Rabu, 19 Desember 2012

ANALISIS PSIKOFARMAKA


Psikofarmaka adalah sekelompok obat yang bekerja secara selektif pada sistem saraf pusat (SSP) dan memberikan efek pada perubahan aktivitas mental dan perilaku. Obat golongan ini digunakan dalam terapi gangguan psikiatrik yang mempengaruhi kualitas hidup pasien.

Pengobatan terhadap gangguan psikiatrik ini dimulai sejak ditemukannya 3 senyawa yang aktif pada sistem saraf pusat pada kurun waktu yang hampir bersamaan, yaitu:
  1. Klorpromazin (Delay dan Deniker pada tahun 1952)
  2. Meprobamat (Berger pada tahun 1954) dan
  3. Reserpin (Kline tahun 1954)
Penemuan obat baru yang menyusul kemudian adalah adanya aktivitas antidepresi dari senyawa turunan iminodibenzil, yaiti imipramin pada tahun 1957, dan pada tahun 1960 klordiazepoksida dipasarkan sebagai transkuilansia. 

Penggolongan Psikofarmaka


Psikofarmaka secara umum diklasifikasikan menjadi:
  1. Neuroleptika/neuroplegika/psikoleptika/trankuilansia mayor. Neuroleptika merupakan senyawa yang memiliki efek antipsikotik, tanpa mempengaruhi kesadaran dan kemampuan intelektual secara berarti. Berdasarkan kekuatan potensi neuroleptiknya, neuroleptika dibedakan menjadi: neuroleptika potensi lemah (sulpirid, promazin, perazin), neuroleptika potensi sedang (klorpromazin, diksirazin, triflupromazin), neuroleptika potensi kuat (perfenazin, moperon, trifluperazin), neuroleptika potensi sangat kuat (pimosid, reserpin, haloperidol)
  2. Antidepresiva. Antidepresiva merupakan senyawa yang mampu memberikan perbaikan pada gejala-gejala depresi. Antidepresiva bekerja dengan cara menghilangan depresi dan memperbaiki mood, mengaktifkan psikomotorik (meningkatkan aktivitas motorik) dan atau menekan psikomotorik dan ansiolitik. Yang termasuk antidepresiva diantaranya amitriptilin, klomipramin, imipramin, maprotilin.
  3. Trankuilansia/ trankuilansia minor/ataraktika. Trankuilansia adalah kelompok senyawa yang tanpa aktivitas antipsikotik bekerja menenangkan, menghilangkan ketakutan dan ketegangan yang berlebihan, memperbaiki keseimbangan, dengan sedikit pengaruh pada kemampuan berfikir dan aktivitas. Kebanyakan trankuilansia juga memiliki aktivitas sedasi, antikonvulsif dan relaksan otot. Termasuk dalam golongan obat ini diantaranya meprobamat, hidroksizin, benzodiazepin.
  4. Psikotonika/stimulansi/psikoanaleptika/psikoenergetika. Psikotonika yang dapat meningkatkan aktivitas psikis. Senyawa ini dapat menghilangkan rasa kelelahan dan penat, serta meningkatkan kemampuan berkonsentrasi. Senyawa ini tidak memiliki efek antipsikotik. Kafein dan amfetamin merupakan contoh senyawa golongan ini.
  5. Psikodisleptika/psikolitika/psikotomimetika/psikotoksika/fantastika/senyawa halusinogen. Pada orang sehat psikodisleptika dapat menyebabkan keadaan mirip skizofrenia. Obat yang termasuk dalam golongan ini diantaranya psilosin, psilobisin, lisergid.

Penggolongan Psikofarmaka Berdasarkan Struktur Kimianya


Fenotiazin dan Analognya
Struktur dasar fenotiazin bukan merupakan keharusan dalam efek neuroleptik. Fenotiazin dibedakan secara kimia dan dalam batas tertentu juga secara farmakologi sebagai fenotiazin tipe klorpromazin, tipe pekazin dan tipe perfenazin. 

Klorpromazin merupakan neuroleptika pertama yang digunakan dalam terapi, dan penggunaannya kini telah jauh berkurang. Senyawa ini mempunyai spektrum kerja yang luas, dia bekerja pada sistem syaraf pusat dan sebagai antipsikotik, disamping itu juga memberikan efek sebagai antiemetik, anestetik lokal, pemblok ganglion, adrenolitik dan antihistaminik. 

Senyawa-senyawa obat fenotiazin tipe klorpromazin diantaranya:
Klorpromazin

Promazin


Pasangan Enansiomer Prometazin


Triflupromazin

Sedangkan senyawa neuroleptika golongan fenotiazin tipe pekazin diantaranya:


 Pasangan Enansiomer Toridazin

Dan senyawa neuroleptika golongan fenotiazin tipe perfenazin diantaranya:
                                                                                                                                            Perazin


                                                                                                                                    Perfenazin

Identifikasi Golongan Fenotiazin 
Identifikasi senyawa  fenotiazin (klorpromazin, prometazin) dapat dilakukan dengan pereaksi vitalli-morin, yang akan memberikan reaksi positif dengan hadirnya warna merah. Klorpromazin juga bereaksi positif dengan Fe(III)-klorida membentuk warna merah. Kromatografi lapis tipis dan spektrofotometri inframerah juga dapat digunakan untuk identifikasi.

Senyawa klorpromazin (fenotiazin yang paling umum) disintesis dari 2,4-dikloro-2-nitrobenzena dengan 2-bromobenzanatiol, dengan persamaan reaksi, sebagai berikut:

Sintesis klorpromazin


Senyawa Butirofenon dan difenilpiperidin

         Struktur Haloperidol

Senyawa butirofenon merupakan senyawa yang dikembangkan dari petidin. Haloperidol dan melperon merupakan contoh senyawa obat golongan ini, merupakan senyawa obat yang bekerja sebagai antagonis dopamin dan menghasilkan efek antipsikotik.

Identifikasi senyawa haloperidol dapat dilakukan dengan:
  • Spektofotometri inframerah, dan membandingkan spektrumnya dengan spektrum haloperidol baku pembanding
  • 0,1 gram sampel dan o,5 gram natrium karbonat anhidrat P dalam cawan porselain dipanaskan dengan api terbuka selama 10 menit. Dinginkan. Larutkan residu dengan 5 ml asam nitrat encer dan saring. Ambil 1 ml fitrat tambahkan dengan 1 ml aquades. Larutan tersebut akan memberikan reaksi klorida.
  • Kromatografi lapis tipis

Benzodiazepin
Benzodiazepin merupakan salah satu psikofarmaka yang penting. Kelompok senyawa ini memiliki efek transkuilansia. Kelompok senyawa ini umumnya berasal dari diazepam dan metabolitnya. 

Diazepam

Alprazolam

Identifikasi diazepam dapat dilakukan dengan:
  • Reagent Wagner's, akan bereaksi menghasilkan warna coklat, endapan coklat-kehitaman
  • Reagent Janovsky, menghasilkan warna jingga
  • KLT
  • HPLC
  • Spektrum serapan inframerah




Pustaka
  1. Klorpromazin
  2. Haloperidol
  3. Diazepam
  4. Farmakope Indonesia edisi IV










Selasa, 04 Desember 2012

PERKEMBANGAN FARMAKOLOGI - DISPOSISI, AKSI DAN TERAPI OBAT PADA BAYI DAN ANAK-ANAK



Bayi dan anak-anak sangat berbeda dengan orang dewasa dalam perspektif sosial, psikososial, perilaku dan kesehatan. Lebih dari 100 tahun yang lalu, Abraham Jacobi, Bapak Pediatri Amerika Serikat, mengakui pentingnya kebutuhan penyesuaian terapi obat terhadap umur. "Pediatrik tidak berurusan dengan miniatur laku-laki dan perempuan, dengan pengurangan dosis dan kelas yang sama dari suatu penyakit dalam tubuh yang lebih kecil, namun memiliki jangkauan dan wawasan yang mandiri". Sebagaimana pertumbuhan normal ilmu pengetahuan kita yang terus meningkat pada beberapa dekade terakhir, menunjukan bahwa perubahan perkembangan sangat mempengaruhi respon terhadap obat-obatan dan memerlukan adanya penyesuaian dosis yang tergantung pada usia.
*************************

Sebelum adanya intergrasi perkembangan farmakologi antara farmakologi klinis dan pengambilan keputusan terapeutik, banyak pendekatan yang direkomendasikan untuk menentukan dosis obat pada pediatrik seperti:
  1. Formula Young dan aturan Clarkes
  2. Poin usia diskrit
  3. Prinsip-prinsip alometrik (berdasarkan ukuran tubuh relatif) yang menganggap adanya hubungan linier antara massa (massa sel dan berat badan) dengan luas permukaan tubuh pada bayi, anak-anak, remaja dan dewasa

Namun pertumbuhan pada manusia bukanlah proses yang linier. Usia sangat terkait dengan perubahan komposisi tubuh dan fungsi organ yang dinamis. Dengan demikian pendekatan dosis yang disederhanakan tidak memadai untuk individualisasi dosis obat untuk semua rentang masa kanak-kanak. Dan hasilnya, penggunaan persamaan dosis sebagian besar telah digantikan dengan penyesuaian (normalisasi) dosis obat terhadap berat badan atau luas permukaan tubuh. Penyediaan obat yang aman dan efektif bagi pediatrik memerlukan pemahaman dan integrasi peran ontogeni dalam disposisi dan aksi obat.



Absorpsi Obat


Ada banyak metode yang digunakan untuk dapat memberikan obat pada anak-anak yang umumnya melibatkan rute ekstravaskuler. Sebuah agen terapeutik apa pun yang diberikan melalui rute ekstravaskuler harus dapat melewati hambatan kimia, fisik, mekanik dan biologis agar dapat diserap. Perubahan perkembangan pada permukaan absorpsi seperti saluran pencernaan, kulit dan paru-paru dapat mempengaruhi tingkat dan luasnya bioavailabilitas obat.

Kebanyakan obat yang diberikan kepada anak-anak melalui rute oral. Perubahan pH intraluminal pada berbagai segmen yang berbeda pada saluran cerna secara langsung dapat mempengaruhi stabilitas dan tingkat ionisasi obat, sehingga mempengaruhi jumlah relatif obat yang tersedia untuk diabsorpsi. Selama periode neonatus, pH intragastrik relatif tinggi (lebih besar dari 4) yang berakibat menyebabkan pengurangan output asam basal dan volume total sekresi lambung. Dengan demikian pemberian senyawa obat labil terhadap asam seperti penisilin G akan menghasilkan bioavailabilitas yang lebih besar pada neonatus (bayi baru lahir) dibandingkan pada infant (bayi yang lebih tua) dan anak-anak. Sebaliknya obat yang merupakan asam lemah seperti fenobarbital mungkin memerlukan dosis yan lebih besar untuk mencapai level plasma terapeutik. Selain itu kemampuan untuk melarut dan diabsorpsi dari obat lipofilik dapat dipengaruhi oleh usia tergantung perubahan fungsi empedu. Konjugasi immature dan transport garam empedu kedalam lumen usus menghasilkan rendahnya level obat intraduodenal meskipun tingkat aliran darahnya melebihi orang dewasa.

Waktu pengosongan lambung dan motilitas usus adalah penentu utama tingkat absorpsi obat disepanjang permukaan mukosa usus halus. Pada saat lahir, koordinasi kontraksi antral meningkat yang menyebabkan peningkatan laju pengosongan lambung pada minggu pertama kehidupannya. Demikian pula aktivitas motorik usus selama masa awal kehidupannya. Hingga saat ini belum banyak studi yang dilakukan untuk mengetahui perubahan penyerapan obat dari bayi ke anak-anak. Studi bioavailabilitas obat yang telah diteliti (misalnya fenobarbita, sulfonamid dan digoksin) dan zat gizi makromolekul (arabinosa dan xylose) menunjukan bahwa proses transportasi baik aktif maupun pasif menjadi matang sepenuhnya pada usia sekitar empat bulan. Namun umumnya neonatus dan bayi memiliki tingkat penyerapan obat yang lebih lambat dibandingkan anak-anak dengan demikian memerlukan waktu yang lebih lama untuk mencapai konsentrasi terapeutik dalam plasma.

Faktor perkembangan tambahan juga berperan dalam menentukan perubahan penyerapan obat pada bayi dan anak-anak. Meskipun secara umum diasumsikan bahwa luas permukaan usus lebih sempit pada awal kehidupan seseorang, namun rata-rata panjang ususnya melebihi nilai orang dewasa. Pembentukan villi dimulai pada minggu ke 8 dan selesai pada minggu ke 20 kehamilan, sehingga tidak mungkin penurunan luas permukaan usus tersebut mengurangi penyerapan obat. Selain itu usia juga berhubungan dengan aliran darah splanknikus selama 2-3 minggu pertama kehamilan dapat mempengaruhi tingkat penyerapan obat dengan gradien konsentrasi di mukosa usus halus.

Perbedaan dalam perkembangan enzim pemetabolisme obat diusus dan efflux transporter juga mengubah ketersediaan hayati obat-obatan. Pada pemeriksaan spesimen biopsi duodenum dan jejenum menunjukan bahwa perubahan aktivitas epoksida hidrolase dan glutation peroksidase hanya sedikit dipengaruhi usia, sedangkan aktivitas enzi sitokrom P450 1A1 (CYP1A1) tampaknya meningkat seiring peningkatan usia. Sebaliknya biopsi duodenum distal menunjukkan bahwa aktivitas glutation transferase menurun dari bayi hingga remaja awal. \

Perubahan perkembangan juga dapat mengubah laju absorpsi obat-obat yang diberikan melalui rute ekstravaskuler lainnya. Penyerapan perkutan selama masa bayi mungkin meningkat dengan adanya stratum korneum tipis pada bayi prematur, disamping tingkat perfusi kulit dan hidrasi epidermis yang relatif lebih besar. Rasio permukaan tubuh total pada bayi dan anak-anak jauh melebihi orang dewasa. Jadi paparan sistemik terhadap obat topikal (misal kortikosteroid, antihistamin dan antiseptik) dapat melebihi orang dewasa dengan konsekuensi efek toksik pada beberapa kasus.

Penurunan aliran darah ke otot skeletal dan kontraksi otot yang tidak efektif dapat mengurangi tingkat penyerapan obat-obat yang diberikan melalui rute intramuskular pada neonatus.

Bioavailabilitas dari metabolisme ekstensif obat yang diberikan melalui rute rektal dapat ditingkatkan pada neonatus, kemungkinan karena ketidakmatangan perkembangan metabolisme hati dibandingkan dengan translokasi mukosa yang ditingkatkan. Namun bayi memiliki tingkat amplitudo kontraksi yang lebih tinggi dalam rektum dibandingkan dengan orang dewasa yang dapat meningkatkan pengusiran obat berbentuk padat, sehingga akan mengurangi absorpsi obat seperti eritromisin atau parasetamol.

Pemberian obat intrapulmonal (inhalasi) semakin banyak digunakan pada bayi dan anak. Meskipun tujuan utama pemberian obat dengan rute ini adalah untuk menghasilkan efek lokal, tanpa efek sistemik, sebagaimana yang terjadi pada supresi kortisol yang terjadi dalam hubungannya dengan terapi inhalasi kortikosteroid. Perubahan perkembangan pada paru-paru dan kapasitas ventilasi (ventilasi menit, kapasitas ventilasi vital dan tingkat pernafasan) kemungkinan besar mengubah pola pengendapan obat dan penyerapan sistemik setelah pemberian obat inhalasi. 

Distribusi


Perubahan komposisi tubuh terhadap umur mengubah ruang fisiologis dimana obat dapat didistribusikan. Ruang ekstraseluler dan total air dalam tubuh yang relatif lebih besar pada neonatus dibandingkan bayi dan orang dewasa disamping depot adiposa menyebabkan rasio air-lipid lebi besar menghasilkan level plasma dari obat yang lebih rendah ketika obat diberikan berdasarkan perhitungan berat badan. Pengaruh usia terhadap volume distribusi jelas tidak mudah dilihat untuk obat lipofilik terutama yang terdistribusi ke dalam jaringan.

Perubahan komposisi protein plasma yang beredar seperi albumin dan asam alfa-glikoprotein juga sangat mempengaruhi distribusi obat yang terikat kuat pada protein plasma. Penurunan kuantitas dari protein plasma total (termasuk albumin) pada neonatus meningkatkan fraksi bebas obat, sehingga mempengaruhi ketersediaan obat aktif. Adanya albumin janin (yang menurunkan afinitas ikatan obat asam lemah) dan peningkatan zat endogen (misal: bilirubin dan asam lemak bebas) mampu menggeser obat dari situs ikatannya pada albumin sehingga meningkatkan fraksi bebas dari obat. 

Faktor-faktor lain yang dapat mempengarhi distribusi obat diantaranya:
  • Variabilitas aliran darah
  • Perfusi organ
  • Permeabilitas membran sel
  • Perubahan dalam keseimbangan asam-basa
  • Curah jantung
Meskipun banyak dari distribusi obat adalah hasil dari perfusi pasif sederhana sepanjang gradien konsentrasi dan hubungannya dengan pengikatan obat pada komponen jaingan, ekspresi dari jaringan transporter mampu mmproduksi penghalang biologis yang juga akan berkontribusi.

Metabolisme


Penundaan pematangan dari aktivitas enzim pemetabolisme obat dapat menjelaskan terjadinya toksisitas obat pada bayi dan anak-anak, seperti yang dicontohkan pada kasus collapse kardiovaskuler terkait dengan gray sindrome pada neonatus yang menerima obat kloramfenikol. Perubahan perkembangan penting dalam biotransformasi ini menunjukan perlunya penyesuaian regimen obat esuai kebutuhan usia pada bayi dan anak-anak untuk obat seperti metilsantin, nafsilin, sefalosporin generasi 3, kaptopril dan morfin. Perbedaan pola pada perkembangan spesifik isoform memberikan perubahan yang jelas pada biotransformasi obat fase I (terutama oksidasi) dan fase II (konjugasi).

Perkembangan Enzim Fase I
Ekspresi enzim fase I seperti sitokrom P-450 (CYPs) berubah secara nyata selama perkembangannya. CYP3A7, merupakan isoform CYP yang dominan pada hati janin, yang melindungi janin dengan cara detoksifikasi sulfat dehidroepiandrosterone dan potensi teratogenik dari derivat asam retinoat.

Ontogeni metabolisme obat dapat juga diturunkan dari studi farmakokinetik metabolisme obat oleh isoform CYP tertentu. Bersihan midazolam intravena dari plasma merupakan fungsi utama dari aktivitas CYP3A4 dan CYP3A5 dan tingkat aktivitas meningkat dari 1,2 hingga 9 ml/menit/Kg BB selama tiga bulan pertama kehidupan. Bersihan karbamazepin dari plasma juga sangat tergantung pada CYP3A4 yang nilainya lebih besar pada anak-anak dibandingkan pada orang dewasa, sehingga mengharuskan penyesuaian dosis dengan berat badan dari obat untuk mencapai konsentrasi terapeutik dalam plasma.

CYP2C9 dan dalam level yang lebih rendah CYP2C19 bertanggungjawab pada biotransformasi fenitoin. Waktu paruh fenitoin pada bayi prematur jelas lebih berkepanjangan (kira-kira 75 jam), dan segera menurun sekitar 20 jam pada bayi cukup umur lahir (matur) pada minggu pertama kehidupan dan sekitar 8 jam stelah minggu kedua kehiduapnnya. Metabolisme tergantung-konsentrasi (kinetika Michaelis-Menten) tidak muncul hingga usia 10 hari, yang menunjukan adanya akuisisi perkembangan aktivitas CYP2C9.

Kafein dan teofilin keduanya merupakan substrat untuk CYP1A2 yang umumnya diresepkan untuk neonatus dan infant. Pada bayi dengan usia lebih dari 4 bulan, bersihan kafein dari plasma terutama mencerminkan aktivitas demetilasi yang dimediasi oleh CYP1A2 yang nilainya sebanding dengan orang dewasa. Sedangkan pada bayi berusia lebih dari 6 bulan bersihan plasma teofilin dapat melebihi orang dewasa. Selain itu tingkat demetilasi kafein pada remaja putri tampaknya menurun ketingkat yang terlihat pada orang dewasa setelah remaja tersebut melewati tahap Tanner 2, sedangkan pada remaja laki-laki akan terjadi setelah melewati tahap Tanner 4 atau 5. Sehingga jelas terlihat bahwa ontogeni CYP1A2 sangat dipengaruhi oleh jenis kelamin.

Perkembangan Enzim Fase 2
Ontogeni reaksi konjugasi (yang melibatkan enzim fase 2) kurang mapan dibandingkan dengan ontogeni reaksi yang melibatkan enzim fase 1. Data yang tersedia menunjukan bahwa isoform individual dari glukorosiltransferase (UGT) memiliki profil pematangan yang unik dengan konsekuensi farmakokinetik. Misalnya, glukoronidasi parasetamol (substrat untuk UGT1A6 dan dalam jumlah kecil UGT1A9) menurun pada neonatus dan anak-anak dibandingkan pada orang dewasa dan remaja. Glukoronidasi morfin (substrat UGT2B7) dapat dideteksi secara dini pada infant sebagaimana pada janin dalam 24 minggu usia kehamilan. Bersihan morfin dari plasma berkorelasi positif dengan usia pasca konsepsional dan quadruples antara 27-40 minggu usia postkonseptual, sehingga mengharuskan penyesuaian peningkatan dosis morfin untuk menghasilkan efek analgesia yang efektif.

Dalam sebuah studi klinis tentang obat-obat yang dimetabolisme dalam hati bersihan obat dalam plasma meningkat pada anak-anak dengan usia dibawah 10 tahun, dibandingkan dengan orang dewasa sehingga memerlukan dosis yang lebih tinggi berdasarkan berat badan dibandingkan orang dewasa. Mekanisme yang mendasari hal ini belum diketahui. 

Jumat, 30 November 2012

HIPERTENSI KRONIS PADA KEHAMILAN



Seorang wanita yang telah berusia 35 tahun, belum pernah hamil dan telah memiliki riwayat hipertensi selama 5 tahun terakhir dan ingin segera mendapatkan kehamilan. Dia telah berhenti menggunakan kontrasepsi. Satu-satunya obat yang masih dikonsumsinya adalah lisinopril 10 mg perhari. Tekanan darahnya kini 124/68 mm Hg, dengan indeks masa tubuh 27. Indeks masa tubuh adalah berat badan dalam satuan kilogram permeter persegi luas permukaan tubuh. Apa yang dapat kita sarankan untuk pasien ini?

*****************

Problem Klinis


Hipertensi kronis pada masa kehamilan didefinisikan sebagai kondisi tekanan darah sekurang-kurangnya sistolik 140 mm Hg dan dengan tekanan darah diastolik sekurang-kurangnya 90 mm Hg pada masa sebelum kehamilan. Untuk wanita yang baru pertama kali hamil hipertensi tersebut dimulai sekurang-kurangnya 20 minggu sebelum kehamilan. Prevalensi hipertensi kronis di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 3% dan terus meningkat dari waktu ke waktu. Peningkatan prevalensi ini terutama disebabkan oleh peningkatan prevalensi obesitas, yang merupakan faktor resiko utama hipertensi. Penundaan masa kehamilan sering terjadi pada perempuan yang mengalami hipertensi kronis tersebut. Sehingga peningkatan jumlah wanita hamil yang disertai dengan hipertensi memerlukan pemantauan khusus kemungkinan terjadinya hipertensi kronis dan perlunya penyesuaian terapi antihipertensi sebelum dan selama masa kehamilan.

Umumnya wanita hamil yang disertai dengan hipertensi kronis akan memiliki kondisi kehamilan yang baik, tetapi mengalami resiko peningkatan komplikasi kehamilan dibandingkan dengan wanita hamil yang tanpa hipertensi. Resiko perburukan kehamilan meningkat seiring peningkatan keparahan hipertensi. Selain itu beberapa agen antihipertensi beresiko pada kehamilan dan harus dihentikan penggunaannya sebelum pembuahan (konsepsi). Mengingat sebagian besar kehamilan adalah kehamilan yang tidak direncanakan, maka pada wanita usia produktif yang mengalami hipertensi harus mendapatkan nasehat khusus sehubungan dengan kehamilan dan upaya perawatan rutin.

Wanita hamil dengan hipertensi kronis memiliki resiko peningkatan preeklamsia sebesar 17-25% dibandingkan populasi umum yang hanya sebesar 3-5%, abrupsi plasenta, pembatasan pertumbuhan janin, kelahiran prematur, dan operasi caesar. Resiko preeklamsia semakin meningkat seiring lamanya masa hipertensi. Preeklamsia merupakan penyebab utama kelahiran prematur dan persalinan dengan operasi caesar pada kelompok ini. 

Pada sebuah studi yang melibatkan 861 pasien dengan hipertensi kronis, preeklamsia berkembang pada 22% pasien dan kondisi tersebut terjadi pada usia kehamilan kurang dari 34 minggu kehamilan, suatu kondisi yang terjadi lebih awal dibandingkan pada kelompok wanita yang tanpa disertai hipertensi. Wanita hamil dengan hipertensi kronis dan preeklamsia merupakan kelompok wanita hamil yang beresiko melahirkan bayi kecil dan abrupsi plasenta, dibandingka wanita hamil dengan hipertensi kronis yang tanpa disertai preeklamsia.

Tanpa disertai preeklamsia pun, wanita hamil dengan hipertensi kronis sangat beresiko mengalami hal-hal yang tidak diinginkan sehubungan dengan kehamilannya. Sebuah studi yang dilakukan di Kanada, Amerika Serikat dan New Zealand telah menunjukan adanya pembatasan pertumbuhan janin (berat janin diperkirakan 10% lebih rendah dari kehamilan normal). Dalam sebuah metaanalisis di Denmark setelah penyesuaian untuk usia, indeks massa tubuh, status merokok, paritas dan diabetes, hipertensi kronis dikaitkan dengan kira-kira lima kali kelahiran prematur dan peningkatan 50% melahirkan bayi kecil. Wanita hamil dengan hipertensi kronis memiliki resiko dua kali lebih besar mengalami abrupsi plasenta dibandingkan dengan wanita normotensif (1,56% vs 0,58%), dan resiko tersebut semakin meningkat bila disertai dengan preeklamsia. Hipertensi kronis juga dikaitkan dengan resiko kematian bayi.

Umumnya wanita hamil dengan hipertensi kronis akan mengalami penurunan tekanan darah selama kehamilannya, mirip dengan wanita hamil normotensif (tekanan darahnya normal). Tekanan darah turun pada akhir trimester pertama, dan terus meningkat pada trimester ketiga. Akibatnya penggunaan obat antihipertensi selama masa kehamilan ini sering kali memperuncing masalah. Namun demikian pada sekitar 7-20% wanita hamil ini juga kemungkinan mengalami perburukan hipertensinya selama kehamilan tanpa timbulnya preeklamsia. 

Strategi Dan Bukti


Evaluasi Sebelum Kehamilan


Perawatan wanita dengan hipertensi kronis harus dimulai sebelum masa kehamilan dalam rangka mengoptimalkan rejimen pengobatan sebelum konsepsi dan memfasilitasi konseling tentang potensi komplikasi kehamilan. Evaluasi hipertensi kronis sebelum kehamilan harus mengikuti pedoman oint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatmentof High Blood Pressure 7 (JNC 7) untuk penilaian target-target kerusakan organ, rekomendasi untuk melakukan evaluasi khusus sebelum dan selama masa kehamilan. Rekomendasi tersebut termasuk penggunaan elektrokardiografi (EKG), dan penilaian kadar glukosa darah, hematokrit, kalium serum, kreatinin, kalsium dan profil lipoprotein serta urinalisis.

Mengingat peningkatan resiko preeklamsia pada wanita dengan hipertensi kronis ini, evaluasi sebelum kehamilan juga harus mencakup kuantifikasi 24 jam protein urin untuk mengidentifikasi preeklamsia. Adanya manivestasi hipertensi pada organ dapat memperburuk prognosis selama kehamilan dan harus dilakukan konseling. Sebagai contoh, adanya proteinuria pada awal kehamilan meningkatkan resiko preeklamsia berlapis dan penghentian pertumbuhan janin.

Umumnya wanita dengan hipertensi kronis tidak diketahui penyebabnya. Identifikasi penyebab hipertensi pada wanita usia subur tidak diteliti dengan baik. Evaluasi penyebab hipertensi umumnya terbatas pada wanita dengan hipertensi yang resisten terhadap obat-obatan yang memerlukan beberapa terapi atau memiliki tanda-tanda yang kemungkinan menjadi penyebab sekunder. Namun karena pengujian dalam kasus ini mungkin memerlukan penggunaan diagnostik radiasi dan karena pengobatan kelainan yang terdeteksi sering melibatkan tindakan operasi, praktisi harus melakukan kemungkinan evaluasi tersebut sebelum terjadinya pembuahan.

Pemantauan Preeklamsia


Identifikasi preeklamsia pada wanita dengan hipertensi kronis sangat menantang, mengingat tekanan darah yang tinggi pada permulaan kehamilan serta kemungkinan adanya proteinuria. Preeklamsia harus selalu dipertimbangkan setip kali terjadi kenaikan tekanan darah pada kehamilan dan setap kali ada onset baru peningkatan proteinuria dari kondisi basalnya. Tingginya level asam urat akan membantu membedakan dua kondisi, meskipun ada tumpang tindih yang substansial. Adanya trombositophenia atau tingginya pengujian level fungsi hati dapat mendukung penetapan diagnosis preeklamsia. Baru-baru ini penanda serum dan urin angiogenik telah dipelajari dan mungkin akan membantu dalam diagnosis preeklamsia 

Pilihan Perawatan


Pengobatan dengan Agen antihipertensi


Alasan utama untuk mengobati hipertensi pada kehamilan adalah untuk mengurangi morbiditas ibu terkait hipertensi. Sebuah metaanalisis termasuk 28 uji acak membandingkan pengobatan dengan antihipertensi baik dengan plasebo maupun tanpa pengobatan menunjukan bahwa pengobatan dengan antihipertensi secara signifikan mengurangi hipertensi berat. Namun pengobatan tidak mengurangi resiko preeklamsia berlapis, abrupsi plasenta atau pembatasan pertumbuhan janin, juga tidak memberikan manfaat pada neonatus.

Obat-obat antihipertensi yang dapat digunakan pada masa kehamilan yaitu:
  1. Metildopa, sebuah agonis reseptor alfa yang bekerja sentral, dosis sebesar 250-1500 mg dua kali perhari peroral. Metildopa sering digunakan sebagai terapi lini pertama, data jangka panjang menunjukan keamananya pada keturunan.
  2. Labetalol, yang merupakan kombinasi alfa dan beta bloker. Dosis 2x100-1200 mg peroral. Sering menjadi terapi lini pertama. Obat ini dapat memperburuk asma. Formulasi intravena tersedia untuk pengobatan darurat hipertensi.
  3. Metoprolol, sebuah beta bloker dengan dosis 2x25-200 mg peroral. Obat ini dapat memperburuk asma dan kemungkinan berhubungan dengan penghentian pertumbuhan janin. Beta bloker lainnya misal: pindolol dan propranolol dapat dipakai secara aman. Beberapa ahli merekomendasikan untuk menghindari penggunaan atenolol.
  4. Nifedipin (kerja panjang), sebuah pemblok kanal kalsium. Dosis 30-120 mg perhari. Nifedipin kerja cepat tidak direkomendasikan untuk terapi ini, mengingat kemungkinan resiko hipotensi. Pemblok kanal kalsium lainnya dapat digunakan secara aman.
  5. Hidralazin, merupakan sebuah vasodilator perifer. Dosis 50-300 mg perhari dalam dosis terbagi 2 atau 4. Sediaan hidralazin intravena tersedia untuk terapi darurat hipertensi.
  6. Hidroklorotiazid, sebuah diuretik dengan dosis 12,5-50 mg sekali perhari. Ada kekhawatiran sehubungan penggunaan obat ini, namun tidak ada data studi yang mendukung.
Metildopa merupakan agen antihipertensi yang paling banyak didukung dengan data penelitian tentang khasiat dan keamanan penggunaannya pada wanita hamil. Obat ini telah digunakan sejak tahun 1960-an. Dalam sebuah studi, metildopa tidal menimbulkan efek yang merugikan pada anak-anak yang dilahirkan. Karenanya metildopa sering dijadikan sebagai terapi lini pertama hipertensi pada wanita hamil. Namun, metildopa sering menyebabkan kantuk yang membatasi tolerabilitasnya.

Dalam sebuah metaanalisis beta bloker lebih sedikit menghasilkan episode hipertensi parah dibandingkan metildopa. Labetalol adalah sebuah kombinasi antara beta dan alfa bloker yang sering direkomendasikan sebagai terapi lini pertama hipertensi pada wanita hamil.

Pemblok kanal kalsium kerja panjang juga aman pada kehamilan, meskipun pengalaman penggunaan agen ini lebih terbatas dibandingkan labetalol. Diuretik yang telah lama dianggap kontraindikasi pada kehamilan, karena adanya kekhawatiran penurunan volume. Namun review dalam 9 studi acak menunjukan tidak ada perbedaan signifikan pada kehamilan antara wanita yang menggunakan diuretik dengan yang tidak menggunakannya.


Angiotensin-converting–enzyme (ACE) inhibitors dan  angiotensin-receptor blockers (ARBs) dikontraindikasikan pada kehamilan. Kedua kelompok agen tersebut dikaitkan dengan kasus:

  • oligohidramnion (mungkin akibat gangguan fungsi ginjal janin) 
  • neonatal anuria
  • kelainan pertumbuhan janin
  • hipoplasia tengkorak, dan
  • kematian janin
ACE inhibitor juga dikaitkan dengan efek teratogenik. Dalam sebuah studi retrospektif terhadap wanita yang mengalami paparan ACE inhibitor pada trimester pertama, ACE inhibitor berpotensi menyebabkan cacat jantung dan defek sistem syaraf pusat. 

Modisfikasi gaya hidup termasuk penurunan berat badan dan peningkatan aktivitas fisik bermanfaat untuk kontrol tekanan darah. Selain itu, peningkatan indeks massa tubuh merupakan faktor resiko mapan berkembangnya preeklamsia. The American College of Obstetrics and Gynecology merekomendasikan penurunan berat badan sebelum kehamilan. 

Tekanan Darah Ideal pada Kehamilan


Tidak ada data konklusif yang menyarankan nilai tekanan darah dimulainya terapi denganagen antihipertensi. Pedoman profesional memberikan rekomendasi berbeda tentang indikasi terapi awal dengan agen antihipertensi (rentang tekanan darah dari >159/89 mm Hg menjadi >169/109 mm Hg) dan tekanan darah target untuk wanita yang menerima terapi adalah <140/90 mm Hg hingga <160/110 mm Hg. Beberapa ahli merekomendasikan penghentian penggunaan agen antihipertensi selama kehamilan, selama tekanan darah berada pada ambang batas tersebut. Bagi wanita yang melanjutkan terapi antihipertensi harus menghindari penurunan tekanan darah yang agresif. Sebuah metaanalisis menyatakan bahwa penurunan tekanan darah yang terlalu besar berhubungan dengan penghentian pertumbuhan janin. Dengan demikian sebelum kehamilan, dosis antihipertensi perlu dikurangi, terutama pada trimester kedua.


Pencegahan Preeklamsia


Karena preeklamsia merupakan efek buruk utama pada kehamilan yang berkaitan dengan hipertensi, maka banyak wanita yang menanyakan adakah terapi pencegahan untuk hal ini. Pada sebuah uji terkontrol plasebo menunjukan tidak adanya penurunan resiko yang signifikan terkait penggunaan dosis rendah aspirin, suplemen kalsium, suplemen antioksidan dengan vitamin C dan E, meskipun dalam sebuah metaanalisi dalam skala lebih kecil menyatakan adanya manfaat dari terapi tersebut.


Pengawasan Janin


Upaya untuk memantau wanita hamil dan janin dalam kandungannya dapat dilakukan dengan kunjungan prenatal secara lebih sering pada wanita hamil dengan hipertensi kronis. Memantauan tersebut dilakukan dengan melakukan pengukuran tekanan darah dan protein urin. Karena kelompok kehamilan ini beresiko mengalami penghentian pertumbuhan janin, maka evaluasi pertumbuhan janin sangat perlu dilakukan. Banyak dokter melakukan pengukuran tinggi fundus uteri dan estimasi berat janin dengan menggunakan ultrasonografi (USG) yang dimulai pada awal trimester ketiga dan berlanjut dengan interval 2-4 minggu tergantung pada tekanan darah ibu, obat-obatan, komplikasi dan temuan pada pemeriksaan sebelumnya. Meskipun data pada populasi beresiko rendah menunjukan bahwa USG dan evaluasi tinggi fundus uteri menunjukan hasil yang sama dalam mendeteksi pembetasan pertumbuhan janin, namun USG memberikan kelebihan dalam hal penilaian terhadap volume cairan ketuban, serta nada dan pergerakan janin (profil biofisik), sehingga dalam hal ini USG dapat memberikan manfaat lebih. 

Mengingat adanya resiko bayi lahir meninggal dunia pada wanita hamil dengan hipertensi, maka pengawasan terhadap janin sangat dianjurkan, meskipun sebagian ahlinya lainnya hanya merekomendasikannya pada kehamilan yang disertai dengan kompikasi seperti penghentian pertumbuhan janin atau preeklamsia. Pengujian juga dapat meliputi evaluasi pola dan variabilitas denyut jantung janin (uji nonstres). Komplikasi maternal (misal; perburukan hipertensi atau preeklamsia), hasil uji nonstres janin dan penghentian pertumbuhan janin sering menjadi indikasi persalinan lebih awal (preterm). Dokter harus memperhitungkan resiko morbiditas janin pada persalinan terkait komplikasi pada janin dan ibu. Sedangkan pada wanita hamil dengan hipertensi kronis tanpa disertai komplikasi tambahan, persalinan umumnya terjadi pada waktunya.


Menyusui


Menyusui sebaiknya tetap dilakukan oleh wanita dengan hipertensi, termasuk yang memerlukan obat. Meskipun sebagian obat antihipertensi dapat dideteksi pada air susu ibu (ASI), namun umumnya konsentrasinya jauh lebih rendah dibandingkan konsentrasinya pada plasma ibu. American Academy of Pediatrics menyatakan bahwa sebagian besar antihipertensi termasuk ACE inhibitor kompatibel/cocok untuk wanita yang sedang menyusui. Society of Obstetricians and Gynaecologists of Canada mencatat bahwa penggunaan nifedipi kerja panjang, labetalol, metildopa, kaptopril dan enalapril dapat diterima oleh wanita menyusui.


Kesimpulan dan Rekomendasi


Wanita dengan hipertensi kronis seperti dalam kasus ini harus diberi konseling untuk menggunakan kontrasepsi sampai ia menjalani evaluasi sebelum kehamilan, yang meliputi:
  • Penilaian kerusakan akhir organ-organ
  • Evaluasi penyebab hipertensi
  • Pencatatan riwayat medis
  • Pemeriksaan fisik
  • Pengujian laboratorium dan
  • Penyesuaian terapi antihipertensi
Jika penyebab hipertensi reversibel terdeteksi sebelum kehamilan maka harus segera diatasi sebelum kehamilan. Sebelum hamil, pasien harus mengganti ACE inhibitor dengan agen lain yang dianggap aman untuk wanita hamil seperti metildopa, labetalol atau nifedipin kerja panjang. Pasien juga disarankan untuk melakukan penurunan berat badan. Meskipun pedoman merekomendasikan penggunaan metildopa sebagai terapi lini pertama, namun dalam prakteknya labetalol lebih sering digunakan sebagai terapi lini pertama karena efek sampingnya yang lebih ringan. 

Pasien harus senantiasa didampingi selama kehamilannya. Karena dia memiliki riwayat 5 tahun hipertensi maka beresiko mengalami preeklamsia. Tekanan darah sebaiknya berada pada kisaran 130/80 hingga 150/100 mm Hg.







ENZIM




Enzim merupakan sebuah bentuk molekul protein yang sangat spesifik. Kekhususan molekul ini akibat adanya aktivitas katalitik yang dihasilkannya. Enzim merupakan katalisator biologis yang memiliki potensi aktivitas katalitik sangat besar, dengan spesifisitas yang tinggi tergantung pada substratnya. Dalam aktivitas katalitiknya, enzim mempercepat berlangsungnya suatu reaksi kimiawi dalam tubuh tanpa menghasilkan produk sampingan. Molekul ini dapat bekerja dengan baik pada larutan encer dengan kondisi pH normal.

Enzim merupakan unit fungsional dari metabolisme sel. Enzim bekerja dengan sistematika yang sangat teratur, mengkatalisis ratusan reaksi tahap demi tahap yang sangat sistematis. Enzim mengkatalisis berbagai reaksi baik itu penguraian nutrien, penyimpanan dan pengubahan energi kimiawi, dan membuat sebuah mekromolekul dari prekursor-prekursor sederhana penyusunnya. 

Pada beberapa penyakit, terutama gangguan genetik yang bersifat menurun, penyakit tersebut mungkin disebabkan akibat kekurangan atau tidak adanya satu atau beberapa enzim pada jaringan. Pada keadaan abnormal lainnya, aktivitas yang berlebihan dari enzim tertentu kadang dapat dikontrol dengan obat-obatan tertentu yang bekerja dengan menghambat aktivitas katalitiknya. Selanjutnya, pengukuran aktivitas katalitik enzim tertentu pada plasma darah, sel darah merah atau jaringan diperlukan guna melakukan pemantauan terhadap suatu penyakit. Enzim telah menjadi molekul yang penting bukan saja pada dunia kesehatan, namun juga dalam industri kimiawi, pengolahan pangan dan pertanian. Bahkan dalam aktivitas sehari-hari di rumah tangga, enzim juga memainkan peranan penting.

Hingga saat ini terdapat sekitar 2000 jenis enzim yang telah diketahui sifat dan kekhususannya. 

Sejarah Penemuan Enzim


Penemuan enzim dimulai pada sekitar tahun 1800. Penelitian tersebut bermula dari pencernaan daging oleh sekresi lambung dan perubahan pati menjadi gula oleh air liur dan berbagai ekstrak tumbuhan. Selanjutnya, sejumlah katalis biologi diketahui bersifat enzimatik, ditemukan pada tahun 1850. Louis Pasteur menyimpulkan bahwa fermentasi gula menjadi alkohol dikatalisis oleh "fermen". Fermen kemudian dinamakan enzim ("didalam ragi") yang tidak dapat dipisahkan dari struktur sel ragi hidup. Pendapat ini bertahan hingga bertahun-tahun. Hingga pada tahun 1897 Eduard Buchner berhasil mengekstrak suatu bentuk sel aktif dari sel ragi, yaitu serangkaian enzim yang mengkatalisis fermentasi gula menjadi alkohol. Penemuan ini membuktikan bahwa enzim yang mengkatalisis lintas metabolik utama penghasil energi tetap berfungsi jika dipindahkan dari struktur sel hidup. Penemuan ini telah mendorong para ahli untuk lebih aktif mengekstrak berbagai jenis enzim.

Pada awal abad 20, Emil Fischer melakukan sebuah penelitian yang sistematis mengenai spesifisitas enzim. Namun baru pada tahun 1926, enzim dapat diisolasi dalam bentuk kristal. Enzim yang pertama kali diisolasi tersebut adalah urease yang diperoleh dari ekstrak kacang oleh James Summer di Universitas Cornell. Summer meneumukan bahwa kristal urease tersebut mempunyai sifat yang sama dengan protein.Oleh karena itu ia mengemukakan bahwa semua enzim adalah protein.

Hingga sekarang masih sangat banyak pertanyaan tentang enzim yang belum terjawab dengan baik. Berikut adalah pertanyaan-pertanyaan tersebut:

  • Mengapa protein diseleksi untuk menjadi katalisator sel?
  • Mengapa molekul enzim demikian besar dibandingkan dengan struktur substratnya?
  • Bagaimana asam amino yang dalam keadaan sendiri-sendiri tidak dapat mempercepat reaksi kimia, tetapi ketika bergabung menurut enzim dapat menghasilkan aktivitas katalitik yang demikian ampuh?
  • Bagaimanakah kerja enzim diatur?

Enzim Sebagai Protein


Semua enzim murni yang diamati hingga saat ini adalah protein. Aktivitas katalitiknya bergantung pada integritas strukturnya sebagai protein. Sebagai contoh, jika enzim dididihkan dengan asam kuat atau diinkubasi dengan tripsin, yaitu suatu perlakuan untuk memotong rantai polipeptida, maka aktivitas katalitiknya akan hancur. Hal tersebut menunjukan bahwa kerangka primer protein dari enzim dierlukan dalam aktivitas katalitiknya. Demikian pula perlakuan panas, pH yang menyimpang dari kondisi normal, atau perlakuan yang merusak molekul protein lainnya juga akan menghilangkan aktivitas katalitik enzim tersebut. Jadi struktur primer, sekunder dan tersier protein dari enzim penting dalam aktivitas katalitiknya.

Seperti halnya molekul protein, enzim mempunyai berat molekul yang berkisar 12000 hingga 1 juta. Karena itu enzim berukuran sangat besar. Beberapa enzim hanya mengandung polipeptida, namun ada juga enzim lain yang memerlukan komponen kimia lain sebagai kofaktor. Kofaktor ini dapat berupa molekul anorganik atau pun molekul organik kompleks yang disebut koenzim. Beberapa enzim memerlukan koenzim dengan satu atau lebih ion logam dalam aktivitas katalitiknya. Pada beberapa enzim, koenzim atau ion logam hanya terikat secara lemah atau sementara waktu pada protein, tetapi ada juga enzim yang mengikat kofaktor secara kuat dan permanen yang dalam hal ini kofaktor tersebut disebut sebagai gugus prostetik. Enzim yang strukturnya sempurna dan aktif mengkatalisis bersama koenzim dan gugus logamnya disebut holoenzim. Koenzim dan ion logam bersifat stabil terhadap pemanasan, sedangkan bagian protein yang pada enzim tersebut disebut apoenzim akan terdenaturasi saat pemanasan.

Beberapa ion logam pada enzim:
  1. Fe2+ atau Fe3+ pada enzim oksidase sitokrom, katalase, dan peroksidase 
  2. Cu2+ pada enzim oksidase sitokrom
  3. Mg2+ pada enzim heksokinase dan 6-fosfatase glukosa
  4. Mn2+ pada enzim arginase
  5. K+ pada enzim kinase piruvat (juga memerlukan Mg2+)
  6. Ni2+ pada enzim urease
  7. Mo pada enzim reduktase nitrat
  8. Se pada enzim peroksidase glutation
  9. Zn2+  pada enzim polimerase DNA, anhidrase karbonik dan dehidrogenase alkohol
Beberapa koenzim yang berfungsi sebagai pembawa sementara atom spesifik atau gugus fungsional:
  1. Tiamin pirofosfat berfungsi memindahkan gugus aldehide
  2. Flavin Adenin dinukleotida memindahkan atom hidrogen
  3. Nikotinamida adenin dinukleotida memindahkan ion hidrida (H-)
  4. Koenzim A memindahkan gugus asil
  5. Piridoksal fosfat memindahkan gugus amino
  6. 5-deoksiadenosiklobalamin (koenzim B12) memindahkan gugus H dan gugus alkil
  7. Biositin memindahkan CO2
  8. Tetrahidrofolat memindahkan gugus karbon lainnya


Klasifikasi Enzim


Enzim diklasifikasikan berdasarkan reaksi yang dikatalisisnya. Klasifikasi enzim secara internasional adalah sebagai berikut:
  1. Oksidoreduktase mengkatalisis pemindahan elektron
  2. Transferase mengkatalisis reaksi pemindahan gugus fungsional
  3. Hidrolase mengkatalisis reaksi hidrolisis (pemindahan gugus fungsional ke air)
  4. Liase mengkatalisis penambahan gugus ke ikatan ganda atau sebaliknya
  5. Isomerase mengkatalisis pemindahan gugus didalam molekul, menghasilkan bentuk isomer
  6. Ligase mengkatalisis pembentukan ikatan C-C, C-S, C-O, dan C-N oleh reaksi kondensasi yang berkaitan dengan penguraian ATP
Enzim adalah katalisator sejati. Enzim meningkatkan kecepatan reaksi dengan cara menurunkan energi aktivasinya. 













Rabu, 28 November 2012

STUDI KASUS; RUPTURE UTERI




PRESENTASI KASUS

Seorang wanita berusia 27 tahun dengan gravida 3, para 2, dirawat di rumah sakit Ethiopia karena nyeri perut berat selama persalinannya, dengan penghentian kontraksi. 
Kondisi kesehatan pasien baik. Pasien juga menerima perawatan kehamilan normal (4 kali kunjungan) disebuah pusat kesehatan didekat rumah sakit ini selama kehamilan, yang dimulai pada usia 20 minggu kehamilan. Dia memiliki riwayat kelahiran pervaginam 5 tahun yang lalu dengan bobot badan lahir bayi sebesar 2800 gram, dan 3 tahun yang lalu pasien ini mengalami persalinan dengan bayi meninggal dunia, penyebab kematian bayi dan berat lahir bayi tidak diketahui, otopsi tidak dilakukan. Ultrasonografi (USG) selama kehamilan ini belum dilakukan. Semua kehamilan berasal dari ayah yang sama. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit atau prosedur pembedahan. Pasien juga tidak melakukan sirkumsisi. Pasien tinggal didaerah pedesaan terpencil di Ethiopia Utara dan tinggal bersama suami dan anak-anaknya.

Pada beberapa hari sebelum masuk di rumah sakit, diusia kehamilan yang telah mencukupi untuk melahirkan, persalinan spontan dimulai dirumahnya dengan dibantu oleh seorang dukun beranak. Sekitar 24 jam sebelum masuk rumah sakit, dia mulai aktif mendorong/mengedan. Sekitar 3 jam sebelum masuk rumah sakit terjadi perdarahan pervagina secara tiba-tiba yang disertai nyeri yang parah dan diikuti dengan penghentian kontraksi yang progresif. Pasien kemudian dibawa ke rumah sakit dengan hanya ditemani suaminya setelah menempuh perjalanan sekitar 2 jam. Pasien dibawa ke rumah sakit Ayder, sebuah rumah sakit pendidikan untuk College of Health Sciences at Mekelle University in Mekelle, Ethiopia.

Pada pemeriksaan awal, pasien dinyatakan sadar dengan kondisi pucat dan lemah. Tekanan darah 60/30 mm Hg dengan denyut nadi 112 denyut permenit dan lemah. Membran mukosa kering dan konjungtiva putih. Perut buncit tidak teratur. Pada bagian perut yang teraba adanya janin, bunyi jantung janin tidak terdengar, ada pergeseran perut kusam, dan adanya sensasi perut. Hematokrit 12%. Cairan infus diserap dengan cepat.  Setelah 30 menit kedatangan pasien dilakukan sebuah prosedur.

DIFFERENSIAL DIAGNOSIS


Dr. Birhanu Sendek Getahun: seorang wanita yang awalnya sehat memiliki onset sakit perut mendadak, perdarahan vagina dan penghentian kontraksi setelah 24 jam mendorong aktif. Kondisi emergensi terjadi di rumah, tanpa adanya tenaga medis yang membantu. Mencapai rumah sakit terdekat setelah menempuh perjalanan yang cukup lama dan tanpa adanya dukungan medis. 

Differensial diagnosis untuk kasus ini berupa nyeri abdomen yang parah selama persalinan termasuk nyeri yang disebabkan oleh faktor yang berhubungan dengan kehamilan dan tidak berhubungan dengan kehamilan. Setiap peristiwa nyeri akut yang terjadi selama kehamilan dapat dikelompokan menjadi:
Disebabkan oleh faktor-faktor yang berhubungan dengan kehamilan
  • korioamnionitis
  • solusio plasenta
  • rusaknya gravida uterus
Disebabkan oleh faktor-faktor yang tidak berhubungan dengan kehamilan
  • ginekologis; torsi kista ovarium, pecahnya kista ovarium
  • nonginekologis; strangulasi hernia, obstruksi usus, kolik ginjal, apendiksitis akut.
Dalam hal ini nyeri perut akut yang berhubungan dengan terhentinya kontraksi, maka kemungkinan nyeri akut tersebut berhubungan dengan kehamilan.

Korioamnionitis
Penyebab ini merupakan penyebab yang paling umum dan paling mungkin. Infeksi cairan ketuban dapat mengakibatkan endomyometritis, dengan pelembutan uterus dan nyeri. Korioamnionitis merupakan gangguan yang relatif umum pada kehamilan. Wanita dengan perpanjangan kala pembukaan (prolonged of labour) dan ketuban pecah dini yang telah mengalami pemeriksaan panggul sering beresiko mengalami infeksi cairan ketuban dan pasien ini mengalami perpanjangan kala pembukaan dan telah mendorong (mengedan) selama 24 jam. Dalam hal ini tidak diketahui apakah ketuban telah pecah serta apakah telah dilakukan pemeriksaan panggul atau belum. Demikian pula tidak diketahui kemungkinan adanya riwayat demam dan apakah pasien mengalami keputihan berbau busuk atau tidak. Namun lebih lanjut, tanpa mengesampingkan kemungkinan korioamnionitis, adanya eksaserbasi akut nyeri abdomen dengan penghentian kontraksi sangat tidak mungkin hadir dalam gangguan ini.

Solusio Plasenta
Solusio plasenta yang parah dapat menyebabkan eksaserbasi nyeri perut akut selama persalinan dan perdarahan vagina berat yang diikuti dengan syok. Selain itu kematian janin mendadak juga dapat terjadi jika solusio plasenta total terjadi. Dengan kondisi yang terjadi pada pasien, diagnosis ini layak dipertimbangkan. 

Solusio plasenta terjadi ketika seluruh atau sebagian plasenta terdorong dari dinding endometrium oleh darah arteri ibu. Perfusi plasenta menghilang secara mendadak sehingga mengakibatkan kematian janin dan perdarahan bagi sang ibu. Ada banyak faktor pada ibu hamil yang berhubungan dengan kasus ini, seperti:
  • Hipertensi
  • Trauma
  • Paparan asap rokok
  • Konsumsi alkohol
  • Penggunaan kokain
  • Riwayat solusio plasenta sebelumnya
  • Multigraviditas
  • Dan usia kehamilan 
selain itu, sering kali solusio plasenta ini disebabkan oleh sebab-sebab yang tidak diketahui (idiopatik).

Pada kasus ini, pada pemeriksaan abdomen teridentifikasi bagian yang teraba janin dan adanya bukti perdarahan peritoneal. Temuan ini menunjukan adanya penyebab yang berbeda, dan diduga adanya pecah rahim.

Pecah Uterus (Ruptur Uteri)
Pecahnya gravida uterus melewati semua ketebalan miometrium. Hal ini disebabkan oleh pembukaan dimana janin dan plasenta intraperitoneal diekstrusi dengan berakhirnya kontraksi uterus. Pemisahan lengkap atau sebagian rahim dari serviks atau cairan myometrium atau pengeluaran isi kandungan menyebabkan terhentinya kontraksi. Pecah uterus dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
  1. Berdasarkan penyebabnya: spontan atau trauma
  2. Berdasarkan luasnya ruptur: komplit atau tak komplit
  3. Berdasarkan situs anatominya; anterior melintang, lateral kiri, lateral kanan, fundal, atau kombinasi
  4. Berdasarkan riwayat uterus; sebelumnya kelahiran SC, pembedahan uterus sebelumnya, atau tempat Cervical cerclage
  5. Berdasarkan hubungannya dengan persalinan; ante partum, intra partum atau post partum
Pecah uterus (ruptur uteri) merupakan kasus yang jarang terjadi dinegara-negara maju, namun sangat sering terjadi dinegara-negara miskin. Rupture uteri merupakan salah satu penyebab kematian ibu dan janin yang umum dinegara-negara terbelakang. Prevalensi pecah uterus adalah sekitar 1 kasus per 4800 kasus persalinan dinegara maju dan 1 dari 325 kasus persalinan dinegara tertinggal (termasuk Ethiopia), dan 1 dari 56 kasus persalinan pada daerah-daerah yang sangat kekurangan sumber daya kesehatan seperti pada beberapa daerah di Ethiopia.

Sebab-sebab terjadinya Pecah Uterus
  1. Trauma. Trauma ini akan sering menyebabkan pecah uterus apabila rahim berparut. Luka uterus dapat terjadi karena cesarean section, myomektomi atau metroplasties. Pecah uterus traumatik dapat terjadi selama penggunaan obat uterotonika, persalinan dengan alat bantu atau prosedur obstetri lainnya. Pecah uterus spontan dapat terjadi tanpa persalinan, namun lebih sering merupakan komplikasi persalinan.
  2. Pada daerah dengan perawatan kebidanan yang terbatas, kasus pecah uterus dapat terjadi pada sekitar 75% kasus. Pecah uterus spontan dapat terjadi pada uterus tanpa parut sebagai konsekuensi perpanjangan kala persalinan. Pecahnya uterus ini dapat disebabkan oleh disproporsi cephalopelvic, letak sungsang, malpresentasi dan malformasi kongenital (misal janin asites atau kembar siam)
  3. Pernikahan dini dan kehamilan pada remaja yang belum sepenuhnya matang medis, kurang gizi dan praktek persalinan tradisional yang membahayakan merupakan faktor lain yang dapat meningkatkan resiko komplikasi kehamilan termasuk pecah uterus.
Presentasi Klinis
  1. Nyeri abdomen yang tajam disertai dengan berhentinya kontraksi
  2. Hilangnya dorongan untuk mengedan dan perdarahan pervagina
  3. Biasanya syok dengan takikardia, takipnea, dehidrasi, demam dan kebingungan akibatnya banyaknya kehilangan darah
  4. Pada pemeriksaan perut, janin teraba, area kelembutan, tidak terdengar detak jantung janin dan tanda-tanda pengumpulan cairan
  5. Pada pemeriksaan vagina terlihat adanya dilatasi serviks dengan bukti disproporsi cephalopelvic.
Situs yang paling umum dari pecah uterus spontan adalah dengan segmen anterior melintang rendah diikuti dengan segmen lateral kiri.

Manajemen dan Pencegahan
Manajemen pecah uterus dimulai dengan pemberian cairan kristaloid, transfusi darah intravena, dekompresi lambung dengan penyisipan tabung nasogastrik, kateterisasi urinasi, dan pengobatan dengan antibiotik spektrum luas. Laparatomi adalah perawatan standar untuk semua kasus pecah uterus dan kasus-kasus dimana ada kekhawatiran klinis tentang pecahnya uterus karena adanya sakit rahim yang ekstrim, kontraksi tetanus, dan sejarah perpanjangan persalinan. Keputusan manajemen definitif dibuat atas dasar keinginan pasien dengan mempertimbangkan kesburan dimasa depan, durasi ruptur, dan ada tidaknya komplikasi seperti infeksi. Dengan demikian manajemen dapat berkisar seputar perbaikan dengan atau tanpa ligasi tuba dengan histerektomi abdominal total. Resiko atonia uteri persisten adalah faktor utama dalam keputusan tentang apakah akan melanjutkan ke histerektomi atau tidak.

Manajemen pasca operasi dalam kasus ini sama rumitnya dengan prosedur operasi itu sendiri. Tindakan pasca operasi meliputi transfusi, pengistirahatan kandung kemih, perawatan luka dan pemberian antibiotik. Morbiditas dan mortalitas pasca operasi tetap tinggi. Setelah perbaikan, resiko pecah uterus lain tetap mungkin terjadi, oleh karena itu dalam manajemen ini hampir selalu melibatkan ligasi bilateral tuba. Keputusan melakukan ligasi tuba ini harus dilakukan atas persetujuan pasien dan keluarga.

Pencegahan ruptur uterus spontan memerlukan perbaikan dalam pengelolaan persalinan misalnya:

  • Pengakuan kegagalan untuk kemajuan
  • Disproporsi cephalopelvic
  • Malpresentasi
yang diikuti tindakan operatif cepat. Ada tiga keterlambatan yang berakibat fatal dalam hal persalinan:
  1. Keterlambatan dalam mengenali masalah persalinan dan memutuskan untuk mencari bantuan medis
  2. Keterlambatan dalam mencapai fasilitas medis yang terampil
  3. Keterlambatan dalam memperoleh intervensi yang tepat pada saat kedatangan
Keterlambatan-keterlambatan tersebut sering mengakibatkan komplikasi obstetri, ruptur uteri, fistula obstetri, kematian ibu dan janin. Kaus ini mencontohkan adanya 2 dari 3 keterlambatan tersebut, yaitu keterlambatan dalam mencari pertolongan medis (pasien telah mengedan lebih dari 24 jam) dan keterlambatan dalam mencapai fasilitas medis (diperlukan perjalanan lebih dari 2 jam untuk mencapai rumah sakit). 

Komplikasi lain Dari Perpanjangan Masa Persalinan
Ruptur uteri yang terjadi pada pasien ini kemungkinan disebabkan oleh perpanjangan tahap kedua persalinan yang juga beresiko mengakibatkan terjadinya fistula, yang merupakan komplikasi lain dari persalinan. Partus lama (perpanjangan masa persalinan) dipengaruhi oleh presentasi panggul, menyebabkan nekrosis tekanan jaringan panggul yang dapat menyebabkan abnormalitas antara vagina dan kandung kemih atau rektum yang dikenal dengan istilah fistula obstetri. Fistula obstetri terjadi pada sekitar 0,3-3% dari kasus komplikasi kahamilan dengan persalinan macet dan dapat terjadi bersama-sama dengan ruptur uteri. Diperkirakan sekitar 2 juta perempuan terutama dinegara-negara miskin mengalami fistula obstetri, dan kasus ini merupakan kasus yang jarang terjadi dinegara-negara maju.

Jika pasien ini bertahan, maka perlu dilakukan pemantauan kemungkinan berkembangnya fistula. Fistula vesikovaginal (suatu bagian antara kandung kemih dan vagina) merupakan bentuk paling umum dari fistula dengan kebocoran kemih yang terus-menerus yang biasanya dimulai pada hari ke-10 setelah melahirkan. 




Rabu, 21 November 2012

KAPTOPRIL



Kaptopril atau captopril adalah salah satu obat yang familiar dibanyak negara, termasuk Indonesia. Kaptopril ini digunakan secara luas di Indonesia, dan merupakan salah satu obat yang cukup banyak diresepkan oleh para dokter, baik dokter umum maupun spesialis penyakit dalam. Tulisan ini akan berusaha menyajikan semua informasi terkait dengan kaptopril dari berbagai aspek.

Kaptopril merupakan salah obat dari golongan Angiotensin-converting enzime (ACE) inhibitor atau obat yang bekerja dengan cara menghambat kerja dari enzim pengkonversi angiotensin. Kaptopril digunakaan secara luas dalam penanganan kasus hipertensi dan pada beberapa tipe gagal jantung kongestif. Kaptopril merupakan agen ACE inhibitor yang pertama kali dikembangkan dan dianggap sebagai terobosan baru yang baik karena mekanisme kerjanya yang terbilang revolusioner.

NAMA DAN STRUKTUR KIMIA


Kaptopril mempunyai nama sistematik berupa (2S)-1-[(2S)-2-methyl-3-sulfanylpropanoyl] pyrrolidine-2-carboxylic acid. Obat ini pertama kali dipasarkan dengan nama dagang Capoten yang diproduksi oleh Bristol-Myers Squib. Penggunaan kaptopril pada wanita hamil sangat tidak direkomendasikan karena obat ini masuk pregnancy category D. Struktur kimia obat ini adalah sebagai berikut:



Rumus Struktur Kaptopril

SEJARAH


Kaptoril awalnya dikembangkan oleh tiga orang peneliti yang bekerja untuk Bristol-Myers Squib sebuah perusahaan industri obat Amerika Serikat pada tahun 1975. Para peneliti tersebut adalah Miguel Ondetti, Bernard Rubin dan David Cushman. Squib kemudian mengajukan permohonan perlindungan paten Amerika Serikat pada bulan Februari 1976 dan mendapatkan persetujuan pada September 1977.

Pengembangan kaptopril telah mengawali keberhasilan konsep revolusioner dalam hal pengembangan obat yang berbasis desain struktur. Sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS) telah dipelajari secara intensif sejak awal abad 20 dan menjadi sebuah sistem yang menjanjikan keberhasilan yang besar pada terapi hipertensi. Renin dan enzim pengkonversi angiotensin menjadi 2 target utama. Kaptopril menjadi simbol keberhasilan laboratorium Squib dalam pengembangan ACE inhibitor ini.

Penelitian mengenai kaptopril ini pada dasarnya merupakan kelanjutan dari penelitian sebelumnya yaitu pada tahun 1967, dimana Kevin KF menemukan adanya konversi angiotensin I menjadi angiotensin II berlangsung didalam sirkulasi paru-paru dan bukannya didalam darah. Sementara itu Sergio Ferreira menemukan bahwa bradikinin menghilang dalam perjalanannya melalui sirkulasi paru-paru. Konversi angiotensin I menjadi angiotensin II dan menghilangnya bradikinin diperkirakan dimediasi oleh enzim yang sama.

Tahun 1970 Sergio Ferreira menggunakan bradykinin potentiating factor (BPF) dan menemukan bukti bahwa konversi angiotensin I menjadi angiotensin II menjadi terhambat. BPF adalah sebuah peptida dalam bisa ular lancehead (Bothrops jararaca), yang merupakan produk penghambat konversi enzim. Kaptopril dikembangkan dari peptida tersebut dan ditemukan melalui  QSAR-based modification yang menunjukan bahwa rantai terminal sufhidril dari peptida tersebut memberikan potensi penghambatan ACE yang besar.

Kaptopril mendapat persetujuan FDA pada tanggal 6 April 1981. Dan obat ini menjadi obat generik di Amerika Serikat sejak Februari 1996, dan saat itu eksklusivitas yang dimiliki Squib berakhir. Pengembangan kaptopril telah dianggap sebagai 'biopiracy' (komersialisasi obat tradisional), karena tidak adanya keuntungan yang mengalir kepada pribumi Brazil sebagai kelompok masyarakat yang pertama kali memanfaatkan penggunaan bisa ular tersebut untuk pengobatan.

SINTESIS


Sintesis kaptopril secara kimia dengan memanfaatkan  L-proline dan (2S)-3-acetylthio-2-methylpropanoyl chloride pada kondisi basa (NaOH), yang kemudian diikuti dengan amiolisis dari kelompok asetil yang kemudian membuka masker tiol bebas. 


Sintesis Kaptopril

KEGUNAAN


Kaptopril dapat digunakan secara tunggal atau dikombinasi dengan agen antihipertensi lainnya dalam pengelolaan hiperetensi. Karena kaptopril dapat menimbulkan efek samping yang serius (misalnya netropenia dan agranulositosis) terutama bila diberikan pada pasien yang mengalami penurunan fungsi ginjal (terutama bila disertai dengan penyakit vaskuler kolagen) atau pasien yang menerima terapi imunosupresif, obat ini awalnya disiapkan untuk pasien dengan hipertensi (biasanya parah) yang tidak dapat tertangani dengan baik pada pemberian dosis terapi maksimal agen antihipertensi lainnya dalam regimen kombinasi (biasanya diuretik, β-bloker dan vasodilator) atau ketika regimen tersebut memberikan efek samping yang tak tertahankan. Namun, pengalaman klinis dengan dosis rendah (150 mg/hari) telah menunjukan bahwa kaptopril memiliki rasio manfaat-resiko yang menguntungkan dalam pengelolaan hipertensi ringan hingga sedang dan obat ini dapat digunakan sebagai terapi awal pasien dengan fungsi ginjal yang normal, dengan resiko efek samping hematologi yang relatif rendah. Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, terutama dengan penyakit vaskuler kolagen, kaptopril hanya boleh diberikan jika antihipertensi lain menghasilkan efek samping yang tak tertahankan atau kombinasi obat lainnya tidak memberikan respon yang memadai.

The Joint National Committee (JNC 7) on the Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of Hypertension di Amerika serikat merekomendasikan tiazid sebagai terapi awal hipertensi pada kebanyakan pasien yang tanpa disertai adanya komplikasi penyakit lain. Dalam hal ini tiazid dapat digunakan sebagai agen tunggal atau kombinasi dengan agen lainnya. Tiazid dapat dikombinasikan dengan ACE inhibitor, antagonis reseptor angiotensin II, beta-bloker atau pun pemblok kanal kalsium. Penelitian telah menunjukan bahwa penggunaan tiazid dan diuretik lainnya telah terbukti memberikan manfaat yang tak tertandingi dalam pencegahan komplikasi kardiovaskuler dari hipertensi yang murah dan dapat ditoleransi dengan baik.

Pertimbangan dalam Memulai Terapi Hipertensi
Terapi obat umumnya dicadangkan untuk pasien hipertensi yang tidak memberikan respon memadai terhadap terapi non-obat. Terapi non-obat ini diantaranya:
  1. Modifikasi gaya hidup (termasuk diet dan pembatasan asupan natrium)
  2. Aktivitas fisik/olahraga secara teratur
  3. Moderasi konsumsi alkohol
  4. Penurunan berat badan
Beberapa ahli merekomendasikan penggunaan agen antihipertensi untuk setiap pasien yang memiliki tekanan sistolik/diastolik 140/90 mm Hg yang gagal menurunkan tekanan darahnya dengan modifikasi gaya hidup. Selain itu awal obat antihipertensi ini umumnya dianjurkan pada pasien yang juga menderita diabetes melitus, gagal ginjal kronis atau gagal jantung yang memiliki tekanan darah sistolik 130 mg Hg atau lebih atau dengan tekanan darah diastolik 80 mm Hg atau lebih.

Terapi obat antihipertensi umumnya harus dimulai secara bertahap dengan menilai tekanan darah mingguan. Penambahan jenis obat kedua dimulai jika monoterapi dengan dosis yang cukup tidak mampu memberikan efek penurunan tekanan darah yang optimal. Inisiasi kombinasi antihipertensi dapat dimulai pada pasien dengan tekanan sistolik/diastolik lebih dari 20/10 mm Hg dari nilai yang diharapkan.

Terapi Obat Awal
Untuk hipertensi stadium 1 (tekanan sistolik 140-159 mm Hg atau tekanan diastolik 90-99 mm Hg) tanpa disertai adanya penyakit kardiovaskuler atau faktor-faktor resiko lainnya, sebagian besar ahli menyarankan penggunaan dosis rendah tiazid sebagai obat pilihan awal pada kelompok pasien ini.

Untuk pasien hipertensi stadium 2 (tekanan sistolik 160 mm Hg atau lebih atau dengan tekanan diastolik 100 mm Hg atau lebih) tanpa disertai adanya penyakit kardiovaskuler atau faktor-faktor resiko lainnya, para ahli menyarankan penggunaan kombinasi 2 antihipertensi (biasanya diuretik tiazid dengan ACE inhibitor, sebuah antagonis reseptor angiotensin II, β-bloker, atau pemblok kanal kalsium). Karena adanya kemungkinan resiko hipotensi ortostatik, maka penggunaan kombinasi antihipertensi harus dimulai secara sangat berhati-hati terutama pada kelompok pasien dengan diabetes melitus, geriatrik dan disfungsi otonom.

Terapi Pemeliharaan
Pasien yang gagal memberikan respon yang memadai terhadap terapi awal (1-3 bulan uji coba) dengan ACE inhibitor, antagonis reseptor angiotensin II, diuretik, β-bloker dan atau pemblok kanal kalsium, dosis dari obat awal dapat ditingkatkan (dosis sebaiknya kurang dari dosis maksimum yang masih dapat ditoleransi dengan baik), obat lain dapat diganti, atau ditambahkan obat dari kelas lainnya. Sedangkan pasien yang gagal merespon uji coba dengan pemberian 2 obat harus diobati dengan terapi gabungan. Kebanyakan pasien hipertensi akan memerlukan 2 atau lebih obat antihipertensi untuk mencapai tujuan tekanan sistolik/diastolik kurang dari 140/90 mm Hg atau kurang dari 130/80 mm Hg pada pasien yang juga disertai dengan diabetes melitus, gagal ginjal kronis atau gagal jantung.

Dengan demikian kaptopril dapat digunakan sebagai terapi inisiasi monoterapi, atau sebagai obat lini kedua menggantikan obat lain yang tidak memberikan efek memadai atau tidak dapat ditoleransi dengan baik, atau sebagai komponen suatu regimen dalam kombinasi. Bila sebagai monoterapi kaptopril tidak cukup mampu menurunkan tekanan darah, maka penambahan diuretik tiazid umumnya mampu memberikan tambahan pada penurunan darah, dan dapat dilakukan pengurangan dosis salah satu obat sehingga mengurangi resiko efek samping. Pada pasien hipertensi ringan-sedang (stadium 1 dan 2) tampaknya kombinasi diuretik tiazid dan kaptopril dapat ditoleransi dengan baik dibandingkan bila diuretik tiazid dikombinasikan dengan metildopa atau propranolol.

Kaptopril mungkin juga efektif dalam pengelolaan hipertensi yang resisten terhadap obat lain. Kadang monoterapi kaptopril juga efektif pada penanganan hipertensi berat. Pada pasien yang tekanan darahnya tidak dapat terkontrol dengan menggunakan kaptopril dan diuretik, penambahan β-bloker (misal propranolol) dapat dibenarkan, namun ada laporan yang divergen tentang kombinasi ini, sehingga masih diperlukan studi lebih lanjut tentang khasiat dan keamanannya. Pada pasien angina unstabil atau infark miokard yang disertai hipertensi yang tak terkendali dengan nitrogliserin dan β-bloker, maka kaptopril ditambahkan ke dalam regimen ini.

Toleransi terhadap efek hipotensi kaptopril pada penggunaan jangka panjang tampaknya tak terjadi, terutama bila obat digunakan bersamaan dengan diuretik. Seperti halnya pada penggunaan agen antihipertensi lainnya, penggunaan kaptopril tidak bersifat kuratif, penarikan/penghentian pengobatan dapat menyebabkan level darah kembali kekeadaan sebelum pengobatan. Penghentian penggunaan kaptopril secara mendadak menyebabkan kondisi hipertensi kembali secara bertahap.

Terapi Antihipertensi untuk Pasien dengan Penyakit Kardiovaskuler atau Faktor-faktor Resiko Lainnya
Penggunaan obat antihipertensi pada pasien yang juga menderita penyakit kardiovaskuler harus sangat berhati-hati dan bersifat individual dengan memperhatikan obat-obat lain yang digunakan secara bersamaan, efek samping yang dapat ditoleransi dan tingkat tekanan darah yang diinginkan.

Penyakit Jantung Iskemik

Banyak ahli yang menyatakan bahwa pasien dengan hipertensi dan angina stabil, β-bloker menjadi obat antihipertensi pilihan pertama dengan pemblok kanal kalsium kerja panjang sebagai alternatifnya. Pada pasien dengan sindrom koroner akut (misalnya angina unstabil dan infark miokard) terapi antihipertensi yang utama terdiri dari β-bloker dan ACE inhibitor. Sedangkan pada pasien dengan infark postmiokard penggunaan ACE inhibitor, β-bloker dan antagonis aldosteron (misal eplerenone dan spironolakton) dianggap paling menguntungkan.

Gagal Jantung

ACE inhibitor digunakan untuk mencegah kekambuhan gagal jantung serta mengurangi morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan disfungsi sistolik yang mengikuti infark miokard.
Beberapa ahli menyarankan pasien hipertensi dengan gagal jantung (disfungsi ventrikular diastolik atau sistolik) sebaiknya menerima terapi ACE inhibitor atau β-bloker jika disfungsi ventrikular tersebut tanpa disertai gejala, sementara jika disfungsi ventrikular tersebut disertai dengan adanya gejala atau berada pada stadium akhir pasien dapat menerima ACE inhibitor, β-bloker, antagonis reseptor angiotensin II, dan atau antagonis aldosteron dalam kombinasi dengan loop diuretik.

Diabetes Melitus

Kehadiran diabetes melitus pada pasien hipertensi meningkatkan resiko penyakit jantung koroner 2 kali lipat pada pria dan 4 kali lipat pada wanita, dan studi menunjukan bahwa resiko penyakit kardiovaskuler sekitar sekitar 2 kali lebih tinggi pada pasien hipertensi yang disertai diabetes melitus dibandingan dengan pasien hipertensi yang tanpa disertai diabetes melitus. Hasil beberapa penelitian menunjukan bahwa pada pasien dengan diabetes melitus tipe 2, kontrol intensif tekanan darah (tekanan sistolik kurang dari 150 mm Hg dan diastolik kurang dari 85 mm Hg) dengan menggunakan ACE inhibitor (misal: kaptopril) atau dengan β-bloker (misal: atenolol) terbukti memberikan manfaat berupa pengurangan perkembangan komplikasi diabetes melitus (misal: kematian, stroke, gagal jantung, dan penyakit mikrovaskuler).

Penelitian terbaru juga menunjukan manfaat ACE inhibitor dalam mengurangi resiko perkembangan penyakit mikrovaskuler dan makrovaskuler pada pasien hipertensi yang disertai diabetes melitus baik tipe 1 maupun 2. Berdasarkan penelitian ini dan tentu saja penelitian-penelitian lainya, kebanyakan ahli merekomendasikan penggunaan ACE inhibitor, antagonis reseptor angiotensin II, β-bloker, dan diuretik thiazid, dan pemblok kanal kalsium sebagai terapi awal pasien diabetes melitus dengan hipertensiThe American Diabetes Association (ADA) menyatakan bahwa jika ACE inhibitor tidak dapat ditoleransi dengan baik maka antagonis reseptor angiotensin II dapat digunakan sebagai pilihan berikutnya. Pasien diabetes melitus dengan mikroalbuminuri atau nefropati jelas tidak mampu mentoleransi ACE inhibitor dan untuk itu pemblok kanal kalsium nondihidropiridon atau β-bloker dapat dipertimbangkan penggunaannya.

Insufisiensi Ginjal Kronis

Pasien hipertensi dengan penurunan fungsi ginjal yang kronis (GFR kurang dari 60 mL/menit per 1,73 m2 atau albuminuria melebihi 300 mg/hari) biasanya harus menerima 3 atau lebih obat antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah (kurang dari 130/80 mm Hg). ACE inhibitor dan antagonis reseptor angiotensin II telah ditetapkan sebagai terapi lini pertama untuk pasien hipertensi dengan penurunan fungsi ginjal diabetik maupun nondiabetik dan sebagai upaya untuk pencegahan nefropati.

Sedangkan pada pasien dengan penurunan fungsi gnjal yang parah (GFR kurang dari 30 mL/menit per 1,73 m2) umumnya memerlukan peningkatan dosis loop diuretik yang diberikan dalam kombinasi dengan antihipertensi lainnya.

Penyakit Serebrovaskuler
Meskipun resiko dan manfaat terapi antihipertensi agresif pada pasien dengan stroke akut belum dijelaskan, kontrol tekanan darah pada tingkat menengah (sekitar 160/100 mm Hg) dianggap benar sampai kondisi pasien membaik dan stabil. Pemberian ACE inhibitor yang dikombinasi dengan diuretik thiazid telah terbukti menurunkan angka kekambuhan stroke.

Pertimbangan-pertimbangan Khusus pada Terapi Antihipertensi

  • Ras. Secara umum, orang kulit hitam akan cenderung merespon dengan lebih baik monoterapi dengan diuretik atau pemblok kanal kalsium dibandingkan monoterapi dengan ACE inhibitor, antagonis reseptor angiotensin II atau β-bloker. Namun respon tersebut umumnya berkurang ketika diuretik dikombinasikan dengan antihipertensi lainnya. Selain itu, para ahli menyatakan bahwa ketika penggunaan ACE inhibitor, antagonis reseptor angiotensin II dan β-bloker diindikasikan untuk pada pasien hipertensi dengan memperhatikan faktor-faktor resiko kardiovaskuler maka indikasi ini harus diterapkan secara sama tanpa memperhatikan faktor ras.
  • Hipertensi renovaskuler atau ganas. Kaptopril terbukti efektif untuk terapi hipertensi renovaskuler atau ganas, dan pada beberapa pasien terkait pula dengan menejemen hipertensi yang berhubungan dengan gagal ginjal kronis.
  • Krisis hipertensi. Kaptopril juga dianggap obat pilihan yang tepat yang secara cepat menurunkan tekanan darah pada pasien dengan krisis hipertensi yang sifatnya urgency atau darurat. Karena terapi oral untuk krisis hipertensi dapat mengakibatkan hipotensi yang parah dan efek kardiovaskuler yang merugikan (misal: infark atau iskemia miokardiak, hipoperfusi serebrovaskuler atau stroke) maka penggunaan kaptopril dalam hal ini harus sangat berhati-hati. Pengalaman penggunaan kaptopril memang tidak sebanyak nifedipin (nifedipin tidak boleh lagi digunakan dalam kasus ini). Hipertensi darurat adalah kondisi hipertensi yang memerlukan penurunan tekanan darah dalam beberapa jam. Kondisi ini merupakan kondisi yang lebih parah dari hipertensi berat.