan rekruitmen vaskular, vasodilatasi, peningkatan aliran darah dan selanjutnya diikuti dengan augmentasi pembuangan glukosa pada jaringan target insulin klasik (misal otot rangka). 

PENGEMBANGAN DAN EVALUASI SEDIAAN TABLET-DALAM-KAPSUL ATENOLOL DAN NIFEDIPIN


Delayed drug delivery system (DDS), zero-order DDS, and site-specific DDS adalah bentuk-bentuk sediaan farmasi padat yang sedang menjadi fokus para peneliti. DDS oral melepaskan obat setelah melewati satu periode waktu yang terprogram, yang dimaksudkan untuk pengobatan penyakit yang mengikuti ritme sirkadian. Sistem ini terdiri dari inti dan pelapis. Inti dilapisi dengan polimer penghambat film atau kompresi, yang mencegah pelepasan obat dari inti hingga lapisan polimer tersebut benar-benar bengkak dan terkikis. Kepatuhan pasien yang lebih baik dan area permukaan yang besar pada saluran gastrointestinal adalah dua keuntungan dari bentuk sediaan ini. Sistem penghantaran obat zero-order dirancang dengan asumsi bahwa proses fisiologis dan fungsi biologis bersifat konstan dari waktu ke waktu. 

Atenolol merupakan agen pemblok reseptor beta-adrenergik (β-adrenergik) yang selektif pada reseptor β1 tanpa aktivitas agonis parsial simpatomimetik intrinsik atau stabilisasi membran. Pada pria, setelah pemberian dosis oral, obat diabsorpsi dengan cepat dan konsisten meski tidak lengkap. Sekitar 50% diserap melalui saluran cerna dan sisanya diekskresikan dalam bentuk utuh melalui tinja. Atenolol diberikan sebagai dosis harian tunggal. Atenolol merupakan agen antihipertensi yang mampu memberikan kontrol tekanan darah selama 24 jam.

Nifedipin merupakan serbuk kristal kuning, praktis tidak larut dalam air namun larut dalam etanol. Sediaan nifedipin 20 mg dalam bentuk tablet dengan pelepasan tertunda digunakan sebagai dosis tunggal harian peroral. Nifedipin selektif menghambat masuknya ion kalsium melalui membran otot polos pembuluh darah dan jantung tanpa mengubah konsentrasi kalsium serum. Nifedipin merupakan vasodilator arteri perifer yang bekerja langsung pada otot polos vaskular. Pengikatan nifedipin tergantung pada tegangan dan mungkin dioperasikan melalui kanal reseptor. Nifedipin benar-benar diabsorpsi setelah pemberian oral. Bioavailabilitas nifedipin setelah pemberian tablet dengan pelepasan tertunda sekitar 84-89%. Konsentrasi plasma puncak tercapai setelah 2,5-5 jam dan dengan waktu paruh eliminasi sekitar 7 jam.

BAHAN DAN METODE

Bahan
  1. Atenolol dan nefedipin sebagai zat aktif
  2. Laktosa sebagai diluen
  3. Isoprofil alkohol sebagai pengikat larutan eksipien
  4. PVP-k30 sebagai pengikat
  5. HPMC k100 sebagai polimer adhesif
  6. Na-CMC sebagai pengikat
  7. Talk sebagai glidan
  8. Magnesium stearat sebagai lubrikan
  9. Sodium starch glycolate sebagai disintegran
  10. Na-SLS sebagai solubiizing agent
  11. MCC sebagai disintegran
Formula Umum Mini-tablet Nifedipin
Nifedipin                               20 mg
Laktosa                                 21 mg
Isoprofil alcohol                     1 ml
PVP-k30                               1 mg
HPMC-k100                         20 mg
Na-CMC                              24 MG
Talk                                       2 mg
Mg-stearat                             2 mg
Na-Starch glycolate                2 mg
Na-SLS                                  2 mg
MCC                                      10 mg

Total : 105 mg
Pembuatan mini-tablet nifedipin dibuat dalam 3 variasi formula yang dibedakan berdasarkan variasi laktosa dan HPMC-k100, yaitu masing-masing 31, 21 dan 11 mg laktosa dan 10,20 dan 30 HPMC-k100.

Pembuatan Serbuk Atenolol
65 mg kalsium phosphat dibasik (DPC) dicampur dengan 50 mg atenolol, dan campuran tersebut kemudian dicampurkan dengan 30 mg talk murni. Kemudian mini-tablet nifedipin dimasukan kedalam cangkang kapsul ukuran 0 dan kemudian diisikan pula serbuk atenolol. Kemudian kapsul ditutup.

STUDI EVALUASI
  1. Variasi berat kapsul; 20 kapsul ditimbang secara individu, kemudian dihitung berat rata-rata kapsul dan berat masing-masing kapsul dibandingkan dengan berat rata-rata kapsul. Kapsul memenuhi uji USP jika tidak lebih dari 2 kapsul yang diluar batas persentase dan tidak ada kapsul yang berbeda beratnya lebih dari 2 kali batas persentase (± 7,5%)
  2. Uji friabilitas mini-tablet nifedipin; Uji kerapuhan dilakukan dengan Roche Friabilator. 20 tablet ditimbang dan kemudian dimasukan kedalam plastik friabilator kemudian diputar dengan kecepatan 25 rpm selama 4 menit, tablet dapat dinyatakan memenuhi syarat jika friabilitasnya 0,25-1% dari beratnya.
  3. Uji kekerasan mini-tablet nifedipin; Uji kekerasan dilakukan dengan Pfizer tester
  4. Uji ketebalan dan diameter mini-tablet; diameter dan ketebalan diukur dengan skala kaliber verniar. Nilai standar ± 5%.
KESIMPULAN

Sediaan tablet-dalam-kapsul adalah sediaan oral yang terdiri dari sediaan mini tablet dalam cangkang kapsul yang keras. Tujuan pengembangan formula tablet-dalam-kapsul yang mengandung atenolol dan nifedipin adalah untuk manajemen hipertensi. Penyiapan sediaan ini dilakukan dengan metode bubuk mengalir bebas untuk atenolol dan metode granulasi basah untuk penyiapan nifedipinnya. Untuk menghasilkan pelepasan obat yang berkelanjutan polimer HPMC K-100 digunakan sebagai lapisan ekstragranular. Natrium glikolat sebagai super disintegrants. Serbuk mengalir bebas dari atenolol dievaluasi dengan studi variasi berat. Sedangkan kompresi tablet nifedipin dievaluasi dengan variasi berat, dimensi, kekerasan, kerapuhan, kandungan obat dan pelepasan obat in vitro.




Sumber
Disarikan dari artikel penelitian berjudul "Development ang Evaluation for Tablet-in Capsule of Nifedipine and Atenolol"
yang dipublikan di www.ijpbs.com