Jumat, 31 Agustus 2012

OMEPRAZOLE



DESKRIPSI SENYAWA

Esomeprazole adalah salah satu senyawa inhibitor pompa proton/pump proton inhibitor (PPI) yang merupakan agen antisekretorik lambung. Secara struktural dan farmakologis, esomeprazol berhubungan dengan omeprazole, lanzoprazole, pantoprazole dan rabeparzole. Esomeprazole pada dasarnya adalah suatu enansiomer dari omeprazole (S-omeprazole). Sedangkan omeprazole adalah campuran rasemat dari S-omeparazole dan R-omeprazole. Secara kimia obat-obat tersebut adalah golongan benzimidazole tersubstitusi dan secara farmakologis terkait erat dengan efek antagonis reseptor H2, antimuskarinik dan analog prostaglandin.

Struktur Esomeprazole

Esomeprazole terikat pada hidrogen-kalium ATPase pada sel parietal lambung, sehingga menyebabkan inaktivasi sistem enzim ini (secara umum dikenal sebagai proton, hidrogen atau pompa asam) sehingga memblok langkah akhir dalam sekresi asam klorida (HCl) oleh sel-sel, sehingga produksi asam lambung akan menurun/berkurang.

Esomeprazole merupakan molekul yang bersifat asam labil. Esomeprazole yang tersedia dipasaran adalah kapsul pelet berselaput enterik dengan pelepasan tertunda sehingga memungkinkan peningkatan bioavailabilitasnya. Esomeprazole dimetabolisme secara luas. Dihati, esomeprazole dimetabolisme melalui enzim sitokrom P450 (CYP) isoenzim 2C19 dan dalam jumlah yang lebih kecil melalui isoenzim CYP3A4 membentuk metabolit dengan aktivitas antisekretorik yang lebih rendah.

PPI seperti halnya omeprazole dan esomeprazole dapat menekan pertumbuhan bakteri H. Pylori pada pasien dengan ulkus duodenum/refluks esofagitis yang terinfeksi bakteri tersebut. PPI hanya mampu menekan pertumbuhannya, namun tidak mampu memberantas/ mengeradikasi bakteri tersebut. Sehingga dalam penangan ulkus atau refluks esofagitis tersebut dilakukan terapi kombinasi PPI dengan antibiotik seperti klaritromisin atau amoksisilin.

Terjadinya peningkatan pH lambung selama terapi esomeprazole dapat merangsang sekresi gastrin melalui mekanisme umpan balik negatif dan enterochromaffin-like cell (ECL) hyperplasia. Meskipun sebuah studi yang dilakukan pada tikus yang telah mengalami lesi karsinoid tidak menunjukan adanya perubahan pada adenomatoid, diplastik, atau neoplastik pada kelompok tikus yang menerima terapi esomeprazole hingga selama 1 tahun.

Terapi jangka panjang dengan PPI dkaitkan dengan adanya peningkatan resiko patah tulang pinggul pada kelompok usia diatas 50 tahun. Resiko ini mungkin diakibatkan adanya penurunan absorpsi sekunder kalsium terlarut untuk meningkatkan pH lambung.

INDIKASI/KEGUNAAN

Gastroesophageal Reflux (GERD)
Magnesium esomeprazole digunakan untuk terapi jangka pendek (4-8 minggu) pada pasien esofagitis erosif dengan GERD. Obat ini juga digunakan dalam terapi pemeliharaan setelah penyembuhan esofagitis erosif untuk mengurangi resiko kekambuhannya. Selain itu juga digunakan untuk terapi gejala GERD (seperti mulas) meski tanpa disertai adanya esofagitis erosif. Esomeprazole dieliminasi lebih lambat daripada omeprazole sehingga memberikan jangkaun yang lebih luas terhadap pompa proton dan akhirnya dapat memberikan kontrol pH lambung yang lebih besar dibanding omeprazole rasemat.

Mekanisme penekanan terhadap sekresi asam lambung menjadi andalan dalam terapi GERD. PPI dan antagonis reseptor H2 dalam hal ini digunakan untuk menekan sekresi asam lambung, mengontrol gejala dan mencegah komplikasi penyakit GERD. Pasien GERD umumnya memerlukan terapi jangka panjang bahkan seumur hidup, dan ACG menyatakan bahwa untuk keperluan ini PPI lebih efektif daripada antagonis reseptor H2. PPI juga memberikan kontrol yang lebih besar terhadap refluks asam dibandingkan dengan prokinetik (seperti cisapride atau metoklopramide) tanpa resiko efek samping yang parah.

Ulkus Duodenum
Magnesium esomeprazole digunakan dalam terapi jangka pendek (10 hari) pasien dengan ulkus duodenum akibat infeksi H. Pylori dalam kombinasinya dengan klaritromisin dan amoksisilin (triple therapy).

Pencegahan Ulkus yang Terinduksi Agen Antiinflamasi Nonsteroid (AINS)
Magnesium esomeprazole juga digunakan untuk terapi pencegahan ulkus duodenum pada pasien yang beresiko terhadap ulkus duodenum, yaitu kelompok pasien yang berusia 60 tahun atau lebih atau pasien yang memiliki riwayat ulkus duodenum yang menerima terapi AINS.

Ulkus Terkait Penyakit Crohn's
Meskipun bukti studi masih terbatas, PPI digunakan sebagai terapi tambahan untuk menekan sekresi asam lambung pada pengobatan gejala penyakit Crohn's.

CARA PEMBERIAN

Oral
Esomeprazole diberikan secara oral sekali sehari, dan sebaiknya diberikan 1 jam sebelum makan, karena penyerapan esomeprazole yang diberikan bersamaan dengan makanan dapat menurunkan absorpsinya sekitar 33-53%. Kapsul harus ditelan utuh, tidak boleh dihancurkan atau dikunyah. Namun pada pasien yang mengalami kesulitan menelan, kapsul dapat dibuka, isi dikosongkan secara hati-hati dan dicampurkan dengan 1 sendok makan saus apel, campuran kemudian ditelan perlahan-lahan. Campuran esomprazole dan saus apel harus segera digunakan, tidak boleh disimpan.

Untuk pemberian melalui selang nasogastrik, kapsul dapat dibuka dan pelet utuh dimasukan dalam jarum suntik 60 mL dan dicampur dengan 50 mL air. Campuran dalam jarum suntik harus diguncang selama 15 menit sebelum kemudian diberikan. Dalam pemberian ini, pelet harus dipastikan dalam keadaan utuh, tidak hancur. Jika pelet telah hancur maka campuran tersebut tidak boleh digunakan. Campuran harus segera diberikan setelah proses penyiapan melalui selang nasogastrik dan kedalam selang harus segera dialirkan air tambahan.

Intravena (IV)
Natrium-esomeprazole digunakan secara suntikan IV selama tidak kurang dari 3 menit atau secara infus IV selama 10-30 menit. 

Untuk injeksi IV langsung, bubuk natrium-esomeprazole dilarutkan dengan menambahkan 5 ml larutan NaCl 0,9% pada vial berlabel mengandung 20 atau 40 mg esomeprazole. Sejumlah 5 ml larutan tersebut kemudian disuntikan selama tidak kurang dari 3 menit. Larutan hasil rekonstitusi dapat disimpan pada suhu kamar (hingga 30 derajat celcius) dan harus digunakan dalam waktu 12 jam setelah rekonstitusi. Setiap vial esomeprazole hanya dimaksudkan untuk pemakaian tunggal.

Untuk infus intravena, bubuk natrium-esomeprazole dilarutkan dengan menambahkan 5 ml NaCl 0,9% atau dektrosa. Larutan hasil rekonstitusi kemudian dilarutkan dalam larutan injeksi NaCl 0,9%, dekstrosa, ringer laktat hingga diperoleh volume akhir sebesar 50 ml, kemudian diinfuskan selama 10-30 menit. Larutan natrium-esomeprazole yang direkonstitusi dalam larutan NaCl 0,9% atau ringer laktat harus disimpan pada suhu kamar dan harus digunakan dalam waktu 12 jam setelah rekonstitusi. Sedangkan natrium-esomeprazole yang direkonstitusi dalam dektrosa 5% harus disimpan pada suhu kamar dan harus digunakan dalam waktu 6 jam.

Larutan natrium-esomeprazole harus diperiksa kemungkinan adanya partikel atau adanya perubahan warna sebelum digunakan.

Produsen menyatakan bahwa esomeprazole tidak boleh diberikan secara bersamaan dengan obat lain dalam satu infus. 

DOSIS

Dosis natrium-esomeprazole maupun magnesium-omeprazole dinyatakan sebagai omeprazole. 

Refluks Gastroesophageal (GERD)
Dosis esomeprazole oral yang direkomendasikan untuk terapi jangka pendek esofagitis erosif dengan GERD adalah 20 atau 40 mg sekali perhari selama 4-8 jam, dengan tambahan selama 4-8 minggu dapat dipertimbangkan utuk memperoleh penyembuhan yang lengkap. 

Untuk terapi GERD tanpa disertai esofagitis erosif adalah 20 mg sekali sehari selama 4 minggu, dan tambahan terapi selama 4 minggu dapat dilakukan bila gejala GERD belum sepenuhnya hilang.

Ulkus Duodenum
Dosis untuk dewasa dengan ulkus duodenum dalam triple kombinasi dengan amoksisilin dan klaritromisin adalah 40 mg sekali perhari peroral selama 10 hari.

Pencegahan Ulkus yang Terinduksi AINS
Dosis lazim dewasa adalah 20 atau 40 mg sekali sehari hingga selama 6 bulan. 

Populasi Khusus
Pada kelompok pasien dengan kerusakan hati yang parah dosis oral esomeprazole tidak boleh lebih dari 20 mg perhari karena AUC pada kelompok pasien ini adalah 2-3 kali lebih besar dibanding dengan AUC pada pasien dengan fungsi hari normal. Penyesuaian dosis tidak perlu dilakukan pada kelompok pasien dengan kerusakan fungsi hati ringan hingga sedang, gangguan fungsi ginjal dan geriatrik.

KONTRAINDIKASI

Pasien dengan hipersensitivitas terhadap esomeprazole atai benzimidazole lainnya atau bahan lain dalam formula.

PERINGATAN/KEWASPADAAN

Kewaspadaan Umum
  1. Efek pada gastrointestinal (GI); gastritis atrofik dapat terjadi pada pasien dengan terapi jangka panjang esomeprazole
  2. Efek pada pernafasan; PPI dikaitkan dengan adanya peningkatan resiko infeksi tertentu (misal pneumonia)
  3. Efek pada muskoloskeletal; penggunaan PPI jangka panjang dan dalam dosis tinggi meningkatkan resiko patah tulang pinggul terutama pada kelompok pasien usia lebih dari 50 tahun. 
  4. Efek pada jantung; Ada kemungkinan penggunaan esomeprazole atau omeprazole dalam jangka panjang beresiko meningkatkan gangguan jantung (infark miokard dan kematian mendadak) 
Kewaspadaan pada Populasi Khusus
  1. Kehamilan; kategori B
  2. Laktasi; tidak diketahui apakah esomeprazole didistribusikan kedalam jaringan susu atau tidak, namun omeprazole telah terbukti didistribusikan kedalam susu, karenanya sebaiknya menghentikan menyusui selama terapi dengan obat ini.
  3. Pediatrik; Khasiat dan keamanan esomeprazole pada anak kurang dari 12 tahun belum diketahui.
  4. Geriatrik; khasiat dan keamanan esomeprazole pada geriatrik sama dengan pada dewasa yang lebih muda.
  5. Pasien dengan kerusakan hati yang parah; diperlukan penyesuaian dosis
REAKSI OBAT MERUGIKAN YANG UMUM

Efek samping yang terjadi pada sekitar 1% atau lebih pasien yang menerima terapi esomeprazole diantara adalah sakit kepala, diare, mual, perut kembung, sakit perut, sembelit dan mulut kering. Efek samping pada pemberian esomeprazole IV hampir sama dengan oral.

INTERAKSI OBAT
  1. Obat-obat yang dimetabolisme melalui enzim mikrosomal hati; mungkin terjadi interaksi farmakokinetik dengan obat-obat yang dimetabolisme melalui sitokrom P-450 (CYP) isoenzim 2C19 (esomeprazole menyebabkan penghambatan metabolisme)
  2. Obat-obat yang tergantung pH lambung, misal ketokonazole, garam besi, dan digoksin penyerapan obat tersebut dipengaruhi oleh pH lambung. 
  3. Warfarin; terjadi peningkatan INR dan waktu protrombin
  4. AINS

Sumber
AHFS

Rabu, 29 Agustus 2012

PENGARUH INFLUENZA PADA WANITA HAMIL


INFLUENZA atau yang lazim disebut flu adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus. Kelompok virus yang menyebabkan influenza ini adalah tipe virus RNA dari famili Orthomyxoviridae yang sering menyerang unggas dan manusia. Menggigil, demam, sakit tenggorokan, nyeri otot, sakit kepala, batuk, kelelahan/kelemahan adalah gejala umum influenza. Influenza sering kali dianggap sebagai penyakit ringan yang akan sembuh dengan sendirinya, sehingga penanganannya sering kali diabaikan. Bagaimana bila influenza ini terjadi pada wanita hamil? apakah pengaruhnya terhadap kehamilan dan janin yang dikandungnya?

Tulisan ini akan merangkum pengaruh-pengaruh influenza pada wanita hamil dan janin yang dikandungnya.

Vaksinasi influenza selama kehamilan telah terbukti mengurangi resiko influenza dan komplikasinya selama masa kehamilan hingga bayi berusia 6 bulan. Untuk menilai potensi manfaat dan resiko terkait penggunaan vaksin influenza ini maka perlu untuk memeriksa/menguji resiko influenza dan komplikasinya yang terjadi selama kehamilan dan bayi yang akan dilahirkannya. Wanita hamil memiliki resiko morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi selama terjadinya epidemi dan pandemi influenza. Bayi baru lahir dari ibu yang menderita influenza selama kehamilannya, terutama pada influenza yang parah berpotensi mengalami hal-hal merugikan seperti kelahiran prematur dan bobot bayi lahir rendah. Bayi berusia 6 bulan yang terinfeksi virus influenza memiliki tingkat perawatan rumah sakit dan kematian yang lebih tinggi dibandingkan bayi-bayi lainnya yang tidak terinfeksi virus influenza.

Keputusan penggunaan vaksin influenza selama kehamilan harus benar-benar didasarkan pada rasio manfaat dan kerugiannya. Untuk sepenuhnya memahami manfaat vaksin ini maka kita harus mengetahui komplikasi-komplikasi yang berhubungan dengan infeksi virus influenza tersebut baik pada si ibu maupun janin. Selain itu berdasarkan hasil uji acak menunjukan bahwa vaksinasi influenza juga melindungi bayi dari serangan influenza hingga usianya 6 bulan.

Pengaruh Influenza selama Masa Kehamilan pada Wanita Hamil
Berdasarkan pada data pandemi dan epidemi influenza musiman, wanita hamil yang terserang influenza akan lebih mungkin mengalami komplikasi yang berat sehubungan dengan influenza tersebut dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya. Selama masa kehamilan, perubahan fisiologis dan imunologis mempengaruhi sistem pernafasan, kardiovaskular dan sistem organ lainnya sehingga wanita hamil ini memiliki resiko mengalami komplikasi yang infeksi yang lebih besar. Sistem kekebalan wanita yang hamil akan beradaptasi untuk mentoleransi kehadiran gen asing janin. Bagaimana mekanisme adaptasi tersebut tidak diketahui secara jelas, namun tampaknya kekebalan humoral memainkan peranan penting dalam hal ini. Adaptasi imunologik tersebut meningkatkan resiko komplikasi yang berhubungan dengan infeksi tertentu, termasuk infeksi akibat virus influenza.



Perubahan pada sistem pernafasan dan kardiovaskular mencakup peningkatan denyut jantung, volume stroke, konsumsi oksigen dan penurunan kapasitas paru. Perubahan tersebut meningkatkan keparahan pada wanita hamil yang terinfeksi influenza.

Data studi menunjukan bahwa  wanita hamil yang terinfeksi virus influenza lebih mungkin mengalami komplikasi dan karena memerlukan perawatan intensif di rumah sakit. Terutama bila infeksi terjadi pada trimester ketiga kehamilan.


       Gambar I
     Virus Influenza

Cox et.al melakukan studi terhadap database rumah sakit selama tahun 1998-2002 dan menemukan data bahwa proporsi rawat inap ibu hamil dengan penyakit pernafasan secara substansial meningkat selama musim wabah influenza (3,4 per 1000 pasien dibanding 1,8 per 1000 pasien pada masa selain musim wabah influenza). Perempuan hamil dengan kondisi komorbiditas (misal penyakit jantung kronis, penyakit paru kronis, diabetes melitus, penyakit ginjal kronis, tumor dan gangguan imunosupresif) 3 kali berpotensi meningkatkan resiko perawatan wanita hamil selama masa wabah influenza.

Fakta terbaru tentang pandemi influenza A (H1N1)-pdm09 (2009 H1N1) memberikan bukti bahwa wanita hamil beresiko tinggi mengalami komplikasi influenza yang parah. Data wanita hamil yang dibandingkan dengan wanita usia produktif yang tidak hamil atau penduduk umum, menunjukan bahwa perempuan hamil beresiko memerlukan perawatan rawat inap yang lebih tinggi bahkan dengan perawatan intensif dan dapat berakibat kematian terkait dengan 2009 H1N1. Data bulan pertama sejak munculnya 2009 H1N1 di Amerika Serikat menunjukan bahwa wanita hamil beresiko 4 kali lebih besar memerlukan perawatan rumah sakit.

Dalam data pengamatan tersebut menunjukan bahwa wanita hamil yang menerima terapi antivirus yang dimulai sejak 2 hari setelah timbulnya gejala terkait 2009 H1N1, mengalami penurunan gejala dan relatif lebih rendah dalam hal perlunya perawatan di rumah sakit.

Studi observasi menunjukan bahwa terapi wanita hamil dengan 2009 H1N1 dengan inhibitor neurominidase yang dimulai dalam 48 jam sejak timbulnya gejala, wanita hamil tersebut mengalami penurunan gejala dan dengan resiko komplikasi yang lebih rendah. Beberapa manfaat klinis lebih terlihat pada pasien yang menerima terapi antiviral dalam 3-4 hari setelah timbulnya gejala dibandingkan dengan pasien yang menerima antiviral setelah lebih dari 4 hari sejak munculnya gejala.

Data pandemi H1N1 2009 juga menunjukan tingginya resiko komplikasi influenza pada wanita pasca melahirkan. Dari 15 kasus wanita pasca melahirkan yang dilaporkan menderita komplikasi influenza, 6 diantaranya memerlukan perawatan intensif karena parahnya komplikasi dan 3 diantaranya meninggal dunia. Resiko tertinggi terjadi pada minggu pertama pasca melahirkan.



Meskipun pemberian antiviral influenza selama masa kehamilan terbukti memberikan manfaat, namun demikian antiviralnya ini juga mempengaruhi perkembangan janin. FDA mengklasifikasikan antiviral ini kedalam kategori C untuk kehamilan, sehingga banyak pihak yang enggan menggunakan sediaan ini.




                                                                                                     



Senin, 27 Agustus 2012

PERANAN PEPTIDA NATRIURETIK DAN METABOLISME LEMAK



Adanya keterkaitan yang sangat erat antara gangguan metabolik dan penyakit kardiovaskular telah diyakini secara umum. Keyakinan selama ini memfokuskan adanya kondisi metabolik seperti resistensi insulin dan obesitas yang menyebabkan terjadinya kelainan kardoivaskular.

Pada tahun 1980an diketahui bahwa jantung dapat mempengaruhi fungsi organ lain secara endokrin. Jantung melepaskan sejumlah hormon yang disebut sebagai peptida natriuretik (natriuretic peptides). Kerja klasik dari peptida-peptida tersebut adalah natriuresis, diuresis dan vasodilatasi dan secara bersama-sama berfungsi melawan kelebihan tekanan dinding jantung. Namun reseptor-reseptor peptida natriuretik ini tidak terbatas pada ginjal dan pebuluh darah. Ada dugaan salah satu jaringan target peptida ini adalah lemak, yang kaya akan reseptor yang mengikat peptida natriuretik arteri dan peptida natriuretik tipe-B (NPR-A) serta reseptor yang memungkinkan pembersihannya (NPR-C).

Hingga saat ini pengetahuan mengenai pentingnya peptida natriuretik pada lemak masih sangat terbatas. Sebuah studi eksperimental menunjukan bahwa peptida natriuretik berperan sebagai regulator metabolik dengan merangsang lipolisis (pemecahan lemak) dengan cara yang sama dengan adanya katekolamin. Pengujian pada tikus menunjukan bahwa tikus yang dilindungi dengan peptida natriuretik tipe B terhindar dari masalah kelebihan berat badan dan intoleransi glukosa ketika diberi diet tinggi lemak.

Dalam studi yang dilakukan oleh Bordicchia dan koleganya menggambarkan secara lebih detail mengenai mekanisme biologis tersebut. Para peneliti ini memeriksa rekayasa genetika tikus yang kekurangan NPR-C. Tikus tersebut mengalami peningkatan kadar peptida natriuretik karena rendahnya bersihan peptida natriuretik tersebut pada organ target. Para peneliti ini tidak hanya menemukan adanya penurunan masa lemak pada kelompok tikus yang kekurangan NPR-C dibandingkan dengan tikus liar, namun juga melakukan pengukuran level adiposit coklat.

Adiposit coklat sebagai oposisi adiposit putih merangsang peningkatan penggunaan energi dan pembentukan panas (thermogenesis), menggeser keseimbangan metabolisme menuju konsumsi kalori berlebih. Dengan demikian peningkatan adiposit coklat yang dikombinasi dengan peningkatan lipolisis memberikan mekanisme menguntungkan dari petida natriuretik terhadap efek metabolik.

Para peneliti ini lebih lanjut mengkonfirmasi manfaat peptida natriuretik dengan cara mengobati tikus liar dengan memberinya infus peptida natriuretik. Pengobatan meningkatkan ekspresi gen terkait adiposit coklat dalam beberapa jaringan depot adiposa.

Borcchidia dan koleganya juga melakukan eksperimen dalam dua baris sel terpisah dari manusia; yaitu sel adiposa induk dan sel adiposa subkutan. Dalam percobaan ini diketahui bahwa pemberian paptida natriuretik arteri secara signifikan meningkatkan transkrip gen terkait adiposit coklat, biogenesis mitokondria dan konsumsi oksigen selular. Uji ini mengindikasikan bahwa tindakan tersebut dimediasi oleh dua kinase spesifik  yang meningkatkan efek aktivasi beta-adrenergik.

Pemicu hemodinamika klasik dari peptida natriuretik adalah sejumlah stimulus termasuk penurunan berat badan, olahraga, dan paparan dingin. Hal ini menarik kemungkinan bahwa peptida natriuretik berkontribusi menguntungkan pada efek metabolik pada seseorang yang melakukan modifikasi gaya hidup.



Sumbet
Artikel asli dapat didownload disini

PENGGUNAAN ASPIRIN DALAM PENCEGAHAN KEKAMBUHAN TROMBOEMBOLISME VENA



TROMBOEMBOLISME adalah suatu kondisi dimana terbentuk gumpalan (trombus) pada pembuluh darah yang kemudian gumpalan tersebut terlepas dan terbawa bersama aliran darah dan menimbulkan penyumbatan pembuluh darah lain. Gumpalan ini terbentuk akibat adanya pembekuan darah yang melebihi ukuran normal. Pembekuan darah ini umumnya terjadi pada pembuluh darah vena, namun kadang juga terjadi pada pembuluh darah arteri. Trombosis atau gumpalan yang terjadi baik pada pembuluh darah vena maupun arteri disebut dengan istilah tromboembolisme vena atau venous thromboembolism (VTE).

Gumpalan tersebut dapat menyumbat pembuluh darah pada paru-paru (embolisme paru/pulmonary embolism), otak (stroke), saluran pencernaan, ginjal atau kaki. Pada orang dewasa, tromboembolisme ini sangat beresiko meningkatkan angka kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas). Gumpalan yang menyumbat organ-organ vital seperti paru-paru, otak, ginjal atau jantung dapat berakibat fatal berupa terjadinya kerusakan organ-organ tersebut, dan bahkan dapat mengakibatkan gagalnya organ tersebut.

Uji laboratorium seperti uji produk degradasi fibrin (FDP, fibrin degradation products), waktu protrombin (PT, prothrombin time), waktu tromboplastin parsial (PTT, partial thromboplastin time), fibrinogen dan hitung plasma akan membantu mendiagnosis kondisi tromboembolisme tersebut.

Pengobatan tromboembolisme umumnya dengan menggunakan antikoagulan/pengencer darah (misal warfarin), aspirin (asam asetil salisilat), atau pun vasodilator. Vasodilator bekerja dengan memperlebar dan mengendurkan/merelaksasi pembuluh darah sehingga berpeluang mengurangi resiko terjadinya penyumbatan pembuluh darah.

Menurut sebuah studi yang dipublikan dalam The New England Journal of Medicine yang berjudul Aspirin for Preventing Recurrence of Venous Thromboembolism disebutkan bahwa pemberian aspirin berpotensi mengurangi resiko kekambuhan tromboembolisme vena pada pasien dengan tromboembolisme vena yang telah menghentikan penggunaan antikoagulan tanpa adanya peningkatan resiko pendarahan mayor.


Studi tersebut dilakukan dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa sekitar 20% pasien dengan tromboembolisme vena akan mengalami kekambuhan sekitar 2 tahun setelah dihentikannya terapi antikoagulan oral. Sedangkan penggunaan antikoaulan dalam jangka waktu lama beresiko meningkatkan pendarahan. Sementara itu penggunaan aspirin dalam pencegahan kekambuhan tromboembolisme vena tersebut belum diketahui secara pasti.


Peran aspirin dalam pencegahan tromboembolisme vena primer telah dievaluasi pada berbagai uji klinis. Sedangkan dalam studi ini, aspirin dikaitkan dengan pengurangan resiko yang berkisar antara 20-50%.

Dari hasil studi ini dapat disimpulkan bahwa aspirin memang berperan mengurangi resiko kekambuhan tromboembolisme vena, dimana angka kekambuhan tromboembolisme vena pada pasien yang diterapi dengan aspirin adalah sebesar 6,6% dibandingkan dengan kelompok plasebo yang angka kekambuhannya sebesar 11,2%.


Senin, 13 Agustus 2012

PENGGUNAAN ASETILSISTEIN PADA KASUS INTOKSIKASI PARASETAMOL



Parasetamol atau asetaminofen merupakan obat yang bisa dikatakan paling banyak digunakan. Sebagai obat bebas, parasetamol diindikasikan sebagai analgesik, antipiretik dan sedikit efek antiinflamasi. Namun penggunaan parasetamol sering dihubungkan dengan peristiwa keracunan/intoksikasi hati (hepatotoksisitas), sehingga diperlukan adanya agen penangkal hepatotoksisitas tersebut. Sisteamin adalah agen pertama yang digunakan sebagai antidot (antiracun) parasetamol, menyusul kemudian digunakan pula asetilsistein.

Prescott dan Mathew pertama kali mengusulkan penggunaan asetilsistein sebagai antidot parasetamol pada tahun 1974. Usul tersebut dipicu oleh ketidaktersediaan sisteamin yang telah lebih dulu digunakan sebagai antidot parasetamol tersebut. Pada tahun 1977 Prescott et al. mendeskripsikan pengobatan 15 pasien dengan intoksikasi parasetamol dengan menggunakan sediaan intravena asetilsistein 20% dalam larutan steril dengan pembawa air. Dengan cara pemberian peroral asetilsistein juga dapat memperbaiki khasiat obat tersebut, namun karena sebagian besar dosis melewati hati, maka muncul perdebatan apakah cara pemberian yang terbaik untuk asetilsistein, apakah secara intravena atau oral.

MEKANISME KERJA

Sekitar 4% parasetamol dimetabolisme menjadi N-acetyl-p-benzoquinoneimine (NAPQI) melalui sistem oksidase diberbagai isoenzim CYP dari enzim sitokrom P-450. Hal ini berpotensi terjadinya keracunan antara konjugat dengan glutation, yang kemudian membentuk metabolit nontoksik sistein dan konjugasi asam merkapturat. Sedangkan dalam kondisi overdosis, persentase yang lebih besar dari parasetamol ini dimetabolisme melalui isoenzim CYP, sehingga terjadi defisiensi glutation yang menyebabkan terbentuknya NAPQI dalam jumlah lebih besar. Adanya NAPQI menyebabkan terjadinya nekrosis sentrilobular hati. Asetilsistein berperan mencegah berikatannya NAPQI dengan hepatosit, sehingga mencegah terjadinya hepatotoksisitas.

ASETILSISTEIN SEBAGAI ANTIDOT

Prescott et al. dan Smilkstein dan kolega mempublikasikan makalah yang menunjukan kemanjuran asetilsistein oral dan intravena pada penanganan intoksikasi parasetamol. Prescott et al. menyatakan bahwa pemberian asetilsistein 300 mg/Kg intavena selama lebih dari 20 jam (Dosis awal 150 mg/Kg infus selama lebih dari 15 menit, diikuti dengan 50 mg/Kg selama lebih dari 4 jam dan kemudian 100 mg/Kg selama lebih dari 16 jam) dapat mencegah toksisitas hati pada semua pasien dengan intoksikasi parasetamol yang mengalami overdosis dalam 8 jam.

Smilkstein et al. melakukan studi restrospektif besar penggunaan asetilsistein oral pada kasus intoksikasi parasetamol. Loading dose 140 mg/Kg diberikan, diikuti 4 jam kemudian diberikan 70 mg/Kg yang dilanjutkan dosis tersebut setiap 4 jam hingga 17 dosis. Mereka menemukan bahwa rejimen oral asetilsistein selama 72 jam memberikan efektivitas yang sama seperti prosedur yang dinyatakan oleh Prescott et al, yaitu terapi intravena selama 20 jam. Lebih lanjut Smilklein berspekulasi bahwa ada kemungkinan pemberian asetilsistein peroral lebih bermanfaat daripada terapi secara intravena pada pasien intoksikasi parasetamol dengan keterlambatan penanganan lebih dari 10 jam, karena dosis persiapan yang lebih tinggi dan periode terapi yang lebih lama.

Lebih lanjut Smilklein juga mempelajari efektivitas dosis tinggi asetilsistein secara intravena (Loading dose 140 mg/Kg diikuti dengan 70 mg/Kg setiap 4 jam) selama 48 jam. Hasil pengujian prosedur ini menunjukan bahwa efektivitasnya sama dengan prosedur asetilsistein oral selama 72 jam yang dimulai pada 10 jam setelah terjadinya intoksikasi parasetamol. Prosedur intravena selama 48 jam lebih efektif dibandingkan prosedur 20 jam pada pengobatan yang tertunda.

Woo et al. melakukan studi retrospektif terhadap 75 pasien dengan intoksikasi parasetamol untuk mengevaluasi khasiat dan keamanan asetilsistein oral hingga parasetamol tak lagi terdeteksi dalam serum. Semua pasien mengalami tingkat keracunan dalam serum dan dirawat dalam 24 jam setelah terjadinya overdosis parasetamol. Loading dose asetilsistein secara oral sebesar 140 mg/Kg dan diikuti dengan dosis pemeliharaan sebesar 70 mg/Kg setiap 4 jam hingga parasetamol tak lagi terdeteksi dalam serum. Sepertiga pasien dirawat kurang dari 24 jam, sepertiga pasien dirawat selama 24-36 jam dan sepertiga lainnya dirawat selama 37-64 jam. 6 pasien diantaranya mengembangkan hepatotoksisitas (yakni konsentrasi aminotransferase lebih dari 1000 IU/L), 2 pasien dari kelompok perawatan 24-36 jam dan 4 pasien dari kelompok perawatan 37-64 jam. 3 Pasien diantaranya dirawat 13 jam setelah menelan parasetamol. Hasil studi ini mirip dengan hasil studi sebelumnya.

ASETILSISTEIN ORAL VS INTRAVENA

Pemberian asetilsistein oral atau pun intravena memberikan efektivitas yang sama pada penanganan intoksikasi parasetamol jika diberikan dalam rentang waktu 8-10 jam sejak terjadinya intoksikasi, dan dengan catatan pemberian oral dapat ditoleransi dengan baik. Perry dan Shannon membandingkan prosedur pemberian asetilsistein dalam 52 jam pemberian asetilsistein secara intravena (loading dose 140 mg/Kg, diikuti dengan dosis pemeliharaan 70 mg/Kg yang diberikan dalam 12 dosis) dengan prosedur pemberian asetilsistein selama 72 jam seperti yang dilakukan oleh Smilklein. Dari hasil uji tersebut dinyatakan bahwa efektivitasnya serupa. Hepatotoksisitas tidak terjadi pada pasien yang diobati dengan asetilsistein dalam waktu kurang dari 10 jam setelah terjadinya intoksikasi.

PENGGUNAAN ASETILSISTEIN PADA WANITA HAMIL

Dalam sebuah studi prospektif yang dilakukan oleh Riggs et al. mengevaluasi manfaat pengobatan asetilsistein oral pada wanita hamil. Dalam studi ini 60 pasien hamil yang menelan parasetamol diteliti, 24 pasien diantaranya memiliki konsentrasi plasma parasetamol yang melebihi konsentrasi terapeutik. 10 pasien diantaranya menerima terapi asetilsistein dalam waktu 10 jam sejak menelan parasetamol, 10 pasien diterapi setelah 10-16 jam setelah menelan parasetamol dan 4 pasien diterapi setelah 16-24 jam setelah menelan parasetamol. Berdasarkan analisis regresi logistik ganda menunjukan adanya korelasi signifikan antara resiko kematian janin dan keterlambatan permulaan terapi dengan asetilsistein. Manfaat terapi asetilsistein lebih awal pada wanita hamil dengan intoksikasi parasetamol lebih besar dibanding dengan resiko pengobatannya.

EFEK MERUGIKAN

Reaksi Anafilaksis setelah Intoksikasi Parasetamol
Reaksi anafilaksis terhadap asetilsistein yang mungkin dihasilkan akibat pelepasan histamin, secara umum terjadi pada 3-6% pasien intoksikasi parasetamol, meskipun penelitian terbaru menunjukan tingkat kejadian reaksi anafilaksis yang lebih tinggi hingga mencapai 48%. Gejala ini meliputi gatal-gatal, ruam, angiodema, bronkospasme, takikardia, hipotensi, mual dan muntah. Reaksi anafilaksis ini umumnya terjadi 30 menit setelah loading dose infus. Pemberian asetilsistein oral meminimalisir terjadinya reaksi ini.

Summan et al. menemukan bahwa reaksi anafilaksis lebih sering terjadi pada pasien dengan overdosis iatrogenik asetilsistein (73%) dibandingkan pada pasien yang tidak overdosis (3%). Dari studi ini disimpulkan bahwa hipotensi lebih sering terjadi pada pasien dengan overdosis, sedangkan pruritus, angiodema dan bronkospasme lebih sering terjadi pada pasien yang menerima asetilsistein pada dosis terapeutik.

Ada juga laporan studi yang berhubungan dengan adanya korban jiwa sehubungan penggunaan asetilsistein. Dalam sebuah penelitian kuesioner dilaporkan dari 19 kasus overdosis asetilsistein, 15 pasien diantaranya menunjukan gejala klinis yang memerlukan evaluasi lebih lanjut, dan 2 pasien meninggal setelah menerima antara 2,5-10 loading dose asetilsistein intravena yang direkomendasikan. Namun belum jelas diketahui apakah asetilsistein berkontribusi sebagai penyebab kematian tersebut.

Reaksi Anafilaksis pada Pasien tanpa Intoksikasi Parasetamo
Pasien yang diterapi dengan asetilsistein, sedangkan kadar parasetamol serum berada dalam rentang kadar terapeutik atau nontoksik beresiko mengembangkan reaksi anafilaksis. Dawson et al. menyatakan bahwa pasien tanpa intoksikasi parasetamol yang menerima terapi asetilsistein, akan mengembangkan efek merugikan dari asetilsistein tersebut. Namun dia tidak menjabarkan efek-efek buruk tersebut.

Bronkospasme
Asetilsistein dapat menginduksi bronkospasme pada pasien-pasien asma akibat adanya pelepasan histamin lokal atau karena adanya penghambatan tachyphylaxis terhadap alergen.

Status Epileptikus
Ada laporan studi yang mengaitkan status epileptikus sehubungan penggunaan asetilsistein. Hal ini terjadi pada pasien dengan overdosis asetilsistein.

KESIMPULAN

Pemberian asetilsistein oral dalam kurun waktu 8-10 jam setelah terjadi intoksikasi parasetamol mampu mencegah terjadinya toksisitas hati pada mayoritas pasien yang mampu mentoleransinya dengan baik dan penggunaannya tidak dikontraindikasikan. Pemberian asetilsistein intravena harus diberikan pada pasien yang telah mengalami intoksikasi parasetamol lebih dari 10 jam atau karena adanya kondisi tertentu yang menghambat pemberian asetilsistein secara oral. Reaksi anafilaksis yang cukup jarang terjadi, lebih sering terjadi pada pemberian sediaan intravena dibanding oral.



Sumber:

Comparison of oral and i.v. acetylcysteine 
in the treatment of acetaminophen poisoning


American Society of Health-System Pharmacist



Jumat, 10 Agustus 2012

SINDROME SEROTONIN


Sindrome serotonin adalah reaksi obat merugikan (ROM) yang berpotensi mengancam jiwa atau mengakibatkan kematian. Reaksi tersebut dapat terjadi pada pemakain obat untuk tujuan terapeutik tertentu, atau upaya yang disengaja untuk meracuni diri sendiri, atau pun akibat interaksi dengan obat tertentu yang tidak disengaja. Untuk memahami tentang sindrome serotonin ini, maka terlebih dahulu harus dipahami hal-hal berikut:
Pertama, sindrome serotonin bukanlah reaksi obat yang idiopatik (tidak dikatahui penyebabnya), melainkan suatu konsekuensi dari kelebihan agonisme serotonin yang dapat diprediksi pada reseptor sistem syaraf pusat dan reseptor seretonergik perifer.
Kedua, Kelebihan serotonin menghasilkan spektrum temuan klinis.
Ketiga, manivestasi klinis dari sindrome serotonin ini dapat tidak terlihat hingga mengakibatkan terjadinya kematian.

Kasus kematian Libby Sion pada usia 18 tahun pada sekitar 20 tahun lalu merupakan salah satu contoh kasus sindrome serotonin yang cukup tragis. Sebuah reaksi obat yang terjadi akibat pemberian bersama meperidin dan fenelzine. Yang memprihatinkan dari kasus ini adalah karena pada dasarnya reaksi obat merugikan tersebut dapat dicegah.

DEFINISI DAN EPIDEMIOLOGI

Sindrome serotonin sering digambarkan sebagai kondisi klinis dimana terjadi perubahan status mental, hiperaktivitas autonom, dan kelainan neuromuskular namun tidak semua gejala klinis tersebut hadir pada kondisi pasien dengan sindrome serotonin tersebut. Tanda-tanda kelebihan serotonin dapat berkisar dari tremor dan diare pada gejala ringan hingga terjadinya delirium, kekakuan neuromuskular, dan hipertermia yang mengancam jiwa. Yang menjadi masalah dalam kasus ini adalah bahwa gejala-gejala ringan sering kali diabaikan, dan dengan adanya peningkatan dosis penyebab atau obat proserotonergik dapat mengakibatkan kerusakan klinis yang dramatis.

Insiden sindrome serotonergik diduga mencerminkan meningkatnya penggunaan agen proserotonergik dalam praktek klinis. Pada tahun 2002, The Toxic Exposure Surveillance System mencatat bahwa berdasarkan data peresepan yang diperoleh dari dokter praktek, pasien rawat inap, dan instalasi gawat darurat dari 26.733 pasien yang menerima resep selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) 7349 pasien diantara mengalami efek toksik yang signifikan dan mengakibatkan kematian pada 93 pasien diantaranya. Penilaian akan kemungkinan sindrome serotonin selama ini selalu didasarkan pada studi dan pengawasan post market. Penilaian epidemiologi yang ketat akan sulit dilakukan karena umumnya dokter kurang menyadari sindrome serotonin ini sebagai diagnosa klinis. Sindrome ini umumnya terjadi pada 14-16% pasien yang over dosis pada penggunaan SSRI.

Sindrome serotonin dapat terjadi pada berbagai situasi klinis, namun demikian beberapa kondisi menghambat kemampuan dokter mendiagnosis kondisi tersebut, diantara karena:
  1. Sindrome mungkin terlewatkan karena manivestasi proteannya. Dokter dan pasien dapat menghentikan gejala seperti tremor yang disertai diare atau hipertensi karena dianggap sebagai gejala yang tidak penting dan tidak berhubungan dengan terapi obat yang sedang dijalani. Kemudian gejala kecemasan dan akathisia hanya dianggap sebagai masalah kondisi kejiwaan.
  2. Aplikasi ketat dari kriteria diagnostik yang diusulkan oleh Sternbach berpotensi mengesampingkan hal-hal yang dianggap sebagai gejala ringan, kasus awal atau gangguan subakut.
  3. Dokter tidak dapat mendiagnosa kondisi yang mana mereka tidak menyadarinya, meskipun sindrome serotonin ini tidak jarang telah berhasil diidentifikasi pada pasien pada segala usia, baik orang tua, anak-anak atau bayi baru lahir sekali pun.
Sejumlah obat atau kombinasi obat yang terbukti mencolok mengakibatkan sindrome serotonin diantaranya adalah:
  1. Selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI); sertraline, fluoxetin, fluvoxamin, paroxetin, citalopram
  2. Obat antidepresan; trazodon, nevazodon, buspiron, klomipramin, dan venlafaxine
  3. Monoamine oksidase inhibitor (MAOI); fenelzine, moklobemide, klorgiline, dan isokarboksazide
  4. Antikonvulsan; valproate
  5. Analgesik; meperidin, fentanil, tramadol dan pentasozin
  6. Antimuntah; ondansetron, granisetron dan metoklopramide
  7. Antimigrain; sumatriptan
  8. Obat bariatrik; sibutramin
  9. Antibiotik; linezolide (MAOI), dan ritonavir (melalui penghambatan sitokrom P-450 enzim isoform 3A4)
  10. Obat batuk dan pilek bebas; dekstrometorfan
  11. Penyalahgunaan obat; metilenedioksimethamfetamin (MDMA atau ekstasi), lisergit (LSD)
  12. Suplemen diet dan produk herbal; triptopan, Hypericum perforatum, Panax ginseng (ginseng)
  13. Lithium
Interaksi obat yang berhubungan dengan keparahan sindrome serotonin:
  1. Zoloft, Prozac, Sarafem, Luvox, Paxil, Celexa, Desyrel, Serzone, Buspar, Anafranil, Effexor, Nardil, Manerix, Marplan, Depakote, Demerol, Duragesic,Sublimaze, Ultram, Talwin, Zofran, Kytril, Reglan, Imitrex, Meridia, Redux, Pondimin, Zyvox, Norvir, Parnate, Tofranil, Remeron
  2. Fenelzine dan meperidine
  3. Tranilsipromin dan imipramine
  4. Paroxetine dan buspirone
  5. Linezolide dan citalopram
  6. Moclobemide dan SSRI
  7. Tramadaol, venlafaxine dan mirtazapine
Dosis tunggal SSRI dapat menyebabkan sindrome serotonin. Selain itu obat yang menghambat isoform CYP2D6 dan CYP3A4 yang ditambahkan pada regimen SSRI telah terkait dengan kondisi tersebut. Pemberian agen serotonergik dalam 5 minggu setelah dihentikannya penggunaan fluoxetine menghasilkan puncak interaksi obat yang mengakibatkan sindrome serotonin, hal ini mungkin terjadi karena adanya demetilasi fluoxetine, suatu metabolit aktif fluoxetine yang mempunyai waktu paruh lebih panjang dibanding senyawa induknya. Obat khusus seperti MAOI irreversibel atau yang spesifik menghambat monoamin oksidase subtipe A, berkaitan erat dengan terjadinya sindrome serotonin parah, terlebih bila obat-obat tersebut digunakan dalam kombinasi dengan SSRI.




Gambar 1
Metabolisme dan Biosintesis Serotonin

Serotonin dihasilkan melalui hidroksilasi dan dekarboksilasi l-triptopan. Serotonin kemudian masuk kedalam vesikel dimana ia dibutuhkan untuk neurotransmisi. Setelah stimulasi aktonal, serotonin dilepaskan kedalam ruang intrasinaptik, dimana reseptor presinaptik berfungsi sebagai umpan balik untuk menghambat eksositosis vesikel. Serotonin kemudian terikat pada reseptor postsinaptik untuk efek neurotransmisi. Mekanisme reuptake mengembalikan serotonin ke sitoplasma dari neuron presinaptik dan dikembalikan ke vesikel. Serotonin kemudian dimetabolisme oleh monoamin oksidase subtipe A menjadi asam hidroksiindolasetat.




MANIVESTASI KLINIS

Sindrome serotonin dapat mencakup banyak manivestasi klinis. Pasien dengan kasus ringan mungkin mengalami afebris namun dengan takikardia, sedangkan pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya gejala-gejala seperti menggigil, diaforesis, dan midriasis. Sedangkan pada pemeriksaan neurologis dapat ditemukan adanya tremor atau mioklonus atau hiperrefleksia.

Sedangkan pada kasus yang moderat, sejumlah kelainan dapat terjadi seperti takikardia, hipertensi dan hipertermia. Suhu inti mencapai 40°C merupakan pertanda umum adanya keracunan yang moderat. Sedangkan dari hasil pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya midriasis, bising usus yang hiperaktif, diaforesis dengan warna kulit normal. Yang menarik pada kasus ini, gejala hiperrefleksia dan klonus lebih banyak terjadi pada ekstremitas bawah dibandingkan pada ekstremitas atas. Pasien mungkin menunjukan gejala klonus okular horisontal. Terjadi perubahan status mental termasuk agitasi ringan dan tekanan suara. Pasien juga mungkin bertindak mengejutkan.

Sedangkan pada pasien dengan sindrome serotonin yang parah akan menunjukan gejala hipertensi berat dengan takikardia yang dapat secara tiba-tiba berubah menjadi shok. Pasien juga mungkin mengalami agitasi delirium serta kekakuan otot dan hipertonisitas. Peningkatan tonus otot lebih besar terjadi pada ekstremitas bawah. Hiperaktivitas otot dapat mengakibatkan suhu inti mencapai 41,1°C. Pada kasus sindrome serotonin yang berat abnormalitas laboratorium dapat berupa asidosis, rhabdomyolisis, peningkatan konsentrasi aminotransferase dan kreatinin serum, selain itu terjadi pula kejang, gagal ginjal, dan koagulopati intravaskular disaminata. Berbagai abnormalitas lain juga dapat terjadi sebagai konsekuensi buruknya penanganan hipertermia.


Gambar 2
Berbagai Tanda yang dapat ditemukan pada pasien dengan sindrome serotonin moderat

Onset terjadinya gejala sindrome serotonin umumnya cepat, dengan temuan klinis yang terjadi dalam hitungan menit setelah pemberian obat atau terjadinya keracunan. Sekitar 60% pasien yang mengalami sindrome serotonin ini terjadi dalam 6 jam setelah penggunaan obat, overdosis, atau perubahan dosis. Pasien dengan manivestasi ringan hadir dengan gejala subakut atau kronis, sedangkan pada kasus yang berat dapat berkembang hingga terjadinya kematian. Sindrome serotonin diyakini tidak menghilang secara spontan selama agen menyebab masih tetap diberikan.

PATOFISIOLOGI DAN MEKANISME MOLEKULAR

Serotonin dihasilkan dari dekarboksilasi dan hidroksilasi l-triptopan. Jumlah produksi dan mekanisme aksinya diatur oleh mekanisme reuptake, umpan balik loops dan metabolisme enzim. Reseptor serotonin dibagi menjadi 7 5-hidroksitriptamin (5-HT1 sampai 5-HT7). Selanjutnya keragaman struktur dan operasional dicapai melalui polimorfisme alel, sambatan varian, isoform reseptor, dan pembentukan heterodimer reseptor.

Neuron serotonergik pada sistem syaraf pusat terutama ditemukan diinti raphe garis tengah yang terletak dibatang otak dari otak tengah ke medula. Akhir rostral dari sistem ini membantu pengaturan keadaan terjaga, perilaku afektif, asupan makanan, termoregulasi, migrain, emesis dan perilaku seksual. Neuron dari raphe pons lebih rendah dan medula berpartisipasi dalam regulasi nosisepsi dan motor tone. Pada jaringan perifer, sisitem serotonin membantu dalam regulasi pembuluh darah dan motilitas gastrointestinal.

Tampaknya tidak ada reseptor tunggal yang sepenuhnya bertanggung jawab pada terbentuknya kondisi sindrome serotonin ini, meskipun beberapa bukti menunjukan bahwa reseptor 5-HT1a mungkin berkontribusi pada interaksi farmakodinamik yang menyebabkan peningkatan konsentrasi sinaptik serotonin. Hiperaktivitas noradrenergik sistem syaraf pusat mungkin memainkan peranan penting dalam hal ini karena konsentrasi norepinefrin sistem syaraf pusat meningkat pada kondisi sindrome serotonin.

DIAGNOSIS

Tidak ada tes laboratorium yang dapat digunakan untuk mengonfirmasi kondisi sindrome serotonin ini. Sementara itu adanya tanda-tanda seperti tremor, klonus, akathisia tanpa adanya tanda-tanda ekstrapiramidal tambahan harus mengarahkan dokter untuk kemungkinan diagnosa sindrome ini, yang harus disimpulkan dari sejarah dan pemeriksaan fisik pasien. Untuk mendapatkan riwayat pasien dokter harus menannyakan tentang penggunaan obat-obat bebas maupun resep, obat terlarang dan suplemen makanan karena semua agen tersebut terkait dengan perkembangan sindrome serotonin. Evolusi gejala dan tingkat perubahan juga harus ditinjau ulang. Pemeriksaan fisik harus mencakup penilaian terfokus refleks tendon dalam, klonus, dan kekakuan otot selain ukuran dan reaktivitas pupil, kekeringan pada mukosa mulut, intensitas bising usus, warna kulit dan ada tidaknya diaforesis.

Perbedaan diagnosis antara keracunan antikolinergik, hipertermia malignan, dan sindrome neuroleptik malignan dapat dengan mudah dibedakan berdasarkan sejarah pengobatan pasien. Pasien dengan sindrome antikolinergik memiliki refleks normal dan menunjukan "toxidrome" dari midriasis, gelisah delirium, mukosa mulut kering; panas, kering, eritematosa kulit; retensi urin dan tidak adanya bising usus. Bising usus hiperaktif disertai kelainan neuromuskular, diaforesis dan warna kulit normal membedakan sindrome serotonin dengan toxidrome antikolinergik.

Hipertermia malignan adalah penyakit farmakogenetik yang dikarakteristik oleh konsentrasi tindal akhir karbon dioksida. Penyakit ini terjadi dalam beberapa menit setelah terpapar agen anestesi inhalasi.

Sindrome neuroleptik malignan adalah reaksi idiopatik antagonis dopamin, suatu kondisi yang didefinisikan dengan onset lambat, bradikinesia atau akinesia, kekakuan otot, hipertermia, kesadaran fluktuatif dan ketidakstabilan otonom. Tanda dan gejala sindrome neuroleptik malignan biasanya berkembang selama beberapa hari berbeda dengan onset yang cepat dari hiperkinesia sindrome serotonin. Pengetahuan tentang obat pencetus juga sangat membantu dalam membedakan antar sindrome; antagonis dopamin menghasilkan bradikinesia, sedangkan agonis serotonin menghasilkan hiperkinesia.

MANAJEMEN

Manajemen sindrome serotonin melibatkan hal-hal sebagai berikut:
  1. Penghentian obat pencetus
  2. Perawatan suportif
  3. Kontrol agitasi
  4. Pemberian antagonis 5-HT2a
  5. Kontrol ketidakseimbangan outonom
  6. Kontrol hipertermia
Banyak kasus dari sindrome serotonin dapat teratasi dalam waktu 24 jam setelah dimulainya terapi dan dihentikannya agen serotonergik, tetapi gejala dapat tetap bertahan terutama pada sindrome serotonin yang diakibatkan penggunaan obat serotonergik dengan waktu paruh panjang, adanya metabolit aktif, atau adanya durasi kerja obat yang berkepanjangan. Perawatan pendukung yang meliputi pemberian cairan intravena dan koreksi tanda vital tetap menjadi terapi utama. 

Intensitas terapi tergantung pada keparahan penyakit. Pada kasus ringan (adanya hiperrefleksia dan tremor tanpa adanya demam) biasanya dapat segera diatasi dengan perawatan pendukung, penghentian penggunaan obat pemicu dan pengobatan dengan benzodiazepin. 

Pengelolaan agitasi dengan benzodiazepin sangat penting terlepas dari faktor keparahannya. Benzodiazepin seperti diazepam meningkatkan kelangsungan hidup dari hewan model dan menunmpulkan komponen adrenergik sindrome. 

Terapi farmakologi diarahkan dengan pemberian antagonis 5-HT2a. Siproheptadin adalah terapi yang direkomendasikan untuk terapi sindrome serotonin ini, meskipun khasiatnya belum dievaluasi dengan jelas. Pengobatan sindrome serotonin pada orang dewasa mungkin memerlukan 12-32 mg obat selama periode 24 jam, dosis tersebut mengikat 85-95% reseptor serotonin. Dokter harus mempertimbangkan dosis awal 12 mg siproheptadin dan kemudian 2 mg setiap 2 jam jika gejala masih berlanjut. Dosis pemeliharaan meliputi 8 mg siproheptadin setiap 6 jam. Siproheptadin hanya tersedia dalam bentuk sediaan oral, tetapi tablet dapat hancur dan diberikan melalui tabung nasogastrik. Agen antipsikotik atipikal dengan antagonis reseptor 5-HT2a dapat memberikan keuntungan pada terapi sindrome serotonin ini. Pada pemberian sublingual olanzapine 10 mg dapat diberikan, namun khasiatnya belum dievaluasi dengan baik. Jika dokter menginginkan pemberian obat dengan cara parenteral, maka dapat dipertimbangkan pemberian klorpromazin 50-100 mg, meskipun penggunaan klorpromazin dipandang telah ketinggalan zaman, namun penggunaannya masih dapat dipertimbangkan.

Kontrol outonom meliputi stabilisasi terhadap fluktuasi nadi dan tekanan darah. Hipotensi yang timbul akibat interaksi MAOI harus diobati dengan dosis rendah amina yang bertindak langsung sebagai simpatomimetik seperti norepinefrin, fenilefrin dan epinefrin. Agen tidak langsung seperti dopamin terlebih dahulu dimetabolisme menghasilkan epinefrin dan norepinefrin.

Pengendalian hipertermia melalui penghilangan aktivitas otot yang berlebihan. Meskipun benzodiazepin memiliki efek menguntungkan pada kasus moderat, namun dalam kasus yang sangat berat (dimana suhu mencapai lebih dari 41,1°C) kelumpuhan harus segera diinduksi dengan agen nondepolarisasi seperti vecuronium yang diikuti dengan intubasi dan ventilasi orotrakheal. Dokter harus menghindari penggunaan suksinilkolin karena resiko aritmia dan hiperkalemia terkait rhabdomyolisis. 

Tidak ada peranan yang dapat diberikan oleh antipiretik pada kasus sindrome serotonin ini, karena hipertermia yang terjadi akibat hiperaktivitas otot bukan karena perubahan set point pada hipotalamus.

Terapi dengan propranolol, bromokriptin dan dantrolene tidak dianjurkan. Propranolol merupakan agen antagonis 5-HT1a dengan durasi kerja yang panjang yang dapat menyebabkan hipotensi dan shok pada pasien dengan ketidakstabilan outonom. Bromokriptin suatu agonis dopamin dan dantrolene merupakan terapi yang tidak berguna. Bromokriptin juga terbukti terlibat dalam perkembangan sindrome serotonin, sehingga dapat memperburuk kondisi sindrome serotonin tersebut.

Dalam sebuah studi dilaporkan bahwa penggunaan bromokriptin dan dantrolene menyebabkan peningkatan suhu tubuh secara mendadak yang berpuncak pada kematian. 

Terapi antagonis dengan menggunakan siproheptadin atau klorpromazin mungkin menghasilkan efek yang tidak diinginkan. Dosis siproheptadin yang digunakan dapat menghasilkan efek sedasi, tapi efek ini merupakan salah satu efek yang menjadi tujuan dari terapi, sehingga dokter tidak perlu khawatir dalam penggunaannya. Klorpromazin merupakan agen yang telah ketinggalan zaman yang dikaitkan dengan hipotensi ortostatik berat yang dapat memperburuk hipertermia. 

PENCEGAHAN

Sindrome serotonin dapat dihindari dengan cara kombinasi penelitian farmakogenomik, edukasi dokter, modifikasi peresepan dan penggunaan kemajuan teknologi. Penerapan prinsip-prinsip farmakogenomik dapat berpotensi melindungi pasien dari resiko sindrome serotonin sebelum pemberian agen serotonergik. 

Setelah toksisitas terjadi, konsultasi dengan toksikologi medis untuk membantu dokter tersebut dalam mengatasi dampak buruk sindrome serotonin. Menghindari regimen multi obat sangat berperan dalam menghindari sindrome serotonin.



Sumber
The New England Journal of Medicine
www.nejm.org

PROLAKTINOMA


PROLAKTINOMA: Istilah prolaktinoma tentu bukanlah istilah yang mudah dimengerti oleh klalayak umum. Tulisan ini akan berusaha mengulas apa dan bagaimana penanganan prolaktinoma tersebut. Semoga tulisan ini bermanfaat. 

Tulisan ini adalah tulisan yang disarikan dari sebuah artikel yang dirilis di website The New England Journal of Medicine. Tulisan ini diawali dengan sebuah ulasan permasalahn klinis, baru kemudian dijabarkan permasalahan tersebut dilanjutkan dengan cara-cara penanganannya.

Urain kasus:
Seorang pria dengan usia 42 tahun menyampaikan keluhan mengalami penurunan libido, disfungsi ereksi dan sakit kepala. Dia mengatakan tidak ada perubahan berat, ginekomastia, kelelahan atau pun gejala-gejala lainnya. Dia tidak mengkonsumsi obat tertentu. Pada pemeriksaan ukuran testis mengecil. Kadar prolaktin serum meningkat hingga 648 Âµg/L (normalnya <15  Âµg/L ). Dari pemeriksaan dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI) menunjukan adanya massa sellar (2,5 by 1,5 by 2,0 cm) yang berada 5 mm dibawah kiasme optik dan memanjang bilateral ke dalam sinus kavernosa. Apa pertimbangan diagnostik dan terapeutik untuk kasus ini?

PROBLEM KLINIS

Prolatinoma adalah salah satu jenis tumor pituitari sekretorik yang paling umum. Prolaktinoma pada dasarnya adalah tumor jinak yang diklasifikasikan berdasarkan ukurannya, yaitu mikroadenoma yaitu prolaktinoma dengan ukuran diameter kurang dari 10 mm, dan makroadenoma dengan ukuran diameter lebih dari atau sama dengan 10 mm. Kadar prolaktin serum pada penderita prolaktinoma umumnya sebanding ukuran tumor. Pasien dengan makroprolaktinoma/makroadenoma umumnya memiliki kadar prolaktin serum diatas 250 Âµg/L hingga lebih dari 10.000 Âµg/L. Mikroadenoma pituitari ditemukan pada 10,9% dari otopsi, dan 44% dari mikroadenoma adalah prolaktinoma. Meskipun prolaktinoma umumnya bukan karena faktor keturunan/ herediter, namun prolaktinoma dapat menjadi bagian dari sindrome neoplasia ganda tipe 1. Tidak ada faktor resiko yang didefinisikan untuk prolaktinoma sporadis. Meskipun pernah dihipotesiskan bahwa kontrasepsi oral berhubungan dengan prolaktinoma, namun hal ini belum ada bukti yang mendukung hipotesis tersebut.

Tanda-tanda dan gejala klinis hiperprolaktinoma pada perempuan diantaranya oligomenorhea, infertilitas dan galaktorhea. Pada wanita dengan hiperprolaktinemia yang terus mengalami menstruasi, abnormalitas fase luteal dapat menyebabkan infertilitas. Kekurangan estrogen pada wanita amenorrheik dengan prolaktinoma yang tak terobati menyebabkan rendahnya massa tulang yang berhubungan dengan peningkatan resiko patah tulang, sedangkan pada wanita dengan siklus menstruasi yang teratur akan mengalami kepadatan tulang yang lebih terjaga. Besarnya prolaktinoma juga dapat menyebabkan insufisiensi gonadotropin karena efek massa (kompresi gonadotropin normal). 

Pada pria hiperprolaktinemia dapat menyebabkan hipogonadisme, penurunan libido, disfungsi ereksi, infertilitas, ginekomastia, dan dalam beberapa kasus dapat pula terjadi galaktorhea namun jarang. Penurunan massa tulang dan anemia juga dapat terjadi karena kurangnya kadar testosteron. Berbeda dengan wanita yang umumnya mengunjungi dokter ketika masih dalam keadaan mikroadenoma, kebanyakan pria umumnya telah mengalami makroadenoma, yang sering disertai dengan keluhan sakit kepala, gangguan visual/penglihatan, atau keduanya selain hipogonadisme. Semakin besar ukuran tumor pada pria menandakan lambatnya proses diagnostik, meski mungkin juga ada jenis tumor yang berbeda terkait kelamin yang dapat terjadi pada pria. Meskipun jarang, prolaktinoma juga dapat terjadi pada anak-anak, dengan efek massa, keterlambatan pubertas atau keduanya.

EVALUASI

Evaluasi prolaktinoma harus dimulai dengan mempertimbangkan fisiologis, termasuk kehamilan pada wanita usia subur. Interpretasi hiperprolaktinemia postpartum (pasca melahirkan) tergantung pada berapa lama sejak wanita tersebut menyusui. Kadar prolaktin umumnya akan kembali normal sekitar 6 bulan setelah wanita tersebut berhenti menyusui. Tingginya kadar prolaktin juga terjadi pada gagal ginjal atau gagal hati, hipertiroidisme, atau stimulasi neurogenik, seperti yang terjadi pada pasien dengan cedera dada atau stimulasi puting. Selain prolaktinoma, tumor pituitari juga dapat terjadi yang disebabkan oleh hipersekresi hormon lainnya. Sekresi prolaktin dibawah kendali penghambatan tonus oleh hipotalamus dopamin, level prolaktin dapat meningkat karena adanya adenoma pituitari lainnya, penyakit inflamasi seperi limfositik hipofisitis atau kista. Oba-obat yang dapat meningkatkan tingginya kadar prolaktin diantaranya:
  • Antidepresan dan antipsikotik (khususnya risperidon)
  • Dopaminergik bloker (misal: metoklopramide)
  • Antihipertensi 
  • Opiat
  • Antagonis reseptor H2
Peningkatan kadar prolaktin yang dihasilkan dari kompresi batang jarang melebihi 150 Âµg/L, namun penggunaan antipsikotik atau metoklopramide dapat menyebabkan peningkatan kadar prolaktin hingga lebih dari 200 Âµg/L. Manivesasi klinis dari obat-obat yang menginduksi hiperprolaktinemia adalah mirip dengan prolaktinoma, kecuali dalam hal ukuran massa tumor.

Indikasi-indikasi perlunya terapi prolaktinoma diantaranya:
  1. Makroadenoma
  2. Mikroadenoma yang terus membesar
  3. Infertilitas
  4. Galaktorhea yang mengganggu
  5. Ginekomastia
  6. Kurangnya kadar testosteron
  7. Oligomenorhea atau amenorhea
  8. Jerawat dan hirsutisme
Gejala-gejala hiperprolaktinemia tidak selalu terkait dengan tingginya kadar prolaktin, meskipun pada umumnya pasien dengan kadar prolaktin serum lebih dari 150 Âµg/L akan menunjukan gejala terkait hiperprolaktinemia tersebut. Makroprolaktin, sebuah senyawa kompleks prolaktin dan antibodi IgG, dapat menyebabkan hiperprolaktinemia palsu karena adanya penundaan bersihan prolaktin.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM DAN PENCITRAAN

Setelah melakukan pengecekan kembali tingginya kadar prolaktin sebagai konfirmasi, harus diyakinkan terlebih dahulu bahwa pasien tidak sedang hamil bila pasien adalah wanita usia subur, level tirotropin, T4 bebes, fungsi hati dan ginjal juga harus dievaluasi. MRI kepala juga harus dilakukan dengan bahan kontras. MRI diindikasikan pada kasus-kasus prolaktinoma ringan untuk menentukan ukuran tumor dan lokasi terjadinya lesi. 

Pengujian fungsi hipofisi umumnya tidak perlu dilakukan pada pasien dengan mikroadenoma, karena fungsi hipofisis pada pasien ini umumnya tampak normal. Pada wanita amenorheik, level follicle stimulating hormone (FSH) harus ditentukan, untuk menyingkirkan kemungkinan adanya kegagalan ovarium primer. Kadar testosteron serum harus ditentukan pada pasien pria dengan hiperprolaktinemia. Adanya infertilitas (bagi pasangan yang menginginkan kesuburan) merupakan indikasi kuat perlunya terapi hiperprolaktinemia ini. Kepadatan tulang harus dievaluasi pada pasien dengan hipogonadisme. Pasien dengan makroadenoma yang berdekatan dengan kiasme optik memerlukan uji lapangan-visual, karena kompromi visual memerlukan perawatan segera.

MANAJEMEN

Berbeda dengan makroadenoma yang memerlukan terapi rutin, mikroadenoma tidak selalu memerlukan pengobatan. Pasien mikroadenoma yang tidak memiliki indikasi pengobatan, sebaiknya tetap melakukan pemantauan kadar prolaktin serum dan MRI untuk mengetahui perkembangan ukuran tumor. Dari studi retrospektif dan prospektif menunjukan bahwa resiko pembesaran tumor pada mikroadenoma relatif jarang, namun tentu saja harus selalu dipantau. 

AGONIS DOPAMIN

Agonis dopamin adalah terapi utama untuk mikroadenoma yang memerlukan terapi maupun pada makroadenoma. Agonis dopamin terbukti memberikan keuntungan dalam hal:
  • Dengan cepat mampu menormalkan level prolaktin serum
  • Mengembalikan fungsi reproduksi
  • Memperbaiki keadaan galaktorhea
  • Mengurangi ukuran tumor pada beberapa pasien
Agonis dopamin yang diperkenankan dalam terapi ini adalah:
  1. Bromokriptin. Dosis inisiasi bromikriptin adalah 0,625-1,25 mg/hari, dengan dosis pemeliharaan lazimnya 2,5-10 mg/hari. 
  2. Kabergolin. Dosis inisiasi kabergolin adalah 0,25-0,5 mg/minggu, dan dosis pemeliharaan umumnya 0,25-3 mg/minggu. 
Dosis agonis dopamin dapat ditingkatkan hingga kadar prolaktin berada pada kisaran normal dan dibatasi oleh munculnya efek samping. Kadar prolaktin harus diukur setiap 4 minggu pada terapi bromokriptin dan setiap 8 minggu pada terapi kabergolin. Dosis pemeliharaan sebaiknya adalah dosis efektif terendah. 

Efek samping yang umum dengan pengobatan ini diantaranya: mual, sakit kepala, pusing (hipotensi postural), hidung tersumbat dan sembelit. Sedngkan efek samping yang lebih jarang terjadi diantaranya adalah kebingungan, depresi, kecemasan dan intoleransi alkohol. Vasospasme sensitif dingin dan psikosis juga dapat terjadi namun jarang. Efek-efek samping tersebut lebih jarang terjadi pada kabergolin daripada dengan bromokriptin, efek samping tersebut dapat diminimalisir dengan memulai terapi dengan dosis serendah mungkin dan mengkonsumsi obat bersama makanan pada waktu malam menjelang tidur.

Meski telah diketahui bahwa semua agonis dopamin dapat menurunkan kadar prolaktin serum, namun dari sebuah studi double-blind diketahui bahwa kabergolin lebih efektif dengan resiko efek samping lebih rendah dibandingkan dengan bromokriptin. Kabergolin rata-rata dapat menurunkan kadar prolaktin hingga 83% dibandingkan bromokriptin yang mampu menurunkan kadar prolaktin hanya sekitar 59%.

Jika level hormon reproduksi pada pria atau wanita menopause tetap rendah dengan hiperprolaktinemia yang tidak mengalami perbaikan dengan signifikan setelah dilakukan pengobatan maksimum dengan agonis dopamin, maka penggantian steroid gonad mungkin diperlukan. 

Pada pasien dengan makroadenoma tujuan terapi tambahan adalah untuk mengurangi atau menstabilkan ukuran tumor dan untuk mencegah komplikais neurologis, termasuk sakit kepala dan kompresi syaraf tengkorak. Agonis dopamin mampu menurunkan massa tumor pada sebagian besar pasien dan digunakan sebagai terapi primer. 

Durasi terapi yang tepat dengan menggunakan agonis dopamin belum dapat ditentukan dengan pasti. Dalam sebuah studi retrospektif, pasien yang diobati dengan bromokriptin rata-rata selama 47 bulan, kondisi normoprolaktinemia terjadi pada sekitar 21% pasien. Pada banyak pasien dengan makroadenoma yang memiliki tumor selular dan ekstraselular, penghentian terapi agonis dopamin ini tampaknya tidak bijaksana.

TERAPI RADIASI DAN PEMBEDAHAN

Mengingat tersedianya terapi medis yang cukup manjur, maka kecil kemungkinan pasien memerlukan terapi radiasi atau operasi transsphenoidal. Hal-hal yang mengindikasikan perlunya terapi pembedahan adalah sebagai berikut:
  1. Peningkatan ukuran tumor meski telah dilakukan terapi maksimal dengan agonis dopamin
  2. Apopleksi pituitari
  3. Ketidakmampuan mentoleransi terapi agonis dopamin
  4. Makroadenoma resisten terhadap agonis dopamin
  5. Mikroadenoma pada wanita infertil yang resisten terhadap agonis dopamin
  6. Kompresi kiasma persisten meski telah dilakukan terapi medis optimal
  7. Kista prolaktinoma yang tidak merespon terapi medis
  8. Pada wanita yang menginginkan kesuburan dengan makroadenoma didekat kiasme optik
  9. Kebocoran cairan serebrospinal selama terapi dengan agonis dopamin
  10. Makroadenoma dengan kondisi kejiwaan yang menyebabkan kontraindikasi penggunaan agonis dopamin


Sumber
The New England Journal of Medicine 


Rabu, 08 Agustus 2012

GEJALA SALURAN KEMIH BAWAH DAN BPH



Seorang pria berusia 59 tahun dengan riwayat Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) dan gejala saluran urin bawah datang untuk perawatan. Dia telah menerima doksasozin 4 mg/hari selama 2 tahun terakhir dengan perbaikan yang minimal. Dia kembali mengalami gejala nokturia, aliran kencing lemah, dan sering urinasi (8 kali perhari). Bagaimana penanganan kasus ini???

BPH adalah sebuah diagnosis histotolgik, yaitu kondisi kesehatan seiring penuaan, prevalensi meningkat seiring peningkatan umur. Prevalensinya sekitar 25% pada pria berusia 40-49 tahun dan meningkat hingga 80% pada pria berusia 70-79 tahun. Meskipun banyak pria dengan temuan histologik dengan pembesaran anatomi prostat, namun tanpa disertai gejala, sekitar 50% dari pria berusia 60-an mengalami gejala saluran kemih bawah. Gejala ini lebih diklasifikasikan sebagai obstruktif kemih atau gejala penyimpanan kemih. Gejala obstruktif kemih diantaranya:
  • Keraguan berkemih
  • Keterlambatan permualan berkemih
  • Gangguan intermitensi
  • Aliran kencing lemah
  • Tak sadar kencing
  • Sensasi pengosongan kemih yang tak lengkap
Sedangkan gejala penyimpanan kemih meliputi: sering kencing, nokturia, urgensi, inkontinensia, kandung kemih terasa sakit dan disuria. 

patofisiologi BPH tidak diketahui secara pasti. Perkembangan histologis BPH tergantung pada ketersediaan hayati testosteron dan metabolitnya, dihidrotestosteron. Kurangnya bawaan 5-alfa-reduktase menghasilkan kelenjar prostat vestiginal. Selain tingkat endogen testosteron dan dihidrotestosteron penanda lain yang berhubungan dengan peningkatan resiko BPH adalah tingginya dehidroepiandrosterone dan estradiol, insulin seperti halnya faktor pertumbuhan, dan penanda inflamasi (protein C-reaktif). Faktor resiko tambahan termasuk faktor ras kulit hitam (vs ras putih), obesitas, diabetes, dan tingginya tingkat konsumsi alkohol dan kurangnya aktivitas fisik. Mekanisme yang berhubungan dengan hal ini kurang dipahami.

EVALUASI


Evaluasi terhadap gangguan kesehatan ini harus dilakukan secara lengkap meliputi pemeriksaan medis, neurologis, dan sejarah urologi untuk membedakan antara gejala saluran urin bawah, BPH dan disfungsi kandung kemih. Evaluasi ini mencakup kelebihan cairan, asupan kafein dan penggunaan obat diuretik atau antihistamin yang dapat memberikan efek melemahkan fungsi detrusor kandung kemih. Dalam beberapa kasus gejala saluran urin bawah dapat diatasi dengan penghentian penggunaan diuretik. Pemeriksaan digital prostat dan pengukuran PSA juga harus dilakukan karena dalam beberapa kasus obstruksi disebabkan oleh adanya kanker prostat besar. Urinalisis harus dilakukan untuk mengetahui adanya infeksi saluran urin atau hematuria, yang mungkin menunjukan adanya urolitiasis atau kanker pada ginjal, kandung kemih atau pun prostat. Infeksi saluran kemih harus segera ditangani sebelum terapi lainnya dilakukan. Jika pasien merasakan adanya sensasi pengosongan kemih yang tidak lengkap maka pengukuran urin sisa harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan retensi urin "silent" (volume urin residual normal <100 ml).

Evaluasi juga harus mencakup penggunaan American Urological Association Symptom Index
(AUASI) untuk mengetahui tingkat keparahan gejala saluran urin bawah (skala 0-35 dengan 0 menyatakan tidak ada gejala dan 35 sebagai gejala terparah). Skor AUASI juga menampilkan panduan manajemen dan respon kuantitatif terhadap terapi, perubahan minimal 3 poin (penurunan atau peningkatan) dianggap sebagai perbedaan klinis yang penting.

Komplikasi Gejala-gejala saluran urin bawah:
  1. Riwayat kanker prostat
  2. Tingginya level PSA
  3. Hematuria
  4. Batu kandung kemih
  5. Kanker kandung kemih
  6. Striktur uretra
  7. Cedera korda spinal
  8. Penyakit parkinson
  9. Stroke
  10. Prostatitis
  11. Retensi urin
  12. Infeksi saluran kemih berulang atau berkelanjutan
  13. Kegagalan terapi medis
  14. Preferensi pasien untuk terapi nofarmakologis

MANAJEMEN

Pada pria dengan gejala ringan atau bahkan tanpa gejala (skor AUASI <8) atau yang tidak merasa terganggu dengan adanya gejala, maka harus tetap wasapada. Dengan penilaian AUASI tahunan, pemeriksaan fisik dan review riwayat pasien dan untuk setiap indikasi baru pengobatan maka harus dengan rujukan urologist.

Setiap terapi farmakologis yang diberikan pada pasien dengan gejala menengah (skor lebih dari atau sama dengan 8) untuk memperhatikan manfaatnya pada gejala. Tujuan terapi adalah untuk memperbaiki gejala-gejala urinasi, membatasi perkembangan gejala saluran urin bawah atau keduanya. Empat kelas obat yang menunjukan keberhasilan yaitu: pemblok reseptor alfa-adrenergik, inhibitor 5-alfa-reduktase, agen antimuskarinik dan inhibitor fosfodiesterase-5.

Pemblok reseptor alfa-adrenergik (alfa-bloker)
Awalnya obat ini dikembangkan sebagai antihipertensi, alfa-bloker memberikan pengaruhnya dengan menghalangi reseptor adrenergik simpatik dan memediasi kontraksi otot-otot halus prostat dan leher kandung kemih. Alfusozin, doksasozin, terasozin dan silodosin disetujui oleh FDA untuk pengobatan gejala saluran kemih bawah pada pria. Terazosin, doksasozin dan alfusozin nonselektif pada reseptor alfa-1. Distribusi yang luas dari reseptor alfa-1B dan alfa-1D pada pembuluh darah dan jaringan sistem syaraf pusat menjelaskan kemungkinan timbulnya efek samping yang umum seperti: hipotensi, kelelahan dan pusing. Tamsulosin dan silodosin memblok reseptor adrenergik alfa-1A lebih baik dibanding reseptor adrenergik alfa-1B dan dianggap selektif pada subtipe reseptor alfa-1, meskipun efek sampingnya relatif mirip dengan pemblok reseptor nonselektif.

5α-Reduktase Inhibitor
5α-Reduktase Inhibitor memblokir konversi testosteron menjadi metabolit aktif dihidrotestosteron, yang mengecilkan prostat dan mengurangi perkembangan prostat lebih lanjut. Ada dua 5α-Reduktase Inhibitor yang disetujui penggunaannya oleg FDA yaitu:
  1. Finasteride yang menghambat 2 isoenzim 5α-reduktase, menyebabkan penurunan kadar dihidrotestosteron serum pada level 70%-90% 
  2. Dustasteride yang memblok kedua tipe isoenzim  5α-reduktase yang mengurangi dihidrotestosteron hingga ke level nol. 
Kedua agen tersebut telah diuji secara random, terkontrol plasebo untuk mengurangi ukuran prostat hingga 25% dan mengurangi gejala saluran kemih dalam 2-6 bulan, dengan skor AUASI menurun sekitar 4-5 poin pada pria dengan ukuran prostat lebih besar (>30 gram). Dalam sebuah perbandingan langsung, efek dari finasteride dan dustasteride adalah serupa.

Meskipun kriteria inklusi pada pengujian obat ini bervariasi, ukuran prostat lebih dari 30 gram digunakan, yang diukur dengan ultrasonografi. Mengingat ketidaknyamanan pengujian ultrasonografi sehingga koerelasi ukuran prostat dengan level PSA, tingkat PSA lebih dari 1,5 ng/ml direkomendasikan sebagai kriteria pengganti penggunaan terapi 5α-reduktase inhibitor. Ukuran prostat umumnya diremehkan pada pemeriksaan digital.

Efek samping dari kedua obat ini diantaranya: penurunan libido, disfungsi ereksi, penurunan ejakulasi dan ginekomastia. Dalam sebuah uji untuk menilai apakah finasteride atau dustasteride bisa mencegah kanker prostat, terapi dengan kedua agen tersebut menghasilkan penurunan mutlak dalam resiko kanker prostat hingga 6 poin prosentase, tetapi juga terkait dengan peningkatan resiko kanker moderat hingga berat (skor GLEASON lebih dari sama dengan 7). FDA telah merevisi label sehubungan dengan resiko ini. 5α-reduktase inhibitor mengurangi konsentrasi PSA sekitar 50% setelah 6 bulan, efek ini harus dipertimbangkan daam uji PSA untuk deteksi kanker.

Dalam uji coba acak, terkontrol plasebo membandingkan alfa-bloker (doksasozin), 5α-reduktase inhibitor (finasteride) dan kombinasi dari 2 5α-reduktase inhibitor tipe 1 (dengan atau tanpa alfa-bloker), tapi tidak alfa-bloker saja, secara signifikan mengurangi tingkat hasil sekuneder dari retensi urin dan kebutuhan terapi invasif untuk BPH.

Kombinasi Alfa-bloker dan 5α-Reduktase Inhibitor
Terapi kombinasi lebih unggul dibandingkan terapi tunggal dalam mengurangi resiko klinis BPH, yang didefinisikan sebagai memburuknya gejala saluran kemih bawah, retensi urin akut, inkontinensia urinasi, insufisiensi ginjal, atau infeksi saluran kemih berulang atau berkelanjutan (pengurangan resiko relatif vs palsebo 66%). Tingkat ejakulasi abnormal, edema perifer, dan dispnea lebih umum dengan terapi kombinasi dibandingkan dengan agen tunggal, tetapi kondisi ini relatif jarang dalam kelompok terapi kombinasi (rata-rata 5 kasus per 100 orang pertahun).

Dalam percobaan kombinasi dustasteride dan tamsulosin menunjukan bahwa keuntungan dari terapi kombinasi lebih besar daripada dengan agen tunggal. Namun kebanyakan pria tidak memerlukan terapi kombinasi, dan tingkat efek samping dan faktor biaya harus diperhitungkan. Maka masuk akal untuk memulai terapi dengan agen tunggal, menilai efektivitasnya, dan dilakukan penyesuaian dosis (jika menggunakan alfa-bloker nonselektif) dan kemudian menggantinya atau menambahkan dengan agen kedua bila diperlukan.

Antimuskarinik
Agen antimuskarinik menghambat reseptor muskarinik pada otot destrusor, sehingga mengurangi komponen yang terlalu aktif pada gejala saluran kemih bawah. Beberapa agen antimuskarinik yang telah disetujui penggunaannya pada kondisi ini: darifenasin, solifenasin, trospium klorida, oksibutinin, tolterodine, dan festosterodine. Agen antimuskarinik darifenasin dan solifenasin adalah agen yang selektif yang terutama mempengaruhi reseptor muskarinik tipe M3 pada otot halus detrusor kandung kemih. Sebaliknya reseptor muskarinik tipe M2 juga terdapat pada kelenjar ludah, sistem kardiovaskular, otak dan saluran intestinal, hal ini menjelaskan kemungkinan efek samping yang luas pada penggunaan antimuskarinik nonselektif. Profil keamanan antimuskarinik selektif dan nonselektif belum dikaji secara intensif.

Walaupun American Urological Association (AUA) menyatakan bahwa terapi antimuskarinik dapat memberikan manfaat pada kelompok pria yang memiliki gejala penyimpanan, namun hal ini kurang didukung sejumlah data. Dan tampaknya terapi antimuskarinik tidak meningkatkan resiko retensi urin.

Inhibitor Fosfodiesterase-5
Inhibitor fosfodiesterase-5 awalnya disetujui untuk terapi disfungsi ereksi, yang mungkin juga mempengaruhi perbaikan pada saluran kemih. Fosfodiesterase 5 selain berada pada saluran reproduksi terdapat pula pada prostat terutama pada zona transisi detrusor, kandung kemih dan pembuluh darah halus yang berkaitan dengan kandung kemih. Penghambatan fosfodiesterase-5 menyebabkan peningkatan siklus AMP dan guanosin monofosfat yang menyebabkan relaksasi otot halus dan mungkin juga memiliki efek proliferatif pada sel otot halus prostat dan kandung kemih.

Hanya tadalafil yang disetujui penggunaannya dalam terapi gejala saluran kemih bawah.

Terapi Lainnya
Meskipun penggunaan suplemen herbal seperti saw palmetto (Serenoa repens) untuk BPH telah meningkat, namun data percobaan yang tersedia tidak mendukung efektivitasnya.

Bagi pria yang tidak tertarik dengan terapi medis, yang memiliki efek samping yang tidak dapat diterima, atau yang tidak memiliki respon terhadap terapi medis, intervensi pembedahan seperti thermotherapy microwave, atau transuretral reseksi prostat dapat menjadi pilihan. Penggunaan teknologi laser dan reseksi transuretral bipolar dari prostat dibandingkan dengan reseksi transuretral standar prostat telah terbukti memberikan efek samping yang lebih rendah seperti disfungsi ereksi.


Sumber
New England Journal of Medicines
Journal lengkap



MEKANISME EFEK SAMPING STATIN



Obat golongan penghambat 3-hidroksi-3-metilglutaril koenzim A reduktase (HMG CoA reductase), atau statin merupakan obat penurun lipid andalan karena khasiatnya yang mapan dalam mengurangi resiko morbiditas penyakit kardiovaskular. Secara umum, terapi statin dianggap aman karena efek samping merugikan berat yang jarang terjadi. Kendati demikian pada beberapa kasus pasien mungkin akan mengalami intoleransi terhadap statin. Secara khusus, statin menginduksi terjadinya miopati, yang merupakan salah satu efek samping yang paling merugikan pada penggunaan statin. Selain ini adanya peningkatan aminotransferase serum, dianggap sebagai manivestasi adanya toksisitas hati.

Pada dasarnya efek samping merugikan statin dapat dihentikan dengan penghentian penggunaan obat statin tersebut. Namun sebagian pasien menolak terapi dengan statin karena adanya kekhawatiran adanya toksisitas hati dan otot. Hal ini menjadi hambatan untuk mengurangi resiko penyakit kardiovaskular pada pasien dengan hiperlipidemia. Tulisan ini akan lebih mengulas tentang efek samping statin terhadap toksisitas hati dan otot akibat penggunaan statin.

ASPEK KLINIS DAN MEKANISME STATIN YANG BERHUBUNGAN DENGAN EFEK MERUGIKAN

Beberapa studi telah mengevaluasi beberapa kejadian yang merugikan selama terapi dengan statin. Dalam meta-analisis terhadap lebih dari 70.000 subjek pada 13 uji plasebo terkontrol pencegahan primer dan sekunder, diektahui bahwa dari setiap 1000 terapi pencegahan dengan menggunakan statin akan ada 37 pencegahan terhadap penyakit kardiovaskular dan menyebabkan 5 efek samping merugikan. Dalam analisis ini, efek samping yang serius seperti kreatinin kinase (CK) 10 kali batas atas normal, atau rhabdomyolisis jarang terjadi dan memiliki NNH sebesar 3.400. Selain itu, rhabdomyolisis sendiri sudah sangat jarang terjadi (NNH 7.428). Diantara statin sendiri fluvastatin paling rendah khasiatnya, memiliki tingkat efek samping yang rendah. Atorvastatin paling berkhasiat dengan resiko efek samping paling besar. Simvastatin, pravastatin, lovastatin dan pravastatin memiliki tingkat efek samping yang sama. Dalam sebuah studi lain menyebutkan bahwa insiden miopati dan nyeri otot ringan adalah sebesar 195 kasus dari 100.000 kasus. Namun harus diperhatikan bahwa dalam praktek klinis dimasyarakat kejadian efek merugikan sering lebih besar dari yang pernah dilaporkan, hal ini mungkin disebabkan bahwa dalam sebuah pengujian, pasien yang cenderung akan mengalami efek samping tersebut, maka subjek dikeluarkan dari randomisasi.

Data FDA hingga tahun 2002 mencatat bahwa bahwa tingkat pelaporan resep statin adalah 0,38 kasus miopati dan 1,07 kasus rahbadomyolisis, namun sumber data ini mungkin bersifat bias karena pelaporan efek samping ini bersifat sukarela.

Presentasi klinis miopati akibat statin bervariasi mulai dari kelelahan ringan hingga rhabdomyolisis yang memerlukan perawatan di rumah sakit. Gejala yang paling sering dilaporkan adalah myalgia, kelelahan, kelemahan, nyeri umum, dan nyeri otot proksimal. Keluhan lain yang lebih jarang adalah nyeri tendon dan kram otot nokturnal. Myalgia didefinisikan sebagai gejala otot tanpa disertai adanya peningkatan CK, myosiitis mengacu pada gejala otot dengan peningkatan CK, sedangkan rhabdomyolisis didefinisikan sebagai gejala otot yang ditandai dengan peningkatan CK (hingga 10 kali batas normal) dengan peningkatan kreatinin serum sesekali juga ditandai dengan adanya urin yang berwarna kecoklatan.

Hubungan temporal antara inisisasi statin dengan mulai timbulnya gejala, bervariasi secara luas, sebagaimana halnya waktu mulai penghentian pengobatan dengan menghilangnya gejala. Penjelasan mengenai adanya induksi statin terhadap myopati adalah adanya induksi sel apoptosis atau kematian sel myosit terprogram dengan mengurangi isoprenoidnya. Isoprenoid adalah lemak yang diproduksi oleh HMG-CoA reduktase. Isoprenoid terhubung dengan protein melalui farnesilasi. Menurut teori ini statin memblokir produksi farnesil pirofosfat dan mencegah prenilasi ikatan protein GTP protein Ras, Rac dan Rho. Penurunan tingkat terprenilasi ini menyebabkan peningkatan kadar kalsium sitosol yang selanjutnya mengaktivasi enzim proteolitik capsase-3 dan capsase-9 yang memiliki peran sentral dalam kematian sel. 


Sabtu, 04 Agustus 2012

ATORVASTATIN


ATORVASTATIN, merupakan molekul garam kalsium trihidrat, sebuah molekul kalsium atorvastatin yang mengikat tiga molekul air. Atorvastatin merupakan salah satu zat aktif penurun kolesterol darah golongan statin atau penghambat/inhibitor HMG-CoA reduktase, yaitu senyawa yang dapat menghambat konversi enzim HMG-CoA reduktase menjadi mevalonat sehingga menghambat pembentukan kolesterol endogen.

Sejak awal dipasarkannya, atorvastatin yang dijual dengan nama patennya LIPITOR langsung merajai penjualan obat penurun kolesterol.

NAMA DAN STRUKTUR KIMIA
Garam kalsium atorvastatin memiliki nama (3R,5R)-7-[2-(4-fluorophenyl)-3-phenyl-4-(phenylcarbamoyl)-5-propan-2-ylpyrrol-1-yl]-3,5-dihydroxyheptanoic acid, dengan rumus molekul (C33H35FN2O5)2Ca.3H2O dengan bobot molekul sebesar 1209,42, dengan rumus struktur berikut:



Struktur Garam Atorvastatin-Kalsium

Struktur Atorvastatin

Struktur 3D Atorvastatin

Atorvastatin adalah senyawa sintesis derivat dari asam pentanoat pirol dengan pentasubstitusi. Atorvastatin adalah salah satu inhibitor hidroksimetilglutaril-CoA reduktase (statin), selain mevastatin, fluvastatin, lovastatin, pravastatin, dan simvastatin. 

Berbeda dengan prodrug lakton lovastatin dan simvastatin, atorvastatin memiliki 3 asam hidroksil aktif dan tidak memerlukan hidrolisis in vivo. Atorvastatin dan metabolit aktifnya yang secara struktur serupa dengan HMG-CoA berkompetisi untuk menempati sisi aktif HMG-CoA reduktase.

Kalsium atorvastatin adalah serbuk putih atau kristal putih pucat yang tidak larut dalam air dengan pH 4 atau kurang, sangat sedikit larut dalam air suling, sedikit larut pada dapar phosphat pH 7,4 atau asetonitril, sedikit larut pada etanol, mudah larut pada metanol.

Tablet atorvastatin harus disimpan pada wadah yang tertutup baik dan disimpan pada suhu 20-25 derajat celcius, sediaan tersebut akan stabil selama 24 bulan sejak tanggal pembuatannya.

Kombinasi tetap atorvastatin-amlodipin harus disimpan pada suhu 25 derajat celcius, meski diizinkan disimpan pada suhu 15-30 derajat celcius.

KEGUNAAN
Pencegahan Penyakit Kardiovaskular

Pencegahan Primer
Atorvastatin digunakan pada pasien yang tanpa bukti klinis penyakit jantung klinis, namun memiliki faktor resiko seperti usia, merokok, hipertensi, rendah HDL, riwayat keluarga dengan penyakit jantung koroner untuk mengurangi resiko infark miokard, stroke atau angina dan untuk mengurangi resiko menjalani prosedur revaskularisasi. Atorvastatin juga digunakan pada pasien yang tanpa bukti klinis penyakit jantung koroner namun memiliki penyakit diabetes melitus tipe 2 dan faktor resiko penyakit jantung koroner (misal: retinopati, albuminuria, merokok, hipertensi) untuk mengurangi resiko infark miokard dan stroke.

Dari hasil uji Anglo-Scandinavian Cardiac Outcomes Trial (ASCOT) pada penderita hipertensi, hiperkolesterolemia (kolesterol total 251 mg/dl atau kurang) tanpa riwayat infark miokard yang memiliki faktor resiko penyakit jantung koroner ganda, terapi dengan atorvastatin (10 mg/hari) selama rata-rata 3,3 tahun mengurangi resiko penyakit jantung koroner fatal atau infark miokard non-fatal sebesar 36% dan mengurangi resiko menjalani prosedur revaskularisasi sebesar 42%. Sedangkan resiko stroke fatal atau non-fatal berkurang sebesar 26%, meski secara statistik tidak signifikan. Pengobatan dengan atorvastatin tidak mengurangi resiko kematian akibat kardiovaskular atau pun non kardiovaskular.

Pada studi Collaborative Atorvastatin Diabetes Study (CARDS) pada pasien hiperkolesterolemia (median konsentrasi kolesterol 207 mg/dl, konsentrasi LDL 120 mg/dl, trigliserida 151 mg/dl) dengan diabetes melitus tipe 2 (rata-rata HbA1c 7,7%) dengan satu atau lebih faktor resiko lain (merokok, hipertensi, retinopati, mikroalbuminuria, makroalbuminuria), terapi dengan atorvastatin 10 mg perhari selama rata-rata 3,9 tahun mengurangi resiko stroke hingga 48% dan resiko infark miokard sebesar 42% dibandingkan plasebo. Pengobatan dengan atorvastatin tidak mengurangi resiko angina unstabil, prosedur revaskularisasi dan kematian akibat penyakit jantung koroner akut.

Dalam studi pencegahan stroke melalui pengurangan tingkat kolesterol secara agresif pada pasien dengan hiperkolesterolemia (konsentrasi LDL 100-190 mg/dl) yang telah mengalami serangan stroke atau transient ischemic attack (TIA) dalam 1-6 bulan terakhir, terapi dosis tinggi atorvastatin (80 mg perhari) selama rata-rata 4,9 tahun mengurangi resiko stroke fatal dan nonfatal berikutnya dan kejadian kardiovaskular mayor sebesar 16 dan 20%. Walaupun secara keseluruhan tidak ada penurunan resiko kematian. Pasien yang pada saat awal masuk studi telah memiliki riwayat stroke hemoragik menunjukan peningkatan resiko stroke hemoragik selama studi. 

Pencegahan Sekunder
Atorvastatin digunakan pada pasien dengan bukti klinis penyakit jantung koroner untuk mengurangi resiko infark miokard nonfatal, stroke fatal atau nonfatal, angina, atau pun gagal jantung kongestif, dan untuk mengurangi resiko prosedur revaskularisasi. Kombinasi tetap atorvastatin dan amlodipin (Caduet) digunakan untuk pasien yang memerlukan terapi keduanya.

Dalam sebuah studi komparatif acak sejumlah 8888 pasien dengan riwayat penyakit jantung koroner yang memiliki konsentrasi LDL rata-rata 122 mg/dl, melalui upaya penurunan kadar kolesterol darah secara agresif dengan atorvastatin (80 mg/hari) atau simvastatin (20-40 mg/hari) selama rata-rata 4,8 tahun pengurangan resiko titik akhir primer gabungan yang sama (yaitu: penyakit jantung koroner fatal, infark miokard nonfatal, dan serangan jantung). Selain itu tidak ada perbedaan angka kematian secara keseluruhan baik pada kelompok pengguna atorvastatin maupun simvastatin.

Pada pasien dengan sindrome koroner akut, terapi antilipemik dengan statin dosis tinggi lebih efektif dibandingkan dengan dosis moderatnya untuk mengurangi resiko serangan kardiovaskular.

Pada sebuah studi random, double-blind terkontrol plasebo pengurangan iskemia miokard pada pasien dengan angina unstable dan infark miokard akut, terapi dengan atorvastatin (80 mg/hari) yang dimulai dalam 24-96 jam setelah pasien masuk rumah sakit, dikaitkan dengan kejadian iskemik berulang yang lebih rendah (terutama iskemia yang memerlukan perawatan di rumah sakit) dalam 16 minggu berikutnya. Namun validitas hasil studi ini dipertanyakan, karena banyaknya pasien peserta studi yang menghilang pada akhir studi.

Dalam sebuah studi acak, double-blind (Evaluasi terapi Atorvastatin atau simvastatin dan terapi infeksi) pada lebih dari 4000 pasien rawat inap dalam 10 hari sebelumnya, terapi dengan antilipemik intensif (atorvastatin 80 mg/hari) atau terapi antilipemik moderat (pravastatin 40 mg/hari) mengurangi konsentrasi LDL rata-rata sebesar masing-masing 62% dan 95%. Dibandingkan dengan regimen moderat pengobatan dengan regimen intensif menghasilkan 16% penurunan resiko titik akhir primer, 14% resiko menjalani prosedur revaskularisasi dan 29% resiko terapi angina berulang. Atorvastatin juga dikaitkan dengan penurunan resiko kematian dari berbagai penyebab (28%) dan kematian atau infark miokard (18%) dibandingkan dengan terapi pravastatin, namun perbedaan secara statistik ini tidak signifikan. Hasil studi ini menunjukan bahwa, diantara pasien yang baru mengalami sindrome koroner akut, regimen antilipemik intensif memberikan perlindungan lebih besar dari kematian atau kejadian kardiovaskular utama dibandingkan dengan regimen standar, dan pasien mendapat keuntungan yang terus menerus berupa penurunan level LDL hingga ke tingkat yang diinginkan.

Meskipun studi ini menunjukan bahwa penurunan LDL masih dibawah tingkat yang direkomendasikan (kurang dari 100 mg/dl) namun mungkin juga ada keuntungan klinis lain yang berhubungan dengan penyakit jantung koroner. Saat ini NCEP merekomendasikan bahwa tingkat LDL yang lebih rendah (yaitu 70 mg/dl) hanya dipertimbangkan bagi pasien yang beresiko sangat tinggi mengalami penyakit jantung koroner. Dalam melihat kurangnya efek atorvastatin dosis tinggi pada penurunan resiko kematian secara keseluruhan dan bahkan kemungkinan peningkatan resiko kematian akibat penyebab non kardiovaskular dengan regimen intensif tersebut, maka beberapa dokter menyatakan bahwa diperlukan penelitian tambahan untuk mengevaluasi keselamatan pasien pada penggunaan atorvastatin dosis tinggi.

Mengurangi Progresi Atherosklerosis Koroner
Terapi antilipemik intensif dengan atorvastatin menunjukan adanya perlambatan perkembangan atherosklerosis koroner. Dalam studi kontrol-aktif, random, double-blind (Pembalikan atherosklerosis dengan penurunan lipid agresif) pada 654 pasien dengan penyakit jantung koroner, terapi dengan antilipemik intensif (atorvastatin 80 mg/hari) atau terapi dengan antilipemik moderat (pravastatin 40 mg/hari) selama 18 bulan mengurangi konsentrasi LDL masing-masing sebesar 79 mg/dl atau 110 mg/dl dan mengurangi konsentrasi protein C-reaktif sebesar 36,4% pada pasien pengguna atorvastatin dan 5,2% pada pasien yang menerima terapi pravastatin. Pengobatan dengan regimen antilipemik intensif dikaitkan dengan rendahnya tingkat perkembangan atherosklerosis (diukur melalui perubahan prosentase volume atheroma). Dibandingkan dengan baseline, pasien yang diterapi dengan atorvastatin tidak mengalami perubahan beban atheroma, sedangkan pasien yang diterapi dengan pravastatin menunjukan perkembangan atherosklerosis. Studi ini juga mengungkapkan bahwa perbedaan dalam perkembangan atherosklerosis antara pasien yang diterapi dengan atorvastatin dan pravastatin mungkin berhubungan dengan semakin besarnya penurunan konsentrasi lipoprotein atherogenik dan protein C-reaktif pada pasien yang diterapi dengan atorvastatin.

Dislipidemia

Atorvastatin digunakan sebagai terapi tambahan pada terapi diet untuk menurunkan tingginya level kolesterol total dan LDL serum, apolipoprotein B (apo B), trigliserida, dan meningkatkan konsentrasi HDL dalam terapi hiperkolesterolemia primer dan dislipidemia campuran, hiperkolesterolemia familial homozigot, disbetalipoproteinemia primer dan atau hipertrigliseridemia. 

Terapi non obat dan langkah-langkah spesifik untuk dislipidemia (terapi perubahan gaya hidup) adalah terapi pilihan pertama termasuk manajemen diet yang meliputi:
  1. Pembatasan asupan kolesterol dan lemak jenuh
  2. Peningkatan asupan stanol/sterol
  3. Diet tinggi serat
  4. Penurunan berat badan
  5. Peningkatan aktivitas fisik
  6. Pengelolaan penyakit
Pada dislipidemia, terapi obat bukan merupakan terapi pengganti melainkan terapi tambahan pada terapi non obat.

Hiperkolesterolemia primer dan dislipidemia campuran
Atorvastatin tunggal, atau dalam kombinasi dengan ezetimibe digunakan untuk terapi tambahan diet pada orang dewasa untuk menurunkan konsentrasi LDL, apo B dan trigliserida dan meningkatkan konsentrasi HDL dalam darah pada pasien dengan hiperkolesterolemia primer dan dislipidemia campuran, termasuk hiperkolesterolemia familial heterozigot dan hiperkolesterolemia karena penyebab primer lainnya (misal: hiperkolesterolemia poligenik). Atorvastatin juga digunakan untuk menurunkan kolesterol total, LDL, apo B pada pengelolaan hiperkolesterolemia familial heterozigot pada anak laki-laki dan perempuan postmenarchal pada usia 10 tahun atau lebih yang belum memiliki respon yang memadai pada manajemen diet dan memiliki konsentrasi LDL serum 190 mg/dl atau lebih besar atau memiliki konsentrasi LDL serum 160 mg/dl atau lebih dengan riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskular prematur atau dengan faktor resiko ganda penyakit kardiovaskular.

Penurunan konsentrasi kolesterol total dan LDL dihasilkan oleh dosis biasa atorvastatin yang secara substansial menghasilkan penurunan lebih besar dibandingkan dengan monoterapi dengan antilipemik lainnya. Dalam sebuah studi terkontrol dan tak terkontrol rata-rata penurunan kolesterol total 17-46%, 25-61% LDL, 17-50% apo B, dan 10-37% trigliserida pada pasien dengan hiperkolesterolemia primer yang menerima atorvastatin 2,5-80 mg/hari selama setidaknya 6 minggu. Dan HDL meningkat sekitar 3-12%. Pada pasien dengan dislipidemia disertai hipertensi yang menerima kombinasi tetap atorvastatin (10-80 mg) dan amlodipin (5-10 mg) konsentrasi LDL serum turun sebesar 33-49% setelah terapi selama 8 minggu.

Data studi menunjukan bahwa terapi atorvastatin menghasilkan penurunan konsentrasi kolesterol total da LDL lebih besar bila dibandingkan dengan statin lainnya (fluvastatin, lovastatin, simvastatin dan pravastatin). 

Dibandingkan dengan statin tertentu lainnya, efek atorvastatin pada dosis tinggi terhadap peningkatan konsentrasi HDL mungkin kurang jelas. Pada beberapa penelitian yang dirancang untuk mengevaluasi efek dari atorvastatin (20-80 mg/hari) dan simvastatin (40-80 mg-hari) pada konsentrasi HDL dan apolipoprotein AI, peningkatan konsentrasi HDL dan apolipoprotein AI lebih besar pada pasien yang diterapi dengan simvastatin (yaitu 7-9% dan 3-6%) dibandingkan pasien yang diterapi dengan atorvastatin (0-7% dan 0-5%). Mekanisme dari efek ini belum sepenuhnya diketahui, tetapi mungkin berhubungan dengan waktu paruh eliminasi kedua obat tersebut, yaitu 20 menit pada atorvastatin dan 2 jam pada simvastatin, dan ata adanya perbedaan efek obat pada enzim lipolitik (misal: lipoprotein lipase, lipase hepatik).

Dari data studi komparasi yang terbatas menyarankan bahwa penurunan konsentrasi kolesterol total dan LDL yang dihasilkan melalui atorvastatin melebihi yang dapat dihasilkan oleh derivat asam fenofibrat. Dalam penelitian lain pasien dengan dislipidemia camuran, pengobatan dengan atorvastatin (10 mg/hari) dikaitkan dengan penurunan konsentrasi kolesterol total dan LDL yang lebih besar dibandingkan dengan terapi fenofibrat (200 mg/hari), namun pasien yang diterapi dengan fenofibrat menghasilka penurunan kadar trgliserida yang lebih besar dan menghasilkan peningkatan kadar HDL dan apolipoprotein AI yang lebih besar pula dibandingkan pasien yang diterapi dengan atorvastatin.

Kombinasi atorvastatin dengan agen antilipemik lainnya (misal: resin asam empedu, sekuestrans dan ezetimibe) secara umum menghasilkan peningkatan efek antilipemik. Penambahan sekuestran asam empedu (kolestipol 20 gram/hari) pada terapi atorvastatin (10 mg/hari) meningkatkan pengurangan kadar LDL lebih lanjut sebesar 10%, sehingga penurunan LDL pada pasien yang menerima terapi kombinasi ini sekitar 45%. Namun, efek samping yang sering terjadi diantaranya sembelit sehingga menurunkan tingkat kepatuhan pasien. Penambahan ezetimibe (10 mg/hari) pada atorvastatin (10-80 mg/hari) lebih lanjut dapat menurunkan konsentrasi LDL sebesar 7-16%, sehingga penurunan LDL secara keseluruhan sekitar 53-61%.

Hiperkolesterolemia Familial Homozigot
Atorvastatin digunakan secara tunggal atau dikombinasi dengan ezetimibe sebagai terapi tambahan pada hiperkolesterolemia familial homozigot sebagai tambahan terapi penurun lipid lainnya (misal: apharesis LDL) atau ketika terapi tersebut tidak tersedia. Pasien dengan hiperkolesterolemia familial homozigot biasanya memiliki respon yang buruk terhadap diet dan terapi obat, termasuk pada pemberian regimen statin yang disebabkan karena tidak berfungsinya, atau hanya sedikit atau bahkan tidak adanya reseptor LDL. Pada sebuah studi terhadap pasien dengan hiperkolesterolemia familial homozigot yang menerima terapi atorvastatin 40-80 mg selama setidaknya 4 minggu, hanya 86% pasien yang merespon dengan adanya penurunan konsentrasi LDL darah yaitu sebesar 7-53% (rata-rata penurunan 20%), sedangkan pasiennya lainnya justru mengalami peningkatan LDL 7-24%. Dalam sejumlah pasien yang menjalani apheresis LDL, penambahan terapi atorvastatin (80 mg/hari) selama 8 minggu mengalami penurunan konsentrasi kolesterol total dan LDL masing-masing sebesar 29% dan 31%. Data terbatas juga menunjukan bahwa terapi atorvastatin juga dapat mengurangi resiko atherosklerosis pada kelompok pasien ini.

Pada sebuah studi terbatas dengan durasi 12 minggu sejumlah pasien didiagnosis secara klinis atau genotipik sebagai hiperkolesterolemia familial homozigot, penambahan ezetimibe (10 mg/hari) pada terapi atorvastatin atau simvastatin (40 atau 80 mg/hari) lebih efektif dalam mengurangi konsentrasi LDL (pengurangan tambahan sebesar 21% ) dari pada dengan peningkatan dosis dengan monoterapi atorvastatin atau simvastatin.

Disbetalipoproteinemia Primer
Atorvastatin digunakan sebagai terapi tambahan pada pasien dengan disbetalipoproteinemia primer yang tidak merespon diet secara memadai.

Pengobatan dengan atorvastatin (80 mg/hari) selama 8 minggu pada pasien ini menghasilkan penurunan kolesterol total secara substansial (58%), trigliserida (53%), kombinasi IDL-VLDL (63%), dan non-HDL (64%). Efek ini lebih tinggi dari yang dihasilkan pada terapi dengan simvastatin (yaitu 28,41, 27%, masing-masing)

Hipertrigliseridemia
Atorvastatin juga digunakan sebagai terapi tambahan pada diet pada pasien dengan hipertrigliseridemia. Meski efek penurunan konsentrasi trigliserida dari atorvastatin relatif lebih rendah. 

Kegunaan Lain
Atorvastatin juga digunakan untuk menurunkan kadar LDL pada beberapa pasien dengan transplantasi ginjal. Atorvastatin juga mengurangi konsentrasi kolesterol total dan LDL pada pasien hiperkolesterolemia dialisis peritoneal. Atorvastatin tunggal atau dikombinasi dengan gemfibrozil juga menurunkan konsentrasi kolesterol dan trigliserida pada pasien hiperkolesterolemia yang dihubungkan dengan penggunaan inhibitor protease.

DOSIS DAN CARA PEMBERIAN

Cara Pemberian
Atorvastatin diberikan secara oral sekali sehari. Makanan dapat mengurangi ketersediaan sistemik dari atorvastatin, meski mungkin tidak menurunkan efek antilipemiknya, atorvastatin dapat diberikan tanpa memperhatikan faktor makanan. Atorvastatin sebaiknya diberikan pada malam hari atau menjelang tidur malam, dimana efek penghambatan terhadap HMG-CoA reduktase terjadi. 

Sebelum terapi atorvastatin dimulai pasien terlebih dahulu harus melakukan diet, dan diet tersebut tetap harus dilakukan selama terapi dengan atorvastatin.

Pada penggunaan bersama atorvastatin dengan sekuestrans asam empedu, atorvastatin harus diberikan minimal 2 jam setelah pemberian sekuestrans asam empedu. Terapi dengan statin, termasuk atorvastatin dengan turunan asam fibrat umumnya harus dihindari.

Dosis
Dosis kalsium atorvastatin dinyatakan sebagai atorvastatin dan harus disesuaikan secara hati-hati menurut keadaan dan respon pasien. Konsentrasi lipoprotein serum harus ditentukan 2-4 minggu setelah terapi dimulai dan atau dititrasi dan dilakukan penyesuaian dosis.

Pencegahan Kejadian Kardiovaskular atau Manajemen Dislipidemia
Untuk monoterapi atorvastatin untuk hiperkolesterolemia primer (heterozigot familial atau nonfamilial) dan dislipidemia campuran pada orang dewasa adalah 10 atau 20 mg/hari. Untuk menghasilkan efek penurunan kolesterol LDL sebesar 45% dosis awal dapat diberikan sebesar 40 mg/hari. Dosis pemeliharaan pada orang dewasa adalah 10-80 mg/hari.

Dosis awal yang direkomendasikan untuk anak laki-laki atau perempuan postmenarchal berusia 10 tahun atau lebih dengan hiperkolesterolemia familial heterozigot adalah 10 mg/hari, maksimum 20 mg/hari. Khasiat dan keamanan dosis diatas 20 mg/hari belum dievaluasi pada kelompok pasien ini. 

Dosis oral untuk pemeliharaan hiperkolesterolemia familial homozigot adalah 10-80 mg/hari. Obat dapt merupakan terapi tambahan penurun lipi lainnya (misal; apheresis LDL) atau bila terapi lainnya tidak tersedia.

Dosis harus disesuaikan dengan interval tidak kurang dari 4 minggu sampai terjadi efek penurunan lipoprotein seperti yang diinginkan. Pengurangan dosis atorvastatin harus dipertimbangkan pada pasien dengan penurunan kolesterol jauh dibawah target.

Karena adanya peningkatan resiko myopatipada pasien yang menerima terapi atorvastatin dan siklosporin secara bersamaan, maka dosis atorvastatin harus dibatasi sebesar 10 mg/hari. Pada pasien yang menerima klaritromisin, kombinasi ritonavir-saquinavir, atau kombinasi lopinavir-ritonavir, dosis penggunaan atorvastatin melebihi 20 mg/hari memerlukan penilaian klinis yang tepat untuk menjamin bahwa dosis efektif terendahnya tepat.

Kombinasi terapi atorvastatin-amlodipin dalam kombinasi tetap dapat digunakan pada pasien yang memerlukan terapi keduanya. Peningkatan dosis atorvastatin atau amlodipin atau keduanya dapat dilakukan untuk antilipemik tambahan, antiangina, atau antihipertensi.

Dosis pada Pasien dengan Penurunan Fungsi Ginjal dan atau Hati
Karena atorvastatin tidak diekskresikan melalui ginjal, maka tidak diperlukan penyesuaian dosis pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal.

Karena atorvastatin terutama dimetabolisme dalam hati dan beresiko menumpuk dalam plasma pasien dengan penurunan fungsi hati, dan digunakan secara berhati-hati pada pasien yang mengkonsumsi alkohol atau memiliki riwayat penyakit hati, dan harus dilakukan pengawasan ekstra. Penggunaan atorvastatin harus dihindari pada pasien dengan penyakit hati aktif atau tak dapat dijelaskan yang terus-menerus mengalami peningkatan konsentrasi amonitransferase.

PERINGATAN

Atorvastatin memiliki potensi toksisitas seperti halnya statin lainnya, semua hal yang berhubungan dengan peringatan, perhatian dan kontraindikasi harus dipantau sehubungan dengan penggunaan atorvastatin ini. Pasien harus diedukasi tentang resiko, terutama tentang rhabdomyolisis, baik pada penggunaan statin sebagai agen tunggal maupun dalam kombinasi dengan obat lain. Dan ketika atorvastatin digunakan dalam kombinasi tetap dengan amlodipin, maka peringatan, perhatian dan kontraindikasi amlodipin juga harus diperhatikan, bukan hanya atorvastatin.
Kewaspadaan pada Pediatrik
Dalam sebuah studi random, double-blind terkontrol plasebo, pada anak laki-laki atau perempuan postmenarchal berusia sepuluh tahun atau lebih dampak buruk atorvastatin 10-20 mg/hari adalah serupa dengan plasebo. Dosis lebih dari 20 mg/hari belum diobservasi pada kelompok populasi ini. Tidak ada efek samping yang terpantau pada pertumbuhan atau pematangan seksual pada anak laki-laki atau durasi menstruasi pada anak perempuan. Jika terapi dengan atorvastatin dibutuhkan pada perempuan, produsen menyarankan agar perempuan tersebut menggunakan metode kontrasepsi yang efektif dan tepat selama terapi untuk mencegah kemungkinan terjadinya kehamilan. Khasiat dan keamanan atorvastatin pada anak-anak prepubertas atau usia kurang dari 10 tahun belum dievaluasi.
Produsen menyatakan bahwa atorvastatin dengan dosis hingga 80 mg/hari selama 1 tahun telah digunakan pada anak-anak usia 9 tahun atau lebih dengan hiperkolesterolemia tanpa adanya laporan adanya abnornalitas biokimia atau kelainan klinis.

Kewaspadaan pada Geriatrik
Pada sebuah studi acak yang melibatkan lebih dari 1900 pasien, rata-rata penurunan konsentrasi kolesterol LDL setelah enam minggu terapi dengan atorvastatin 10 mg/hari efek penurunan LDL sedikit lebih tinggi pada pasien geriatrik (65 tahun atau lebih tua) dibandingkan pada kelompok usia yang lebih muda. Namun tidak ada perbedaan klinis pada kedua kelompok umur tersebut. Khasiat dan keamanan kombinasi tetap atorvastatin dan amlodipin pada pasien geriatrik belum dievaluasi.

Mutagenisitas dan Karsinogenisitas
Atorvastatin tidak menunjukan adanya potensi mutagenik. Pada tikus yang menerima atorvastatin oral 10, 30 dan 100 mg/Kg selama 2 tahun pada tikus terjadi peningkatan insiden rhabdomyosarkoma dan fibrosarkoma. Dan pada dosis 100, 200 dan 400 mg/Kg tikus selama 2 tahun terjadi peningkatan adenoma hati pada tikus jantan dan karsinoma hati pada tikus betina.
Kehamilan, Fertilitas dan Laktasi
 Kehamilan
Keamanan atorvastatin pada wanita hamil belum diketahui dengan pasti. Karena atherosklerosis merupakan peristiwa kronis, maka penghentian terapi atorvastatin selama kehamilan tidak memberikan pengaruh besar pada keberhasilan terapi hiperkolesterolemia jangka panjang. Kebanyakan ahli merekomendasikan bahwa penanganan dislipidemia pada wanita hamil adalah dengan diet. Jika terapi antilipemik dianggap sangat perlu, maka atorvastatin sebaiknya tidak digunakan, karena obat ini memiliki bukti teratogenik pada hewan dan peniadaan biosintesis kolesterol dapat menyebabkan toksisitas pada janin.
Pada tikus yang menerima dosis 20,100 dan 225 mg/Kg perhari pada usia 7 hari kehamilan hingga 21 hari laktasi (menyapih) terjadi penurunan kelangsungan hidup saat lahir, neonatus, menyapih dan kematangan anak tikus yang lahir dari ibu yang menerima terapi atorvastatin 225 mg/Kg perhari. Berat badan anak-anak tikus menurun dalam beberapa hari pada anak tikus yang lahir dari ibu dengan terapi atorvastatin 100 mg/Kg perhari. 

Kolesterol dan produk biosintesis lain dari kolesterol adalah komponen esensial bagi janin termasuk untuk sintesis membran sel dan steroid. Kemampuan statin untuk mengurangi sintesis kolesterol dan mungkin produk lain dari jalur sintesis kolesterol ini, memungkinkan atorvastatin menyebabkan kerusakan janin bila diberikan pada wanita hamil. Atorvastatin hanya boleh diberikan pada wanita usia subur bila wanita tersebut tidak mungkin hamil dan telah diberi tahu potensi bahayanya. Jika pasien hamil saat diterapi dengan atorvastatin, maka terapi harus segera dihentikan.

Fertilitas
Pada tikus yang menerima atorvastatin hingga 175 mg/Kg perhari (15 kali paparan manusia) tidak ada efek merugikan pada kesuburan atau kinerja umum reproduksi. Namun aplasia dan aspermia diepididimis dilaporkan terjadi pada 2 dari 10 tikus yang diobservasi.

Laktasi
Atorvastatin didistribusikan ke kelenjar susu, sehingga dikontraindikasikan penggunaannya pada wanita menyusui.

 


Sumber:
AHFS.2008